Enam tahun lalu ada film terkenal yang berjudul Kingdom of Heaven
(2005), yang meskipun dibuat oleh orang diluar Islam – tetapi sedikit
banyak menguak kebesaran kepemimpinan Islam dibawah tokohnya Shalahuddin
al- Ayyubi. Dalam sejarah Islam sendiri, Shalahuddin memang salah satu tokoh yang amat sangat
penting perannya karena dibawah kepemimpinannya-lah Baitul Maqdis
kembali ke tangan Islam – setelah lebih dari satu genarasi berada dalam
cengkeraman kaum salib . Tetapi seorang Shalahuddin bukanlah pemimpin yang ujug-ujug turun dari langit, dia adalah produk sebuah generasi.
Awalnya
adalah Al-Ghazzali yang hidup di jaman keterpurukan Islam itu, dia
berusia sekitar sekitar 42 tahun ketika Maitul Maqdis ditaklukkan
tentara salib. Maka ulama besar yang kemudian disebut sebagai Hujjatul Islam Al- Ghazzali
ini men-diagnosa kondisi umat Islam saat itu, mengapa sampai bisa
sedemikian terpuruknya sehingga puncaknya dengan mudah bisa ditaklukkan
oleh tentara salib.
Dia
menemukan saat itu umat terpecah belah oleh fanatisme mazhab dan
golongan, fungsi ulama berubah yang tadinya guru dan penasihat para
penguasa malah menjadi alat politik dan bawahan para penguasa, dan
kecintaan pada harta menimbulkan perilaku menyimpang baik cara perolehan
maupun penggunaannya. Ini semua yang kemudian menimbulkan kerusakan
ekonomi , sosial dan politik – yang kemudian melemahkan dunia Islam
secara keseluruhan dalam menghadapi serangan-serangan kaum salib.
Menghadapi kerusakan-kerusakan yang meluas saat itu, orang-orang yang tulus ingin menjaga agamanya menempuh berbagai cara. Ada
yang kemudian secara pasif mengasingkan diri menjauhi pengaruh buruk
dari kerusakan yang meluas; ada yang menjauh dari lingkungan yang penuh
syubhat untuk dapat berbenah diri, mengevaluasi pemikiran dan konsepnya,
kemudian kembali ke tengah masyarakat untuk melakukan al amr bil ma’ruf wan nahy ‘an al munkar – menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Cara yang kedua inilah yang ditempuh oleh Al-Ghazzali.
Al-Ghazzali
kemudian berusaha memproduksi generasi baru para ulama dan pendidik
(murabbi), melahirkan system baru dalam pendidikan dan pengajaran,
menghidupkan misi al amr bil ma’ruf wan nahy ‘an al munkar,
mengingatkan pemerintah yang dzalim, menyerukan keadilan sosial, sampai
pada memberantas aliran-aliran dan pemikiran sesat yang memang juga
sudah ada saat itu.
Untuk merealisasikan upaya tersebut Al-Ghazali merumuskan system pendidikan baru yang kemudian diterapkan di madrasahnya. Konsep pendidikan
Al-Ghazali inilah yang kemudian diteruskan oleh Syaikh Abdul Qadir al
Jilani di Madrasah Al-Qadiriyah – di pusat kota Bagdad yang memfokuskan
kegiatannya pada tiga hal.
Pertama pada upaya untuk mencetak lulusan yang siap memegang tampuk pimpinan perjuangan Islam dan menyebarkan misi al amr bil ma’ruf wan nahy ‘an al munkar, kedua membangun koordinasi antar madrasah dan ketiga membuat modul , strategi, program pendidikan dan dakwah.
Dari
upaya penyiapan generasi baru yang panjang melalui madrasah-madrasah
tersebut-lah kemudian lahir pemimpin umat Nuruddin Zanki yang kemudian
melahirkan ‘anak didik’ Shallahudin Al –Ayyubi. Diperlukan waktu sekitar
90 tahun sejak suatu generasi dipersiapkan, sampai menghasilkan buahnya
yang sekaliber Shalahuddin ini.
Suatu
masa keterpurukan yang panjang yang mendahului lahirnya generasi
Shalahuddin tersebut sesungguhnya sangat mirip dengan apa yang kita
alami di jaman ini. Kini umat Islam terpecah bukan hanya oleh mazhab,
golongan dan aliran; tetapi juga oleh partai-partai.
Dampak perpecahan ini berakibat serius pada hubungan politik, sosial, peribadatan dan sampai pula pada ekonomi. Kita menjadi terlalu lemah untuk bisa melawan isu-isu yang seharusnya bisa dihadapi bersama seperti perusakan
aqidah, pemurtadan dan penguasaan/penjajahan umat oleh kekuatan di luar
Islam baik dibidang poltik, pemikiran, budaya dan tentu yang paling
dasyat ekonomi.
Sesungguhnya
di negeri ini sudah pernah diupayakan perubahan serupa dengan yang
dilakukan oleh Al-Ghazzali yang sampai melahirkan generasi Shalahuddin –
tetapi dalam tingkatan yang lebih sederhana. Konon sekitar tahun
1500-an Sunan Kudus merumuskan suatu generasi yang hendak dihasilkannya
yang disebut generasi Gusjigang – yang artinya berperilaku bagus, pandai mengaji dan pandai pula berdagang. Target pencapaian generasi yang Gusjigang ini pulalah yang menjelaskan antara lain mengapa masjid Kudus berada di dekat pasar.
Kalau
toh target penyiapan generasi sekwalitas generasi Shalahuddin perlu
waktu yang lebih panjang dan effort yang luar biasa dari seluruh
komponen umat yang mau bersatu, barangkali kita bisa mulai dengan yang
kita bisa di lingkungan kita.
Mengajari anak-anak dan remaja di sekitar untuk beraklak bagus, melalui cara mengaji (termasuk pemahaman dan pengamalannya tentu saja), sambil juga diajari berdagang
– maka insyaallah perjalanan panjang perbaikan generasi ini akan juga
bisa kita mulai, selebihnya kita serahkan kepadaNya, sampai dimana nanti
perbaikan ini akan menghasilkan buahnya yang berarti. InsyaAllah…
Sumber : geraidinar.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar