Jumat, Agustus 30, 2013

Perdagangan Bebas ASEAN dan China 2015

 
Sejak 1 Januari 2010 ini, Indonesia bersama ASEAN menapaki era perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA). Pertanyaannya: Apa implikasi perdagangan bebas ASEAN-China bagi perekonomian Indonesia, khususnya bagi industri dalam negeri, pertanian, dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ?
Mengacu dokumen ACFTA, tujuan perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama perdagangan kedua pihak dan meliberalisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tariff atau bea masuk. Juga untuk mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi saling menguntungkan serta memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di antara kedua belah pihak.


Sewaktu dokumen ACFTA diteken November 2002, situasi perbandingan ekspor-impor Indonesia-China masih relatif setara. Sebab walaupun surplus perdagangan dinikmati China, namun selisihnya tidak terlalu besar. Dengan kata lain, Indonesia relatif bisa bersaing dengan produk China khususnya maupun negara anggota ASEAN lainnya.
Dalam konteks itu, dari segi potensi yang ditawarkan pasar bersama ASEAN, era perdagangan bebas ASEAN-China ini sebetulnya sangat menjanjikan. Artinya, ada peluang bisnis luar biasa bagi negara-negara yang terlibat di dalamnya yang sanggup memanfaatkannya. Terlebih semilyar lebih penduduk China terus meningkat daya belinya seiring pencapaian ekonomi mereka yang mencengangkan.
Pertanyaannya, setelah 7 tahun sejak diteken, sanggupkah kita berkompetisi dan memenangkan persaingan dalam era perdagangan bebas tersebut? Atau, jangan-jangan, justru Indonesia yang bakal menjadi “pasar bersama” barang-barang produksi China dan negara-negara ASEAN lainnya, yang dijual dengan harga lebih murah, dengan mutu yang setara atau lebih baik, serta dikemas lebih cantik ?

Mengkhawatirkan
Apabila kita menilik kinerja sektor industri, pertanian, dan UMKM Indonesia lima tahun terakhir, era perdagangan bebas ASEAN-China jujur saja justru serba mengkhawatirkan bagi posisi dan kepentingan Indonesia.

Sektor industri misalnya, bukannya berkembang menuju industri dewasa dan kuat (mature industry), namun malah mengalami deindustrialisasi. Tak sedikit industri dalam negeri, seperti tekstil dan alas kaki, gulung tikar karena tak mampu bersaing. Walhasil, sumbangan industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mestinya terus meningkat –sebagai ciri negara yang industrinya makin maju— justru semakin menurun dan digantikan komoditas primer atau bahan mentah.
Sebagai ilustrasi, ekspor industri baja Indonesia ke China pada 2002 senilai 30,3 juta dollar AS dan impor 51,4 juta dollar AS. Namun tahun lalu, defisit Indonesia semakin timpang lantaran ekspor hanya 36,9 juta dollar AS, sedangkan impor 1.026 juta dollar AS (sumber BPS/Depperin).

Sejalan dengan itu, banyak asosiasi industri kita, seperti baja, plastik, tekstil, menyuarakan ketidaksanggupannya bersaing dalam era pasar bebas ASEAN-China dalam waktu dekat. Ini mengingat beban biaya produksi yang berat di Indonesia. Kenaikan harga BBM dan listrik sebagai salah satu komponen pokok produksi menjadi salah satu sebabnya. Di samping masih merajalelanya praktek KKN yang berakibat ekonomi biaya tinggi (high-cost economy), tingginya suku bunga kredit perbankan (cost of money), dan lemahnya keterkaitan industri hulu dan hilir.

Kondisi sektor pertanian lebih memprihatinkan. Sebelum pasar bebas ASEAN-China berlaku, produk buah-buahan China dan Thailand sudah sejak lama membanjiri pasar Indonesia. Bahkan tidak hanya dijajakan di supermarket terkemuka, melainkan sudah dijual di kaki lima atau diasongkan di atas kereta ekonomi.

Dengan kata lain, sebelum kawasan perdagangan bebas ASEAN-China dimulai, sektor pertanian Indonesia sudah dikalahkan di kandangnya sendiri. Maka bisa dibayangkan, bagaimana nasib produk pertanian kita tatkala tarif nol persen diberlakukan dalam era perdagangan bebas. Bisa dipastikan banjir produk pertanian asal China dan negara-negara ASEAN lainnya ke Indonesia akan semakin menjadi-jadi.

Di tengah kondisi psikologis konsumen Indonesia yang lebih mementingkan produk murah daripada produksi bangsa sendiri, situasi ini jelas sangat mengkhawatirkan. Terlebih kemampuan daya beli rata-rata rakyat Indonesia masih rendah, sehingga godaan harga produk pertanian yang murah akan sulit dihalau begitu saja.

Sektor UMKM tak jauh beda. Sebelum era pasar bebas ASEAN-China diberlakukan, produk mainan anak-anak dari China, misalnya, sudah menyerbu pasar Indonesia, mulai dari supermarket hingga kaki lima. Belum lagi tekstil bermotif batik “made in China” dengan harga yang sangat murah, yang dipastikan akan menggerus pangsa pasar kain batik produksi perajin batik rumahan dalam negeri.

Minim Persiapan
Dari uraian di atas, bisa dilihat bahwa perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China semula memang potensial membawa kemajuan bagi perekonomian Indonesia. Akan tetapi, dengan catatan, sejak ditekennya perjanjian hingga menjelang diberlakukannya ACFTA, pemerintah bersungguh-sungguh mempersiapkan daya saing dan kinerja perekonomian dalam negeri agar siap tempur di ajang perdagangan bebas tersebut.
Namun faktanya, seperti disinggung di atas, yang terjadi di dalam negeri justru deindustrialisasi, melemahnya daya saing produk pertanian, dan kian termarjinalisasinya UMKM. Dengan kata lain, persiapan kita sangat minim.

Banyak faktor yang ikut berperan di sini. Antara lain, diabaikannya sektor riil dibanding sektor finansial, tak kunjung dibenahinya infrastruktur, reformasi birokrasi yang tak serius yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi tetap menggejala, gagalnya revitalisasi pertanian, dan kurangnya komitmen pemerintah melakukan politik afirmasi bagi UMKM.
Lebih dari itu, barang-barang produksi negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, dan China relatif sejenis. Yakni, masih sama-sama mengandalkan produksi sektor pertanian dan industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki. Dalam kondisi ini, bisa dipastikan jika kran pasar bebas dibuka, yang bertahan ialah negara yang sanggup memproduksi barang dengan cara paling efisien alias murah meriah, dengan kualitas setara bahkan lebih baik. Posisi inilah yang dimiliki China, yang bisa menekan ongkos produksi serendah mungkin lantaran berbagai biaya faktor produksi mereka yang lebih murah.
China bisa merebut posisi unggulan ini lantaran penguasaan mereka atas teknologi produksi kimia dasar, sehingga bisa tiap saat memasok bahan baku industri manufakturnya dengan harga murah, tanpa tergantung impor. Negeri Tirai Bambu ini juga sangat serius mereformasi birokrasi guna memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), bahkan dengan menghukum mati para koruptornya.

Jadi, bukan lagi rendahnya upah buruh di China yang menjadi alasan murahnya produk mereka sehingga memenangkan persaingan. Sebab, upah rata-rata tenaga kerja di Vietnam sekarang ini pun lebih mahal daripada upah buruh Indonesia, toh daya saing produk Vietnam mulai mengalahkan produk Indonesia.

Ditinjau Ulang
Walhasil, secara pukul rata, sekarang ini nyaris tak ada keunggulan kompetitif Indonesia menyongsong era perdagangan bebas ASEAN-China. Bahkan, keunggulan komparatif pun, terkait kekayaan sumber daya alam yang bisa dijual misalnya, Indonesia masih harus bersaing keras dengan negeri jiran Malaysia.

Karena itu, perjanjian kawasan perdagangan bebas ASEAN-China ini –dari segi kepentingan ekonomi Indonesia ke depan— tidak sekadar perlu direnegosiasi pemberlakuannya, tapi layak ditinjau ulang secara keseluruhan. Dan ini dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 14 Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-negara ASEAN dan China. Sebab jelas sekali posisi Indonesia cenderung sangat tidak diuntungkan, setidaknya hingga 20 tahun mendatang.

Perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan Indonesia dengan negara lain, idealnya ditempuh dengan negara-negara yang tak memiliki produksi barang dan jasa yang relatif sama dengan Indonesia. Sehingga rezim perdagangan bebas tidak akan memukul sektor industri manufaktur, sektor pertanian, maupun UMKM dalam negeri. Sebaliknya kita justru akan memiliki keunggulan komparatif terhadap negara mitra.

Dalam konteks inilah, Indonesia mestinya mengadakan perdagangan bebas dengan negara-negara yang perekonomiannya telah memasuki tahap industri lanjut (pasca-industry), bukan negara-negara sedang berkembang. Mereka relatif tidak lagi mengandalkan sektor pertanian atau manufaktur, melainkan sudah beralih kepada industri berteknologi tinggi seperti komputer dan peranti lunak komputer.


 

by : Aria Bima

Tidak ada komentar:

Posting Komentar