Jumat, November 18, 2011

Kubur Penuh Cahaya



SEWAKTU ia dikuburkan, hanya sedikit orang yang mengiringi dan mengantarkannya. Ya, itu pun para tetangga dan kerabat dekatnya. Maklumlah, ia hanya seorang kecil yang tak berharta dan tak punya kuasa. Ia sama sekali bukan orang hebat dan terkenal.

Tetapi sehari setelah penguburannya itu, namanya langsung melambung ke seantero desa. Tiga hari setelah itu keterkenalan namanya sudah berhembus melewati batas-batas desa, menembus udara kecamatan, dan lantas masuk ke kantor-kantor, rumah-rumah, dan warung-warung di kota kabupaten. Dan seminggu kemudian, namanya sudah menghiasi pembicaraan warga seluruh propinsi itu. Di pasar dan masjid, orang ramai membincangkannya.

“Siapa sebenarnya orang itu?” tanya orang-orang.
“Kuburnya mengeluarkan cahaya.”

“Kompleks pemakaman kampung itu menjadi terang. Padahal di situ tidak ada penerangan listrik sama sekali,” kata mereka lagi.

 “Siapa sesungguhnya lelaki yang berkubur di situ?”

Orang-orang terus memburu jawaban, memenuhi rasa penasaran mereka. Dugaan-dugaan dan kabar cerita pun beredar untuk menangkap peristiwa yang aneh itu.

“Apakah ia seorang kiai atau guru agama? Himpunan pengetahuan makrifatnya tentu sangat mendalam!”

“Ah, bukan. Kabarnya ia hanya seorang pedagang kecil keliling.”
 “Ya, itu yang tampak di permukaan. Tapi kita tidak tahu pasti siapa sebenarnya dia.”

“Siapa pun dia, yang pasti ia seorang wali.”

“SIAPAKAH lelaki yang kuburnya memendarkan cahaya itu?”

Sewaktu lelaki itu dikuburkan kabarnya hanya sedikit orang yang mengantarkannya. Waktu itu gerimis dan jalan menuju kuburan itu becek. Sedemikian tidak pentingnya lelaki itu, Kepala RT pun bahkan tak hadir dalam upacara penguburannya.

“Tetapi, kerandanya ringan sekali. Ini kata orang yang mengusungnya … lho,” kata orang itu meyakinkan ceritanya.

“Tanah kuburnya juga sangat gembur sewaktu digali.”

“Wah, sungguh luar biasa. Padahal tanah di daerah situ terkenal keras. Kan itu tanah perbukitan berbatu,” sahut yang lain.

“Apa benar kuburnya bercahaya? Jangan-jangan itu hanya permainan akal-akalan lewat teknologi listrik yang disalurkan dari bawah tanah?” tanya seseorang yang tampak belum percaya betul dengan kabar itu. Suaranya rendah penuh kehatian-hatian, khawatir menyinggung mereka yang sudah kadung percaya.

“Ya, sulit dipercaya memang.”

“Teman kita si Razak kabarnya kemarin sudah ke sana. Tapi, ia katanya sama sekali tidak melihat kubur itu memancarkan cahaya,” sambung seseorang.

“Ah, kalau si Razak yang berkunjung ke sana pasti tak akan bisa melihat cahaya itu, karena kepalanya sudah dipenuhi nomer judi buntut. Razak memang pemuja kuburan. Aku sudah menduga Razak ke sana, tapi ia pasti tak beroleh apa-apa, karena ia tak punya niat yang benar. Razak tak bisa kita percayai.”

“Ya, benar kubur itu memang membinarkan cahaya. Aku bersaksi, tapi jangan salah mengerti. Kubur itu tidaklah sepanjang malam memancarkan cahaya. Hanya sesekali,” seseorang yang tampaknya sudah mengunjungi kubur itu menyela.

“Sungguh, itu pun waktunya tidak lama. Sebentar sekali. Kadang bahkan hanya seperti kilatan cahaya,” sambungnya lagi.

KUBUR yang disebut-sebut memancarkan cahaya itu betul-betul menyita perhatian masyarakat. Meski mereka tidak tahu siapa sebenarnya orang yang berkubur di dalamnya, mereka tetap meyakini bahwa cahaya yang memancar dari kuburan itu sebagai karamah yang dianugerahkan Allah. Dan orang yang berkubur di dalamnya pastilah seorang yang karim juga di sisi Allah. Seorang wali. Maka, berduyun-duyunlah mereka berziarah ke sana untuk memetik berkah dari karamah itu.

Kampung yang semula sepi dan terpencil itu lalu mendadak menjadi ramai. Ribuan orang setiap hari datang ke sana. Jalan yang membentang menuju kampung itu sesak oleh deretan panjang parkir mobil. Halaman-halaman rumah dan tegalan kering disulap menjadi lahan parkir motor. Warung-warung makan serentak berdiri. Para penduduk sekitar juga membukakan pintu rumah mereka lebar-lebar buat para peziarah yang ingin beristirahat, mandi, atau buang hajat. Suasana sekitar pemakaman kampung itu penuh orang, sibuk dan riuh-rendah seperti layaknya makam wali-wali terkenal di pulau itu di saat perayaan haul mereka.

Tapi sampai sejauh itu tak ada seorang pun yang tahu siapa sebenarnya lelaki yang kuburnya mengundang kehadiran ribuan penziarah itu. Kabar tentangnya berhembus bagai angin. Terasa ada tapi tak tertangkap wujudnya. Hingga sebuah koran lokal melaporkan dalam sebuah featuresnya yang panjang. Siapa lelaki itu dan mengapa kuburnya penuh cahaya, begini menurut koran tersebut:

Lelaki itu bernama Hamad. Menurut cerita istri dan dua orang anaknya, ia seorang pedagang minyak keliling. Setiap hari ia pergi ke kota propinsi untuk menjajakan minyaknya. Tapi, baik istri maupun dua anak yang ditinggalkannya itu, tak sungguh-sungguh tahu apakah Hamad, suami dan ayah mereka itu, benar-benar seorang penjaja minyak keliling. Ini lantaran tak seorang pun dari mereka pernah melihat langsung ia berkeliling menjajakan minyaknya itu. Itu hanya jawabannya ketika setiap kali ditanya oleh istri, anak atau orang kampung tentang pekerjaannya di kota.

Hamad bukan asli kelahiran kampung itu. Konon, ia berasal dari daerah utara. Tak dijelaskan apa latar pendidikannya. Tapi yang terang ia cukup pandai membaca Latin maupun Arab.

Kehidupan ekonomi keluarga itu pas-pasan. Tidak berlebih tidak juga kekurangan. Untuk ukuran kampung itu, Hamad dan keluarganya jelas bukan dari golongan kaya. Tengah-tengah pun tidak, meski tidak juga keluarga miskin. Di rumahnya hanya ada seperangkat kursi tamu, sebuah televisi hitam putih dan radio. Semuanya sudah tua, namun masih terawat dengan baik dan jelas terus dipakai sehari-hari. Lalu, sebuah rak buku dan kitab yang tak ada isinya. Kata istrinya, dulu rak itu penuh dengan buku-buku dan kitab. Tapi sekitar tiga tahun yang lalu, kitab-kitab itu diangkut suaminya entah kemana. Apa mau dijual atau dihibahkan mereka juga tidak tahu persis. Hamad hanya bilang ada orang yang lebih membutuhkan.

Sebagai suami dan ayah, mereka memang mengakui Hamad sebagai seorang yang kasih, lembut, dan bertanggung jawab. Tapi lebih dari itu, ibu dan kedua anaknya itu tak melihat lelaki itu istimewa. Maksudnya, seorang yang terkemuka setidak-tidaknya untuk ukuran kampung itu. Dalam hal keagamaan misalnya, ia tak pernah menjadi imam, khatib jumat atau memimpin doa. Demikian juga dalam hal politik, ya politik tingkat kampunglah. Ia tak pernah memimpin rapat kampung, mengacungkan tangan untuk mengajukan usul, melakukan interupsi atau protes atau pun yang lainnya. Hamad dalam hal apapun betul-betul warga biasa. Memang dalam setiap pertemuan kampung selama tak ada aral ia selalu hadir. Tapi selalu saja ia duduk di pinggiran atau di luar sama sekali karena ia bukan dan memang tidak dianggap orang penting. Ia biasa shalat berjamaah, namun tidak rajin-rajin amat. Pengajian pun hanya sesekali ia datangi. Meski sesekali ikut, tapi ia tak larut dalam semangat keagamaan yang dipompa oleh para ustad muda berjenggot dan berpakaian putih-putih keluaran universitas yang kini mendominasi kehidupan keagamaan dan politik di kampung itu. Pendeknya tak ada yang hebat yang bisa dicatat darinya.

Tapi ada satu hal yang selalu diingat oleh orang kampung tentang Hamad. Ia orang yang tak pernah alpa takziah kalau ada tetangganya yang meninggal dan ziarah kalau ada tetangganya yang sakit. Siapapun mereka dan apapun partai dan golongannya. Mereka yang lebih sering kelihatan di warung yang di bagian belakangnya ada meja judi dan penjualan togel dan tak pernah tampak di masjid dan pengajian pun tak luput ia kunjungi jika orang-orang itu tertimba musibah.

Apakah karena yang terakhir ini yang membuat kuburnya terang memancarkan cahaya? Entahlah. Tak ada yang bisa memastikan. Tapi bagian akhir laporan koran itu mengemukakan suatu ‘fakta’ penting yang disebut berasal dari ‘sumber yang tak mau disebutkan namanya’ bahwa Hamad di kota sebenarnya membina dan mendampingi anak-anak yatim piatu dan anak-anak jalanan. Menariknya, di kota itu namanya bukan Hamad, tapi Zainuri. Kerja pendampingan itu kabarnya sudah dilakukannya lebih dari 20 tahun. Dan sekarang, menurut laporan koran itu, Hamad alias Zainuri itu sedang membangun sebuah rumah singgah untuk anak-anak jalanan dan sebuah pondok untuk anak-anak yatim piatu. Kedua bangunan itu baru selesai 20 persen dan sepeninggal Zainuri, e maksudnya Hamad, dikhawatirkan kelanjutan pembangunan kedua gedung itu akan terbengkalai.

LAPORAN koran itu betul-betul membuat terkesima para pembaca. Warga kampung itu sendiri menjadi takzim pada Hamad. Tak pernah mereka kira bahwa di kampung mereka ada seorang yang berhati tulus dan kasih sekaligus rendah hati, seorang penderma yang bahkan tangan kirinya pun tak tahu kalau tangannya kanannya itu menderma. Para petinggi dan tokoh agama di kampung itu menjadi malu dan merasa bersalah karena selama ini menganggap remeh Hamad atau orang biasa seperti Hamad. Mereka bahkan sekarang sering jadi salah tingkah. Para petinggi—tidak seperti biasanya—enggan berpanjang-panjang dalam sambutan, malu kalau di antara hadirin ada yang seperti Hamad. Para khatib dan ustad yang biasa memberi nasihat jadi sungkan, khawatir kalau di antara pendengarnya ada lagi orang yang seperti Hamad. Para imam dengan perasaan minder maju ke depan, jangan-jangan, pikir mereka, di antara makmumnya ada orang yang maqam-nya juga setara Hamad. Peristiwa Hamad menjadi pembelajaran hidup buat mereka untuk lebih rendah hati dan menjaga hati.

“Istimewanya Hamad, karena ia bisa menyingkirkan sikap riya' dan ujub dari hatinya,” komentar seorang ulama yang dikutip koran itu.

Setelah laporan koran itu, kubur Hamad semakin banyak diziarahi orang. Siang malam tak henti-henti. Mereka bahkan datang dari luar kota yang jauh sekali.

“Bagaimanapun, para peziarah itu tamu di kampung ini. Kita wajib menyambut dan menjamu mereka sebaik-baiknya,” ucap modin yang secara aklamasi terpilih sebagai ketua panitia.

Sebuah kepanitiaan dengan berbagai seksinya lalu dibentuk untuk mengatur keperluan para tamu peziarah itu. Atas usul seorang tokoh muda yang khawatir dengan kelurusan niat dan tingkah polah para peziarah, selembar papan bertuliskan peringatan: “Silahkan berziarah. Hindari syirik, jangan meminta pada kuburan!” dipancangkan persis di depan pintu masuk kompleks pemakaman.

Lalu, sebuah kotak amal besar terbuat dari kaca tembus pandang diletakkan di depan kubur Hamad. “Hasil kotak amal akan disalurkan untuk meneruskan pembangunan rumah singgah dan pondok yatim piatu yang digagas almarhum Hamad,” demikian tulisan dengan kapur tulis di atas papan hitam kecil di depan kotak amal itu. Dalam sehari, kotak amal itu penuh uang kertas empat hingga lima kali. Dan dalam beberapa minggu, ratusan juta telah terkumpul.

“Saya rasa, sebenarnya kewajiban kita bukanlah untuk menjaga kubur ini, tetapi meneruskan usaha almarhum,” bisik seorang warga kampung.

“Tapi Allah punya cara. Allahu akbar,” kata seseorang, “meski orangnya telah tiada dengan kebesaranNya namun niat tulusnya tetap terus berjalan.”

Dan benar, tak sampai setahun kedua gedung sederhana yang digagas almarhum itu tuntas dibangun plus meja kursi serta seperangkat keperluan alat tulis kantor. Semua uangnya berasal dari kotak amal di depan kubur penuh cahaya itu.

Lalu, beriring dengan itu, cahaya yang sesekali memancar dari kubur itu semakin meredup dan akhirnya tak muncul-muncul lagi. Menyusul itu, jumlah para peziarah pun mulai menurun, dan kian menurun.

“Semoga cahaya itu berpindah ke lubuk hati mereka yang kasih dan tulus,” demikian doa Pak Modin.

Kompleks pekuburan itu pun kini kembali sepi.*

(sumber: http://syirah.blogspot.com/2005/03/kubur-penuh-cahaya.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar