Selasa, Agustus 30, 2011

Riba Petaka Ekonomi Bangsa


Oleh : Agustianto
Kondisi perekonomian bangsa Indonesia sampai saat ini masih sakit. Hutang luar negeri dan dalam negeri beserta bunganya sangat besar luar biasa, yang berada pada titik yang membahayakan. Hutang luarnegeri saja mencapai 742 triliyun. Jika kita hanya mampu membayar Rp. 2 Trilyun setahun, berarti hutang luar negeri baru lunas selama 361 tahun. Hutang ini jelas menjadi beban cucu – cucu kita di masa depan. Itupun kalau tidak ditambah dengan hutang yang baru. APBN pun mengalami defisit anggaran. Harga BBM naik berkali – kali. Tarif daya listrik dan telepon juga terpaksa dinaikkan untuk menambah income negara mengatasi defisit APBN yang mencapai Rp. 54 Trilyun pada tahun 2002. Defisit APBN terjadi terus menerus setiap tahun. Pada tahun 2003, defisit Rp 45 triliun, pada tahun 2004 defisit Rp 35 triliun. Buruknya kondisi perekonomian bangsa Indonesia,secara signifikan membuat mayoritas rakyat semakin menderita dalam kemiskinan.

Salah satu faktor defisit APBN dan semakin parahnya ekonomi Indonesia adalah praktek riba yang masih menggejala dalam sistem perekonomian Indonesia. Riba memainkan peran penting  dalam merusak perekonomian bangsa Indonesia. Riba telah membuat BBM, naik dan menimbulkan dampak inflasi yang hebat. Pada tahun 2005 inflasi lebih dari 18 %, akibat kenaikan BBM. TDL juga akan naik. Riba membawa petaka kehancuran ekonomi Indonesia. Bagaimana hubungan riba dengan keterpurukan ekonomi bangsa Indonesia dan bagaimana logikanya ? Uraian berikut ini berupaya menjelaskannya.
Membayar Bunga SBI
Sampai saat ini pemerintah berkewajiban untuk membayar bunga SBI ( Sertifikat Bank Indonesia ) kepada lembaga – lembaga Perbankan yang menempatkan dana rakyat di Bank Indonesia. Penempatan dana tersebut dilakukan oleh bank – bank pemerintah maupun bank swasta. Dana masyarakat yang ditabung dilembaga perbankan ternyata lebih banyak disimpan di Bank Indonesia, sehingga fungsi intermediasi perbankan tidak signifikan. Terganggunya fungsi intermediasi perbankan terjadi sejak masa krisis 1997. LDR perbankan pada saat itu sangat rendah, hanya 30 % saja, dan kondisi  ini berlangsung lama, lama tahun 2003. Sejak tahun 2003 terjadi perbaikan sedikit, namun LDR tetap rendah dan fungsi intermediasi perbankan masih belum optimal.Kini LDR perbankan nasional telah mencapai di atas 50 %. Ini berarti  hanya 50 % saja tabungan masyarakat yang disalurkan, padahal sektor riel mengharapkan bantuan modal. Sisanya 50% terperangkap pada kegiatan riba yang jelas menjadi beban pemerintah yang pada gilirannya menjadi beban rakyat.
Perilaku lembaga perbankan yang menempatkan uang di Bank Indonesia, karena pihak lembaga perbankan ingin mendapatkan suku bunga  tinggi. Pada tahun 2002-2004, suku bunga SBI mencapai 17,5 %. Sementara bunga yang harus dibayarkan kepada deposan ( penabung ) hanya berkisar 11 – 12 %. Maka dengan ongkang – ongkang saja lembaga perbankan meraup spread berupa riba, dalam jumlah besar, hampir mencapai 6 %. Bayang kan, jika dana yang ditempatkan di Bank Indonesia mencapai Rp. 400 Triyun saja, maka pemerintah wajib membayar bunganya mencapai Rp. 68 trilyun setahun. Uang sebesar ini jelas menjadi beban APBN yang merupakan hasil pajak rakyat dan hasil penaikan harga BBM dan listrik tadi.
Menteri perdagangan dan industri menulis surat kepada Bank Indonesia, karena kesal melihat 90% uang bank meninggalkan sektor riel, usaha kecil dan menengah. Uang itu menari – nari dan senang – senang  dalam alunan simponi ribawi dan terkadang nongkrong berjudi dipasar Valas. Sebagiannya  ber- ribaria di pasar antar bank. Dan yang paling happy lagi adalah di SBI tadi. Realitas yang amat buruk titu, tidak terjadi di bank- bank syariah. Hal ini terlihat dari LDR bank syariah yang saat ini mencapai 115 %. Ini artinya, bahwa seluruh dana pihak ketiga ( berupa tabungan, deposito dan giro ) disalurkan pada ekonomi rakyat, malah diambil lagi dari modal perbankan itu sebesar 15 %. Sehingga bank syariah benar – benar berperan menumbuhkan sktor riel. Kenyataan ini merupakan kebalikan total dari sebagian besar bank konvensional memiliki fungsi intermediasi yang amat lemah. Untuk kasus medan misalnya, LDR bank Muamalat Cabang Medan, sering melebihi 100 %. Ini artinya, BMI Medan menyalurkan seluruh dana ummat untuk ummat, yang pada gilirannya membuat ekonomi bergairah, sektor riel kembali tumbuh, fungsi intermediasinya  berjalan dengan baik.
Membayar Bunga Obligasi
Lebih tragisnya lagi adalah kewajiban pemerintah membayar bunga obligasi kepada perbankan rekap yang jumlahnya juga sangat luar biasa besar Rp 61,2 trilyun untuk tahun 2001. Pembayaran bunga obligasi sampai saat ini berlangsung terus, walau ada pengurangan sedikit. Namun, tetap membebani APBN kita secara dahsyat. Pada hal pemerintah memberikan bantuan BLBI kepada perbankan yang kekurangan modal, namun karena pemerintah tidak punya uang riel, maka pemerintah terpaksa  menerbitkan obligasi kepada perbankan yang direkap, sebab tanpa rekap, maka bank – bank itu akan tutup, maka kewajiban pemerintah lebih besar lagi. Pemerintah telah merekap bank – bank itu dengan sumbangan yang besarnya luar biasa, ratusan trilyun, karena itu tidak heran jika bunganya saja sebesar 61,2 Trilyun. Sedangkan defisit APBN lebih kecil, yaitu Rp. 54 Trilyun. Artinya kalau tidak ada bunga riba yang jumlahnya lebih besar dari pendapatan minyak bumi, maka APBN tidak defisit.

Sekali lagi ditegaskan, untuk mengatasi APBN defisit tersebut, maka pemerintah menaikkan harga barang – barang strategis, seperti minyak, listrik, telepon,. Pajak juga dinaikkan. Kasihan rakyat, mereka didzalimi hanya untuk menyumbang bank rekap. Ironisnya lagi, tanpa berbuat apa – apa, bank rekap bergembira ria menerima riba sebesar Rp. 61,2 Trilyun dari pemerintah pada tahun 2001. Selanjutnya, kita perlu menyaksikan fakta penjualan ( divestasi ) sebuah bank swasta, sebut saja bank ABC. Harga penjualannya sebesar Rp. 5 Trilyun. Namun anehnya, pemerintah memberi bunga obligasi kepada bank ini sebesar Rp. 9 Trilyun tahun 2001. Penjualan ini menurut H. hilmi, mantan pejabat Senior Bank Indonesia, merupakan tindakan sableng ( gila ). Sebab menurutnya, setiap penjualan asset, sipenjual menerima uang. Tapi dalam sistem yang sableng ini, tidak demikian adanya, “ Sipenjual tidak dapat uang “, malah nombok lagi dalam jumlah yang besar dan selanjutnya menyumbang bunga terus menerus,

Karena itu pula, Drajad Wibawa, Ekonom Senior INDEF, mengatakan bahwa perbuatan penjualan saham BCA milik Pemerintah ( sistem riba ) dengan harga Rp. 5 trilyun, tidak sesuai dengan logika dan dikatakannya bahwa perbuatan itu adalah sableng secara kolektif. Dikatakan demikian, karena didalam divestasi BCA terlihat perbuatan tidak logis. Adalah logis kalau dalam setiap penjualan asset, sipenjual menerima uang. Tetapi dalam penjualan BCA tidak demikian. Secara net, ternyata pemerintah tidak menerima uang, malah mengeluarkan uang sangat banyak. Gambaran perhitunagannya ialah, bahwa wapa tahun 2002 Pemerintah menerima uang hasil penjualan BCA Rp. 5 trilyun. Tetapi sebaliknya Pemerintah justru mengeluarkan uang untuk BCA sangat besar yaitu berupa bunga ( riba ) obligasi saja sebesar Rp. 9, 1 trikyun. Pemerintah memberinya Rp 9, 1 Trilyun. Sementara dalam neracanya 31 – 12 – 2002 terlihat laba Rp 3 Trilyun. Laporannya itu menunjukkan bahwa BCA terlihat hebat. Tapi ingat, laba ini diperoleh karena mendapat sumbangan bunga riba dari pemerintah sebesar Rp 9,1 Trilyun tadi.

Kenapa pemerintah bisa bertindak “sableng” seperti itu ? Menurut H. hilmi, SE, biasanya mereka berdalih, bahwa karena semua penyelesaian tidak ada yang baik, maka karena pusing  atau mungkin sempoyongan seperti orang sableng. Mereka terpaksa memilih jalan yang terbaik diantara yang jelek itu. Seba susah, itulah suatu dilema yang kita hadapi, karena sistem riba. Selanjutnya, kita perlu simak kembali tulisan Drajad Wibawa, Ekonom Senior INDEF, ( kompas 25 Februari 2002 ). “ kalau transaksi yang jelas – jelas merugikan dan tidak sesuai dengan logika ( abnormal / gila ) diatas diteruskan, Indonesia memang akan mempunyai landmark kebodohan kolektif. Ini akan menjadi preseden bagi divestasi Bank Danamon. Bank niaga dan bank – bank lainnya di bawah BPPN. Ini juga menjadi preseden bagi proses privatisasi BUMN karena skema sablengnya Stanchart bisa ditiru dengan mudah.”
Melihat realitas diatas, sistem moneter yang menggunakan instrumen riba memang gila, sebagaimana diungkapkan Al- Quran dalam Surah Al -  Baqarah 257.
“ Orang –orang yang memakan riba, tidak dapat berdiri kecuali seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran pikirannya sudah gila. Mereka itu mengatakan bahwa  riba dan jual beli sama saja ( bisa ditafsirkan bank riba dan bank syariah sama saja). Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa yang telah sampai kepadanya nasehat Tuhannya, lalu terus berhenti dari mempraktekkan riba, maka apa yang pernah yang dipraktekkan di masa lalu menjadi urusan Allah. Tetapi, siapa yang mengulangi lagi sistem riba, maka orang – orang itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya”. 
Sumber : agustiantocentre.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar