Dalam Islam, riba merupakan dosa besar yang banyak dikecam oleh Al-quran maupun Sunnah. Al-quran secara tegas mengancam pelaku riba dengan masuk neraka yang mereka kekal di dalamnya (2 : 275). Al-Quran juga secara ekplisit menyebut riba sebagai perbuatan yang zalim (QS.2: 278 dan QS 4: 160). Selain Al-quran, sangat banyak pula hadits Nabi yang dengan tegas mengutuk pelaku riba, juru tulis dan para saksinya (H.R.Muslim). Riba menurut Nabi Saw lebih besar dosanya dari 33 kali berzina. Bahkan dikatakan oleh Nabi Saw, Bahwa Riba memiliki 73 tingkatan, yang paling ringan daripadanya ialah seperti seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri (Al-Hakim).[1]
Nabi Muhammad Saw dalam masa kerasulannya dengan gigih memberantas riba yang demikian meluas di tengah masyarakat Arab pada waktu itu. Sejarah mencatat, bahwa perekonomian jazirah Arabia, ketika itu adalah ekonomi dagang, bukan ekonomi yang berbasis sumber daya alam. Minyak bumi belum ditemukan dan sumberdaya alam lainnya terbatas.[2] Menurut W. Montgomeri Watt, perekonomian Arab pada waktu itu sudah tergolong maju dan kaya.[3] Kota Mekkah ketika itu menjadi kota dagang internasional yang dilalui tiga jalur besar perdagangan dunia, Pertama, lalu lintas perdagangan antara Romawi dan India yang melalui Arab, dikenal sebagai jalur dagang Selatan. Kedua, jalur dagang Romawi dan Persia disebut sebagai jalur dagang Utara,Ketiga, jalur dagang Sam dan Yaman disebut jalur Utara-Selatan. Oleh karena Mekkah sebagai pusat dagang inyternasional, maka tidak heran jika mayoritas penduduk Mekkah berprofesi sebagai pedagang.[4]
Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab bahkan menjadi alat resmi, yakni mata uang dinar dan dirham. Sistem devisa bebas diterapkan dan tidak ada halangan sedikitpun untuk mengimpor dinar atau dirham. Transaksi tidak tunai (hutang) dikenal luas di kalangan para pedagang.[5]
Berdasarkan kenyataan itu, dapat dipastikan bahwa perekonomian Arab, khususnya Mekkah sudah maju dan berkembang. Perekonomian di zaman Rasulullah bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal barter, tetapi jauh dari gambaran seperti itu.
Salah satu tradisi bisnis dalam kegiatan perdagangan yang dilakukan orang-orang Mekkah sebelum kenabian Muhammad adalah praktek ekonomi ribawi. Jadi adalah tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi di masa Nabi hanya untuk kebutuhan konsumtif. Pinjaman produktif untuk keperluan modal dagang dipastikan terjadi secara massif di kota Mekkah dan jazirah Arab lainnya. Praktek riba inilah yang dihilangkan Nabi Muhammmad saw secara bertahap dalam kurun waktu lebih dari 22 tahun.
Ajaran Al-quran maupun hadits yang melarang riba meniscayakan praktek ekonomi yang diajarkan Rasulullah adalah sistem ekonomi bebas riba (free interest) Kemudian sistem ekonomi anti riba dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan Daulah Islamiyah. Praktek ekonomi bebas riba tersebut harus diaktualkan dan dipraktekkan kembali di tengah semaraknya sistem ekonomi ribawi saat ini.
Sejak berabad-abad kaum muslimin di berbagai belahan dunia mempratekkan ekonomi ribawi kapitalisme akibat penjajahan kolonial yang mendesakkan sistem riba itu dalam sistem ekonomi negara-negara muslim melalui lembaga perbankan, asuransi dan koperasi. Indonesia termasuk negara yang mempraktekkan sistem riba tersebut, sejak kedatangan penjajah Belanda ke Indonesia. Maka tidak aneh apabila saat ini sistem ekonomi ribawi begitu masih dominan dalam sistem perekonomian Indonesia. Undang-Undang yang mengatur tentang perbankan di Indonesia dalam waktu yang sangat panjang hanya membenarkan sistem bunga. Baru pada tahun 1992, keluar UU No 7/1992 yang menyebutkan bahwa sistem perbankan di Indonesia dapat menggunakan sistem bagi hasil. Pada tahun 1992 itu juga lahirlah Bank Muamalat Indonesia. Selama lima enam tahun berkembang di Indonesia, BMI masih menjadi pemain tunggal sebagai bank syari’ah. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter di Indonesia yang mengakibatkan bank-bank konvensional mengalami goncangan hebat yang pada akhirnya sebagian besar di antaranya ditutup (dilikuidasi), karena mengalami negative spread, sedangkan sebagaian lainnya masuk bengkel BPPN.
Bank Muamalat dan sejumlah BPR Syari’ah yang menarapkan sistem bagi hasil selamat dari bagai krisis tersebut. Hal ini disebabkan karena bank syari’ah menerapkan sistem bagi hasil Penerapan bagi hasil di bank syari`ah, membuat bank-bank syari`ah lebih tangguh dan tahan dari pengaruh gejolak moneter, baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini disebabkan karena bank syari`ah tidak dibebani membayar bunga simpa nan nasabah. Bank syari`ah hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan perbankan syari`ah. Dengan sistem bagi hasil tersebut, maka jelas bank-bank syari`ah selamat dari negative spread.
Banyak kalangan menilai bahwa keterpurukan ekonomi Indonesia sejak tahun 1997, disebabkan oleh tingginya tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme. Asumsi tersebut di satu sisi memang benar, namun harus diakui bahwa faktor sistem moneter konvensional yang memakai instrumen bunga juga menjadi salah satu faktor yang membuat semakin terpuruknya ekonomi Indonesia.
Makalah ini akan membahas pengaruh bunga perbankan tersebut terhadap keterpurukan ekonomi Indonesia, yang secara khusus menganalisa kasus krisis moneter 1997 yang berlanjut sampai tahun 2004. Tulisan ini diawali dengan paparan ringkas tentang riba dalam perspektif historis dan argumentasi pengharaman riba. Selanjutnya dibahas pengaruh bunga terhadap keterpurukan ekonomi Indonesia. Untuk lebih melengkapi tulisan ini, dipaparkan juga tentang ijma’ ulama tentang keharaman bunga bank yang disertai dengan eksplanasi mengenai solusi instrumen bagi bagi hasil sebagai pengganti bunga.
Makalah ini secara sengaja tidak membahas defenisi riba dan bunga, karena defenisi keduanya sangat jelas. Sangat banyak kajian dan literatur yang telah mengulas defenisi riba dan bunga tersebut. Kata Prof.Dr.Azfalur Rahman dalam buku Muhammad A Trader, “Tidak ada gunanya membuang-buang waktu untuk mendefenisikan bunga dan riba, karena kedua sangat identik dan saling menggantikan. Islam tidak membedakan interetres dan usury. Riba mencakup keduanya. Karena itu bunga bank sekarang ini memenuhi defenisi riba”[6]
Sejarah Ringkas Bunga
Menurut pakar sejarah ekonomi, kegiatan bisnis dengan sistem bunga telah ada sejak tahun 2500 sebelum Masehi, baik yunani kuno, Romawi kuno, dan Mesir Kuno. Demikian juga pada tahun 2000 sebelum Masehi, di Mesopotamia ( wilayah Iraq sekarang ) telah berkembang sistem bunga. Sementara itu, 500 Tahun sebelum Masehi Temple Of Babillion mengenakan sistem bunga sebesar 20 % setahun.[7]
Sejarah mencatat, bangsa Yunani kuno yang mempunyai peradaban tinggi, melarang keras peminjaman uang dengan bunga. Aristoteles dalam karyanya Politics telah mengecam sistem bunga yang berkembang pada masa Yunani kuno. Dengan mengandalkan pemikiran rasional filosofis, tanpa bimbingan wahyu, ia menilai bahwa bunga merupkan sistem yang tidak adil. Menurutnya, uang bukan seperti ayam yang bisa bertelur. Sekeping mata uang tidak bisa beranak kepingan mata uang lainnya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa meminjamkan uang dengan bunga adalah sesuatu yang rendah derajatnya. Sementara itu, Plato dalam bukunya “ Laws”, juga mengutuk bunga dan memandangnya sebagai praktek yang zholim. Dua filosofi Yunani yang paling terkemuka itu dipandang cukup representatif untuk mewakili pandangan filosofi Yunani tentang bunga.[8]
Selanjutnya, pada tahap- tahap awal, kerajaan Romawi Kuno, juga melarang keras setiap pungutan atas bunga dan pada perkembangan berikutnya mereka membatasi besarnya suku bunga melalui undang – undang. Kerajaan romawi adalah negara pertama yang menerapkan peraturan tentang bunga untuk melindungi para konsumen. Kebiasaan bunga juga brkembang di tanah arab sebelum Nabi Muhammad menjadi rasul. Catatan sejarah menunjukan bahwa bangsa Arab cukup maju dalam perdagangan. Hal ini digambarkan dalam Al- qur’an dalam surat al – quraisy dan buku – buku sejarah dunia. Bahkan kota Mekkah saat itu pernah menjadi kota dagang internasional yang dilalui tiga jalur – jalur perdagangan dunia, Eropa dan Afrika, India, dan China, serta Syam dan Yaman.
Suatu hal yang tak bisa di – bantah, bahwa dalam rangka menunjang arus perdagangan yang begitu pesat, mereka membutuhkan fasilitas pembiayaan yang memadai guna menunjang kegiatan produksi. Peminjaman modal untuk perdagangan dilakukan dengan sistem bunga. Tegasnya, pinjaman uang pada saat itu, bukan semata untuk konsumsi, tetapi juga untuk usaha – usaha produktif. Sistem bunga inilah selanjutnya yang dilarang Al- Qur’an secara bertahap.
Sementara itu, tradisi bunga terus berkembang di Eropa dan menjadi sistem ekonomi kapitalis. Raja Inggris, Hendri VIII, pada tahun 1545 M, mengatakan bahwa riba tidak dibenarkan, sedangkan bunga dibolehkan asal tidak berlebihan.[9] Gaung Raja Hendri VIII itu sampai ke Belanda. Ketika Belanda menjajah Indonesia,mereka menyebar luaskan pandangan Hendri VIII, sehingga ada orang Indonesia yang melarang dan mempraktekkan bunga. Mereka membedakan bunga dan riba. Padahal bunga dan riba sama saja. Ayat Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 30 yang melarang riba yang berlipat ganda, belum selesai (tuntas).[10] Sebab setelah itu, turun ayat lagi tentang riba yang mengharamkan segala bentuk riba, baik riba yang berlipat ganda maupun yang ringan bunganya (Q.S. 2 : 275 : 279).
Argumentasi larangan riba
Larangan riba merupakan salah satu pembeda utama antara sistim ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Argumentasi larangan riba dalam ekonomi Islam telah banyak dibahas para ulama dan ilmuwan Islam sepanjang sejarah.
Menurut Prof. A. M. Sadeq (1989) dalam artikelnya “Factor Pricing and Income Distribution from An Islamic Perspective” yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Economics,[11] menyebutkan bahwa pengharamkan riba dalam ekonomi, setidaknya, disebabkan oleh empat alasan;
Pertama, sistim ekonomi ribawi telah menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat terutama bagi para pemberi modal (bank) yang pasti menerima keuntungan tanpa mau tahu apakah para peminjam dana tersebut memperoleh keuntungan atau tidak. Kalau para peminjam dana mendapatkan untung dalam bisnisnya, maka persoalan ketidakadilan mungkin tidak akan muncul.
Namun, bila usaha bisnis para peminjam modal bankrut, para peminjam modal juga harus membayar kembali modal yang dipinjamkan dari pemodal plus bunga pinjaman. Dalam keadaan ini, para peminjam modal yang sudah bankrut seperti sudah jatuh di timpa tangga pula, dan bukankah ini sesuatu yang sangat tidak adil?
Kedua, sistim ekonomi ribawi juga merupakan penyebab utama berlakunya ketidakseimbangan antara pemodal dengan peminjam. Keuntungan besar yang diperoleh para peminjam yang biasanya terdiri dari golongan industri raksasa (para konglomerat) hanya diharuskan membayar pinjaman modal mereka plus bunga pinjaman dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan milyaran keuntungan yang mereka peroleh.
Padahal para penyimpan uang di bank-bank adalah umumnya terdiri dari rakyat menengah ke bawah. Ini berarti bahwa keuntungan besar yang diterima para konglomerat dari hasil uang pinjamannya tidaklah setimpal dirasakan oleh para pemberi modal (para penyimpan uang di bank) yang umumnya terdiri dari masyarakat menengah ke bawah.
Ketiga, sistim ekonomi ribawi akan menghambat investasi karena semakin tingginya tingkat bunga dalam masyarakat, maka semakin kecil kecenderungan masyarakat untuk berinvestasi. Masyarakat akan lebih cenderung untuk menyimpan uangnya di bank-bank karena keuntungan yang lebih besar diperolehi akibat tingginya tingkat bunga.
Keempat, bunga dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para businessman yang menggunakan modal pinjaman. Biaya produksi yang tinggi tentu akan memaksa perusahaan untuk menjual produknya dengan harga yang lebih tinggi pula. Melambungnya tingkat harga, pada gilirannya, akan mengundang terjadinya inflasi akibat semakin lemahnya daya beli konsumen. Semua dampak negatif sistim ekonomi ribawi ini secara gradual, tapi pasti, akan mengkeroposkan sendi-sendi ekonomi umat. Krisis ekonomi tentunya tidak terlepas dari pengadopsian sistim ekonomi ribawi seperti disebutkan di atas.
Tak bisa dibantah bahwa sistim ekonomi ribawi akan menggerogoti sendi-sendi ekonomi masyarakat. Hal itu terlihat dengan jelas pada praktek perbankan konvensional yang menganut sistim ribawi. Tingkat bunga dijadikan acuan untuk meraih keuntungan para pemberi modal. Bank tidak mau tahu apakah para peminjam memperoleh keuntungan atau tidak atas modal pinjamannya, yang penting para peminjam harus membayar modal pinjamannya plus bunga pinjaman. Semakin tinggi tingkat bunga dalam sebuah negara, maka semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh para pemberi modal dan semakin merusak sendi-sendi ekonomi umat akibat dampak negatif sistim ekonomi ribawi dalam masyarakat.
Demikian pula, akibat terlalu tingginya tingkat bunga yang dibebankan kepada para peminjam, maka semakin sukarnya para peminjam untuk melunasi bunga pinjamannya. Apalagi dalam sistim ekonomi konvensional, biasanya pihak bank tidak terlalu selektif dalam meluncurkan kreditnya kepada masyarakat. Pihak bank tidak mau tahu apakah uang pinjamannya itu digunakan pada sektor-sektor produktif atau tidak, yang penting bagi mereka adalah semua dana yang tersedia dapat disalurkan kepada masyarakat. Sikap bank yang beginilah yang menyebabkan semakin tingginya kredit macet dalam ekonomi akibat semakin menunggaknya hutang peminjam modal yang tidak sanggup dilunasi ketika jatuh tempo kepada pihak bank. Akibatnya, bank-bank akan memiliki defisit dana yang dampaknya sangat mempengaruhi tingkat produksi dalam masyarakat.
Sistem ekonomi ribawi juga menjadi penyebab utama tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini dimaksudkan adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi.
Sebagai contoh, bila tingkat bunga di Indonesia, katakanlah, 12% dengan tingkat inflasi 8 %, maka tingkat bunga riel adalah 4% (12% – 8%). Ini berarti walaupun tingkat bunga nominal (tingkat bunga sebelum dikurangi dengan tingkat inflasi) tinggi di Indonesia, ini tidak secara otomatis akan mempengaruhi investor untuk membeli Rupiah, karena pada dasarnya tingkat bunga riel di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat bunga riel di negara-negara lain.
Inilah penyebab utama semakin menurunnya nilai (depresiasi) Rupiah akibat rendahnya permintaan akan Rupiah. Tinggi rendahnya nilai Rupiah sangat dipengaruhi oleh jumlah permintaan dan penawaran Rupiah di pasar uang. Semakin banyak jumlah permintaan mata uang Rupiah, maka semakin tinggi nilai mata uang Rupiah, dan sebaliknya. Begitu juga dengan penawaran, semakin tingginya jumlah Rupiah yang beredar di pasar, sementara permintaan akan Rupiah rendah, maka nilai rupiah akan menurun, dan sebaliknya.
Sebenarnya, inilah yang sedang berlaku di Indonesia, dimana jangankan businessmanasing, para businessman dalam negeripun lebih cenderung membeli Dolar atau mata uang asing lainnya dengan menjual Rupiah di pasar valuta asing. Ini juga bermakna semakin berkurangnya dana asing yang masuk ke Indonesia, ditambah lagi dengan larinya dana dalam negeri ke luar sehingga akan sangat mempengaruhi ketersediaan dana yang memadai sebagai modal pembangunan ekonomi. Hal ini jelas semakin memperparah penurunan nilai mata uang Rupiah dan semakin minimnya dana asing dan lokal yang tersedia untuk pembangunan ekonomi, yang pada gilirannya, akan menyebabkan krisis ekonomi terjadi berkepanjangan.
Memang, harus diakui bahwa semakin rendahnya nilai Rupiah, maka semakin memperkuat daya saing komoditas eksport Indonesia di pasar internasional karena relatif murahnya harga komoditas eksport tersebut di pasar internasional bila dibeli dengan mata uang asing.
Tetapi, penurunan nilai Rupiah ini tidak akan memberi pengaruh signifikan sebab kebanyakan komposisi bahan mentah komoditas eksport Indonesia adalah terdiri dari bahan mentah yang diimport dari negara luar. Dengan kata lain, kenaikan harga barang mentah akibatnya tingginya nilai mata uang (appresiasi) asing jelas akan menyebabkan biaya untuk memproduksikan komoditas eksport tersebut akan bertambah mahal sehingga produk akhir komoditas itu harus dijual dengan harga yang mahal pula. Ini menunjukkan bahwa penurunan nilai Rupiah tidak akan memberi kelebihan daya saing eksport Indonesia di pasar internasional.
Permasalahan di atas, sebenarnya, tidak pernah terjadi kalau sistim ekonomi Islam diadopsi dalam sistim ekonomi negara. Kenapa tidak? Karena nilai uang tidak akan dipengaruhi oleh perbedaan tingkat bunga riel sebab ekonomi Islam tidak mengenal sistim bunga (riba). Inilah yang menyebabkan nilai uang dalam ekonomi tanpa bunga tidak mengalami volatilitas yang membahayakan.
[1] Muhammad Ali Ash-Shobuni, Jarimah ar-Riba, Akhtar al-Jaraim ad-Diniyyat wa al-Ijtima’iyat, Kairo, Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1997, hlm. 23. Lihat juga, Afzalur Rahman,Doktrin Ekonomi Islam, terjemahan Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta, Dana Bhakti Waqaf, Jilid 2, 1996, hlm. 80
[2] Irfan Mahmud Ra’na, Economic Sistem Under Umar the Great, Pakistan, M.Asraf, 1977, hlm. 80
[3] Watt, Montgomery W, Prophet Muhammad A State Man , London, 1982, p. 57
[4] Irfan Mahmud Ra’na, op.cit, hlm. 81
[5] Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta, Gema Insani Press, 2001, hlm 28
[6] Afzalur Rahman, Muhammad A Trader, London, The Muslim Schools Trust, 1982, Edisi Indonesia Muhammad sebagai Pedagang, Jakarta, Swarna Bumi, 1997, hlm. 318
[7] Karnaen Perwata Atmaja dan M.Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam,Yogyakarta, Dana Bhakti Waqaf, 1992.
[8]Syafi’I Antonio, Muhammad, Bank Syari’ah, Ulama dan Cendikiawan, Jakarta, Tazkia Institute dan Bank Indonesia, 1999, hlm. 65-66
[9] Afzzalur Rahman, Muhammad A Trader, op.cit, hlm. 320. Syafi’I Antonio, Muhammad, op.cit, hlm. 69-71
[10] Lihat empat tahapan turunnya ayat tentang riba, Umer Chapra, Toward A Justr Monetary System, terjemahan Lukman hakim, Al-Quran menuju sistem Moneter yang Adil, Yogyakarta, Dana Bkhati Waqaf, 1997, hlm.213-216
[11] A. M. Sadeq. “Factor Pricing and Income Distribution from An Islamic Perspective” yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Economics, 1989, hlm 27-28
Sumber : agustiantocentre.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar