Lambaian merah putih setengah tiang berkibar di penjuru negeri. Semua perasaan berbaur di tengah kepergian mantan Presiden Republik Indonesia ke-2, H.M.Soeharto. meski tersemat gelar sebagai Bapak Pembangunan, ternyata akhir hayatnya tidak lepas dari hujatan atas kepemimpinan yang diktaktor.
Degradasi idealisme Soeharto membuat akhir cerita sang jenderal tidak berakhir sempurna. “Gara-gara nila setitik susu sebelengga”, inilah yang terjadi. Jasa kepemimpinan selama 32 tahun seakan dilupakan akibat Korupsi Kolusi Nepotisme dan pelanggarana Hak Asasi Manusia (HAM) yang ia lakukan.
Sebagai kaum akademis, mahasiswa harus dapat mengambil sisi positif keteladanan Soeharto juga menempatkan sis negatifnya sebagai pelajaran. Ada beberapa alasan untuk menghargai sebagai teladan.
Pertama, kegigihan dan keseriusan dalam menimba ilmu. Ia merupakan lulusan terbaik pada sekolah militer di Gombong dan Pasukan Kepolisian (Keibuho). Kedua, keberanian dan kecerdikan Soeharto saat berjuang menghadapi penjajah. Misalnya memimpin Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta. Ketiga, banyak jasanya saat menjabat Presiden, tidak hanya pada Indonesia bahkan dunia.
Pembangunan terencana dan bertarget, kerjanyayang terfokus, juga sifatnya yang merakyat telah mengantarkan Soeharto pada prestasi puncak. Diantara membuat Indonesia meraih swasembada beras, menjadi Ketua Gerakan Non Blok, juga sebagai salah satu pemrakarsa Association of South East Asian Nation dan Asia Pasific Economic Conference.
Disisi lai, ada beberapa kekurangan Soeharto yang harus dijadikan pembelajaran. Pertama, diktaktor pelanggar HA. Rezim Orde Baru yang dipimpinnya sangat mengekang kebebasan berpendapat. Otoritarianisme kepemimpinannya menyebabkan kematian demokrasi. Saat itu banyak pembredelan media massa yang kritis, larangan demonstrasi bagi mahasiswa, juga pembatasan Partai Politik, akibatnya Pemilu hanya sandiwara politik.
Kedua, kecintaannya yang berlebihan pada keluarganya. Saat putra-putri Soeharto dewasa, ia memberikan kebebasan bisnis serta tindakan pada putra-putri dan kronisnya hingga menyebabkan muncul banyak KKN yang merugikan Negara.
Ketiga, Degradasi Idealisme. Banyak kalangan menilai dua puluh tahun awal kepemimpinan, Soeharto mampu membawa Indonesia pada kemakmuran. Namun, idealisme untuk membangun bangsa kia memudar.
Cerita kepemimpinan Soeharto tidak terlepas dari mahasiswa. Ia menjadi Presiden disokong oleh gerakan mahasiswa periode 1966 dan ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa pada 1998. Sepuluh tahun lalu berlalu, mahasiswa angkatan ’98 yang dulu tegap berdemonstrasi kini menjadi pejabat. Namun selama jangka waktu itu pula kasus KKN era Orde Baru masih buntu.
Di sisi lain, universitas ternyata tidak banyak memberi kontribusi yang berarti dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Lulusan universitas hanya sarjana tanpa kompetensi keilmuan serta penjiwaan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. sangat sulit menemukan mahasiswa yang memaknai dan mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi hanya mesin yang melahirkan individu pragmatis. Sistem ini membuat idealisme mahasiswa luntur oleh harta dan kekuasaan.
Kini seharusnya mahasiswa sadar akan status sebagai “agen perubahan” yang menjaga teguh idealisme. Sehingga mahasiswa, mahasiswanya tidak hanya mampu menyelesaikan tanggung jawab akademik tetapi juga dapat menjalankan tanggung social sebagai mahasiswa dan menawarkan solusi terbaik bagi bangsa.
Source : Mahasiswa Jur. Biologi - UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar