Jumat, 14 Juli 2006
Di setiap fakultas di NTU (Nanyang Technological University, Singapore) selalu ada orang Indonesia masuk daftar top lima persen.
Kalau tuan rumah Singapura berhasil menggondol medali emas atau berdiri di podium kemenangan 37th International Physics Olympiad (37th IPhO) yang berakhir Senin depan (17/7), maka jangan lupakan nama ini: Bernard Ricardo Widjaja (21 tahun).
Ia bukan guru besar atau ilmuwan yang hasil risetnya tertebar di berbagai jurnal ilmiah. Bernard cuma mahasiswa. Lulus dari SMA Regina Pacis, Bogor, ia memilih School of Electrical and Electronic Engineering Nanyang Technological University (NTU) Singapura, perguruan tinggi peringkat 26 dunia. Kini ia duduk di semester tujuh.
Sebagai mahasiswa, ia tergolong bukan mahasiswa rata-rata. Pertengahan tahun lalu, ia didaulat memberi les fisika singkat untuk tim IPhO Singapura. Cuma tiga hari, tapi upahnya seribu dolar Singapura (sekitar Rp 5,6 juta).
Tiga bulan terakhir, kesibukan mengajar kembali melanda Bernard. Ia dikontrak total jadi pelatih tim IPhO Negeri Singa untuk 37th IPhO. Itulah yang membuat jadwalnya sebagai mahasiswa tak lagi normal: mengajar dari pukul 09.00-17.00, sekaligus mengurusi tugas-tugas kuliahnya.
Tapi, bukan kesibukan ganda itu yang membuatnya jadi istimewa. Bernard --berstatus mahasiswa tingkat tiga-- didaulat menjadi `dosen' tunggal buat tim IPhO Singapura, sekaligus team leader. Ini amat mengejutkan, mengingat tahun-tahun sebelumnya tim IPhO Negeri Singa selalu dikomandani guru besar ternama. Negara-negara lain pun mempercayakan team leader-nya pada dosen-dosen yang mumpuni.
Menjadi kian mengejutkan, mengingat saat ini Singapura menyandang beban berat selaku tuan rumah untuk pertama kali sejak IPhO digelar pada 1967. Sungguh aneh jika tim Negeri Singa malah mengambil risiko dengan menyerahkan hidup matinya kepada mahasiswa semester tujuh yang nota bene berkewarganegaraan Indonesia.
Siapa Bernard ? Barangkali ia memang jenius. Pertengahan 2003 lalu, baru dua bulan lulus SMA, ia langsung ditawari mengajar siswa kelas tiga di SMU BPK Gading Serpong. Tawaran itu diterimanya. `'Saya jadi guru termuda di situ. Baru lulus kelas tiga SMA, eh, langsung mengajar kelas tiga SMA, ha...ha,'' kata dia kepada wartawan Republika, Iman Yuniart di kampus NTU, Singapura.
Tapi bukan itu yang membuat Singapura tertarik menyewa mentah-mentah Bernard. Pengalaman akademiklah yang membuat negeri jiran itu bernafsu mempekerjakannya: Bernard adalah peraih medali emas Asian Physics Olympiad (APhO) 2003 di Thailand, sekaligus peraih predikat The best in experiment di ajang ini. Ia juga penyandang medali perak di IPhO 2003 di Taiwan.
Pada 2004, Bernard diterima di Jurusan Elektro NTU lewat jalur beasiswa. Mengetahui ada jebolan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), NTU memanggil Bernard. Ia ditugasi mengajar tim IPhO Singapura yang akan bertanding di Salamanca, Spanyol, pada 2005.
Bernard tak cuma memberi materi pelajaran, tapi juga berbagi pengalaman selama ikut APhO dan IPhO. Trik dan strategi diungkap habis. Dari situlah, kata Bernard, para jago fisika Singapura ini terbuka mata soal kelemahan mereka. Di situ pula, sadarlah mereka keunggulan tim IPhO Indonesia, khususnya dalam strategi dan metode penguasaan materi fisika.
Pencerahan ini membuahkan hasil mengejutkan. Untuk pertama kali dalam sejarah, Singapura berhasil membawa pulang tiga medali emas dari ajang IPhO, Spanyol. Jumlah ini bahkan melebihi perolehan tim IPhO Indonesia saat itu (dua medali emas). `'Sebelumnya, Singapura maksimal cuma mendapat satu emas di setiap IPhO,'' terang Bernard. Pengalaman bagus itu membuat Singapura tak ragu menyewa total Bernard pada IPhO 2006 ini.
Mengabdi pada asing? Bernard menolak disebut demikian. Bernard mengaku memperoleh beasiswa penuh dari NTU, sekitar 6.000 dolar Singapura (Rp 35 jutaan) per tahun. Jika lulus pun, ia dikenai aturan ketat: dilarang bekerja selain di perusahaan milik Singapura selama tiga tahun. Ia sudah teken kontrak untuk itu.
`'Banyak yang bertanya kok saya malah bantu tim Singapura?'' katar dia. Namun, Bernard punya pikiran lain yang sejalan dengan pikiran Prof Yohanes Surya, sang mentor. Menurut dia, jika tim Singapura sukses, orang-orang akan bertanya siapa yang melatih? `'Begitu tahu dari Indonesia, mereka kan kaget,'' kata Bernard.
IPhO di Singapura lantas menjadi ajang 'perseteruan' antara murid dan guru. Bertindak sebagai team leaderSingapura, Bernard praktis 'bersaing' dengan tim leader Indonesia, Prof Yohanes Surya, yang notabene pembimbingnya saat di TOFI.
Tak kalah
Di jurusannya, Bernard harus bersaing dengan 400-500 mahasiswa dari berbagai negara. Dan ia membuktikan bahwa otak orang Indonesia tidak kalah encer. Buktinya, dari sembilan mata pelajaran yang diambilnya semester ini, delapan mata pelajaran dapat nilai A. Ada satu mahasiswa dari Cina yang memperoleh nilai persis sama.
Bernard amat yakin kalau orang Indonesia cerdas-cerdas. Di NTU, misalnya, prestasi mahasiswa asal Indonesia di atas rata-rata. ''Persoalannya kita tak tahu saja cara menggali dan memeliharanya saja,'' terang Bernard yang almarhum ayahnya seorang dosen. Ia sepakat bahwa banyak orang potensial di negeri ini yang tak tersentuh.
Ade Irawan, anggota tim IPhO 2006 asal SMAN 1 Pekanbaru, termasuk yang beruntung sempat terlacak. Ia pemuda pendiam. Namun gurunya melihat ia potensial dan mendorongnya ikut OSN untuk mata pelajaran fisika. Sukses. Ayah Ade Irawan cuma seorang montir di bengkel motor.
Tahun lalu Prof Yohanes Surya, koordinator TOFI, melakukan survei kecerdasan (test IQ) untuk siswa-siswa SMP/SMA di wilayah timur Indonesia. Surya mendapati ada anak yang IQ-nya mencapai 152 (IQ jenius adalah 140-an). Diduga, banyak anak-anak jenius lain yang terabaikan, lantaran tak pernah ada survei IQ dari pemerintah untuk mengungkapnya.
Karena itulah, Surya tak ragu mengadopsi anak-anak dari Papua untuk diikutsertakan dalam olimpiade-olimpiade internasional. Banyak yang sukses. Terakhir, akhir Juni 2006, siswa SMAN 5 Jayapura, Surya Bonai, meraih medali emas pada kompetisi internasional 'First Step to Nobel Prize in Chemistry'. Ini penghargaan Nobel junior pada bidang kimia, dan baru kali pertama digelar di dunia.
Dua tahun lalu digelar kompetisi fisika antaruniversitas di Amerika Serikat (AS). Massachusetts Institute of Technology (MIT) tercatat keluar sebagai sebagai juara umum. MIT mengirim empat orang wakilnya. Tiga diantaranya ternyata orang Indonesia.
Kalau Sekolah tidak lagi Fun
Ia memilih Singapura. Kendati pada Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) 2003 lalu, Arfika Nurhudatiana (21 tahun) diterima di jurusan teknik informatika Institut Teknologi Bandung (ITB).
Arfika sulit menampik beasiswa lebih dari 5.000 dolar Singapura per tahun dari Sembawang Coorporation, sebuah perusahaan Singapura. Meski kelak ia harus teken kontrak 'ikatan dinas' selama tiga tahun dengan negeri jiran ini.
Di Singapura, Arfika menempuh studi di jurusan teknik komputer Nanyang Technological University (NTU) Singapura. Dan tahulah ia betapa kontrasnya sistem pendidikan di negeri jiran ini dengan di Indo --begitu mahasiswa NTU menyebut Indonesia.
Di NTU, atau universitas Singapura pada umumnya, kata dia, belajar jauh lebih menyenangkan: tak melulu dijejali teori muluk-muluk, tapi lebih banyak praktiknya. Mahasiswa lebih getol mengerjakan proyek di lapangan ketimbang berjam-jam duduk mendengarkan dosen: bertemu banyak orang, melakukan apa yang mereka mau, dan setelah itu presentasi. ''Lebih banyak experience practical-nya. Ini membuat enggak boring, tapi fun banget,'' terang dia.
Di Indonesia, mahasiswa dibebani mata pelajaran segudang, kadang banyak yang tak perlu, dan amat teoritis. Tak heran lulus S-1 bisa rata-rata 5 tahun. ''Itu saja sudah bikin fun belajarnya hilang,'' kata Arfika.
Soal profesionalitas dosen, kata Arfika, juga ada perbedaan amat besar. Di NTU, terang Arfika, dosen benar-benarhelpful. Tak heran, mahasiswa senang sekali bertemu sang dosen. ''Mereka menganggap kita sebagai partner, bukan guru dan murid,'' terangnya.
Mendekati waktu ujian, dosen menyediakan waktu dua jam sehari di kantornya. Mahasiswa bisa masuk kapan saja untuk bertanya. Di sini, lanjut Arfika, sidang skripsi bukan ajang 'pembantaian'. Proyek tugas akhir ini diartikan sebagai kerja bareng mahasiswa dan dosen, kemudian sang mahasiswa persentasi.
Kalau ada proyek riset, sang dosen tak ragu melibatkan mahasiswanya. Mereka juga membantu mahasiswa melakukanfunding untuk S2 atau S3. ''Di Singapura berlaku sistem meritokrasi. Silakan belajar, usaha, siapa pun yang belajar dan bekerja dengan baik, maka dapat pekerjaan bagus. Enggak ada KKN,'' terang dia.
Arfika mengaku berminat kembali ke Indonesia untuk menjadi staf pengajar, tapi dengan catatan. ''Kita lihat dulu bagaimana kondisinya. Kalau sistem pendidikannya tidak terlalu kondusif, ya mau gimana, bisa-bisa semua ilmu yang didapat di Singapura percuma,'' selorohnya.
Menurut dia, orang Indonesia punya benih kecerdasan di atas rata-rata. Buktinya, ''Di NTU, orang Indonesia selalu masuk top 20 persen dari angkatannya. Malah tak sedikit yang masuk top lima persen, dan langsung diberi dana besar untuk mengerjakan proyek. Di setiap fakultas di NTU selalu ada orang Indonesia yang top lima persen,'' kata dia.
Mereka yang di Mancanegara
1. Okky Gunawan (perunggu IPhO 1993), program doktor Princeton University.
2. Bagus Bani Abdillah (perunggu IPhO 1995), program master Tokyo Institute of Technology.
3. Teguh Budi Mulya (perak IPhO 1995), program master Wisconsin University, AS.
4. Wahyu Setiawan (perunggu IPhO 1996), program doktor Florida State University, AS.
5. Boy Tanto (perunggu IPhO 1997), program master University of Wisconsin, AS.
6. Hendra Johny Kwee (Special Award IPhO 1997), program doktor College of William and Marry, AS.
7. Bahar Riand Passa (perunggu IPhO 2000), program master Nanyang Technological University, Singapura.
8. Halim Kusumaatmaja (perunggu IPhO 2000), program doktor Oxford University.
Sumber: TOFI ( smu_mosa@yahoogroups.com | Yang Bersinar di Negeri Orang )
Di setiap fakultas di NTU (Nanyang Technological University, Singapore) selalu ada orang Indonesia masuk daftar top lima persen.
Kalau tuan rumah Singapura berhasil menggondol medali emas atau berdiri di podium kemenangan 37th International Physics Olympiad (37th IPhO) yang berakhir Senin depan (17/7), maka jangan lupakan nama ini: Bernard Ricardo Widjaja (21 tahun).
Ia bukan guru besar atau ilmuwan yang hasil risetnya tertebar di berbagai jurnal ilmiah. Bernard cuma mahasiswa. Lulus dari SMA Regina Pacis, Bogor, ia memilih School of Electrical and Electronic Engineering Nanyang Technological University (NTU) Singapura, perguruan tinggi peringkat 26 dunia. Kini ia duduk di semester tujuh.
Sebagai mahasiswa, ia tergolong bukan mahasiswa rata-rata. Pertengahan tahun lalu, ia didaulat memberi les fisika singkat untuk tim IPhO Singapura. Cuma tiga hari, tapi upahnya seribu dolar Singapura (sekitar Rp 5,6 juta).
Tiga bulan terakhir, kesibukan mengajar kembali melanda Bernard. Ia dikontrak total jadi pelatih tim IPhO Negeri Singa untuk 37th IPhO. Itulah yang membuat jadwalnya sebagai mahasiswa tak lagi normal: mengajar dari pukul 09.00-17.00, sekaligus mengurusi tugas-tugas kuliahnya.
Tapi, bukan kesibukan ganda itu yang membuatnya jadi istimewa. Bernard --berstatus mahasiswa tingkat tiga-- didaulat menjadi `dosen' tunggal buat tim IPhO Singapura, sekaligus team leader. Ini amat mengejutkan, mengingat tahun-tahun sebelumnya tim IPhO Negeri Singa selalu dikomandani guru besar ternama. Negara-negara lain pun mempercayakan team leader-nya pada dosen-dosen yang mumpuni.
Menjadi kian mengejutkan, mengingat saat ini Singapura menyandang beban berat selaku tuan rumah untuk pertama kali sejak IPhO digelar pada 1967. Sungguh aneh jika tim Negeri Singa malah mengambil risiko dengan menyerahkan hidup matinya kepada mahasiswa semester tujuh yang nota bene berkewarganegaraan Indonesia.
Siapa Bernard ? Barangkali ia memang jenius. Pertengahan 2003 lalu, baru dua bulan lulus SMA, ia langsung ditawari mengajar siswa kelas tiga di SMU BPK Gading Serpong. Tawaran itu diterimanya. `'Saya jadi guru termuda di situ. Baru lulus kelas tiga SMA, eh, langsung mengajar kelas tiga SMA, ha...ha,'' kata dia kepada wartawan Republika, Iman Yuniart di kampus NTU, Singapura.
Tapi bukan itu yang membuat Singapura tertarik menyewa mentah-mentah Bernard. Pengalaman akademiklah yang membuat negeri jiran itu bernafsu mempekerjakannya: Bernard adalah peraih medali emas Asian Physics Olympiad (APhO) 2003 di Thailand, sekaligus peraih predikat The best in experiment di ajang ini. Ia juga penyandang medali perak di IPhO 2003 di Taiwan.
Pada 2004, Bernard diterima di Jurusan Elektro NTU lewat jalur beasiswa. Mengetahui ada jebolan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), NTU memanggil Bernard. Ia ditugasi mengajar tim IPhO Singapura yang akan bertanding di Salamanca, Spanyol, pada 2005.
Bernard tak cuma memberi materi pelajaran, tapi juga berbagi pengalaman selama ikut APhO dan IPhO. Trik dan strategi diungkap habis. Dari situlah, kata Bernard, para jago fisika Singapura ini terbuka mata soal kelemahan mereka. Di situ pula, sadarlah mereka keunggulan tim IPhO Indonesia, khususnya dalam strategi dan metode penguasaan materi fisika.
Pencerahan ini membuahkan hasil mengejutkan. Untuk pertama kali dalam sejarah, Singapura berhasil membawa pulang tiga medali emas dari ajang IPhO, Spanyol. Jumlah ini bahkan melebihi perolehan tim IPhO Indonesia saat itu (dua medali emas). `'Sebelumnya, Singapura maksimal cuma mendapat satu emas di setiap IPhO,'' terang Bernard. Pengalaman bagus itu membuat Singapura tak ragu menyewa total Bernard pada IPhO 2006 ini.
Mengabdi pada asing? Bernard menolak disebut demikian. Bernard mengaku memperoleh beasiswa penuh dari NTU, sekitar 6.000 dolar Singapura (Rp 35 jutaan) per tahun. Jika lulus pun, ia dikenai aturan ketat: dilarang bekerja selain di perusahaan milik Singapura selama tiga tahun. Ia sudah teken kontrak untuk itu.
`'Banyak yang bertanya kok saya malah bantu tim Singapura?'' katar dia. Namun, Bernard punya pikiran lain yang sejalan dengan pikiran Prof Yohanes Surya, sang mentor. Menurut dia, jika tim Singapura sukses, orang-orang akan bertanya siapa yang melatih? `'Begitu tahu dari Indonesia, mereka kan kaget,'' kata Bernard.
IPhO di Singapura lantas menjadi ajang 'perseteruan' antara murid dan guru. Bertindak sebagai team leaderSingapura, Bernard praktis 'bersaing' dengan tim leader Indonesia, Prof Yohanes Surya, yang notabene pembimbingnya saat di TOFI.
Tak kalah
Di jurusannya, Bernard harus bersaing dengan 400-500 mahasiswa dari berbagai negara. Dan ia membuktikan bahwa otak orang Indonesia tidak kalah encer. Buktinya, dari sembilan mata pelajaran yang diambilnya semester ini, delapan mata pelajaran dapat nilai A. Ada satu mahasiswa dari Cina yang memperoleh nilai persis sama.
Bernard amat yakin kalau orang Indonesia cerdas-cerdas. Di NTU, misalnya, prestasi mahasiswa asal Indonesia di atas rata-rata. ''Persoalannya kita tak tahu saja cara menggali dan memeliharanya saja,'' terang Bernard yang almarhum ayahnya seorang dosen. Ia sepakat bahwa banyak orang potensial di negeri ini yang tak tersentuh.
Ade Irawan, anggota tim IPhO 2006 asal SMAN 1 Pekanbaru, termasuk yang beruntung sempat terlacak. Ia pemuda pendiam. Namun gurunya melihat ia potensial dan mendorongnya ikut OSN untuk mata pelajaran fisika. Sukses. Ayah Ade Irawan cuma seorang montir di bengkel motor.
Tahun lalu Prof Yohanes Surya, koordinator TOFI, melakukan survei kecerdasan (test IQ) untuk siswa-siswa SMP/SMA di wilayah timur Indonesia. Surya mendapati ada anak yang IQ-nya mencapai 152 (IQ jenius adalah 140-an). Diduga, banyak anak-anak jenius lain yang terabaikan, lantaran tak pernah ada survei IQ dari pemerintah untuk mengungkapnya.
Karena itulah, Surya tak ragu mengadopsi anak-anak dari Papua untuk diikutsertakan dalam olimpiade-olimpiade internasional. Banyak yang sukses. Terakhir, akhir Juni 2006, siswa SMAN 5 Jayapura, Surya Bonai, meraih medali emas pada kompetisi internasional 'First Step to Nobel Prize in Chemistry'. Ini penghargaan Nobel junior pada bidang kimia, dan baru kali pertama digelar di dunia.
Dua tahun lalu digelar kompetisi fisika antaruniversitas di Amerika Serikat (AS). Massachusetts Institute of Technology (MIT) tercatat keluar sebagai sebagai juara umum. MIT mengirim empat orang wakilnya. Tiga diantaranya ternyata orang Indonesia.
Kalau Sekolah tidak lagi Fun
Ia memilih Singapura. Kendati pada Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) 2003 lalu, Arfika Nurhudatiana (21 tahun) diterima di jurusan teknik informatika Institut Teknologi Bandung (ITB).
Arfika sulit menampik beasiswa lebih dari 5.000 dolar Singapura per tahun dari Sembawang Coorporation, sebuah perusahaan Singapura. Meski kelak ia harus teken kontrak 'ikatan dinas' selama tiga tahun dengan negeri jiran ini.
Di Singapura, Arfika menempuh studi di jurusan teknik komputer Nanyang Technological University (NTU) Singapura. Dan tahulah ia betapa kontrasnya sistem pendidikan di negeri jiran ini dengan di Indo --begitu mahasiswa NTU menyebut Indonesia.
Di NTU, atau universitas Singapura pada umumnya, kata dia, belajar jauh lebih menyenangkan: tak melulu dijejali teori muluk-muluk, tapi lebih banyak praktiknya. Mahasiswa lebih getol mengerjakan proyek di lapangan ketimbang berjam-jam duduk mendengarkan dosen: bertemu banyak orang, melakukan apa yang mereka mau, dan setelah itu presentasi. ''Lebih banyak experience practical-nya. Ini membuat enggak boring, tapi fun banget,'' terang dia.
Di Indonesia, mahasiswa dibebani mata pelajaran segudang, kadang banyak yang tak perlu, dan amat teoritis. Tak heran lulus S-1 bisa rata-rata 5 tahun. ''Itu saja sudah bikin fun belajarnya hilang,'' kata Arfika.
Soal profesionalitas dosen, kata Arfika, juga ada perbedaan amat besar. Di NTU, terang Arfika, dosen benar-benarhelpful. Tak heran, mahasiswa senang sekali bertemu sang dosen. ''Mereka menganggap kita sebagai partner, bukan guru dan murid,'' terangnya.
Mendekati waktu ujian, dosen menyediakan waktu dua jam sehari di kantornya. Mahasiswa bisa masuk kapan saja untuk bertanya. Di sini, lanjut Arfika, sidang skripsi bukan ajang 'pembantaian'. Proyek tugas akhir ini diartikan sebagai kerja bareng mahasiswa dan dosen, kemudian sang mahasiswa persentasi.
Kalau ada proyek riset, sang dosen tak ragu melibatkan mahasiswanya. Mereka juga membantu mahasiswa melakukanfunding untuk S2 atau S3. ''Di Singapura berlaku sistem meritokrasi. Silakan belajar, usaha, siapa pun yang belajar dan bekerja dengan baik, maka dapat pekerjaan bagus. Enggak ada KKN,'' terang dia.
Arfika mengaku berminat kembali ke Indonesia untuk menjadi staf pengajar, tapi dengan catatan. ''Kita lihat dulu bagaimana kondisinya. Kalau sistem pendidikannya tidak terlalu kondusif, ya mau gimana, bisa-bisa semua ilmu yang didapat di Singapura percuma,'' selorohnya.
Menurut dia, orang Indonesia punya benih kecerdasan di atas rata-rata. Buktinya, ''Di NTU, orang Indonesia selalu masuk top 20 persen dari angkatannya. Malah tak sedikit yang masuk top lima persen, dan langsung diberi dana besar untuk mengerjakan proyek. Di setiap fakultas di NTU selalu ada orang Indonesia yang top lima persen,'' kata dia.
Mereka yang di Mancanegara
1. Okky Gunawan (perunggu IPhO 1993), program doktor Princeton University.
2. Bagus Bani Abdillah (perunggu IPhO 1995), program master Tokyo Institute of Technology.
3. Teguh Budi Mulya (perak IPhO 1995), program master Wisconsin University, AS.
4. Wahyu Setiawan (perunggu IPhO 1996), program doktor Florida State University, AS.
5. Boy Tanto (perunggu IPhO 1997), program master University of Wisconsin, AS.
6. Hendra Johny Kwee (Special Award IPhO 1997), program doktor College of William and Marry, AS.
7. Bahar Riand Passa (perunggu IPhO 2000), program master Nanyang Technological University, Singapura.
8. Halim Kusumaatmaja (perunggu IPhO 2000), program doktor Oxford University.
Sumber: TOFI ( smu_mosa@yahoogroups.com | Yang Bersinar di Negeri Orang )
aslm, mau tanya kak, gimana ya cara nya dapet beasiswa s2 di NTU? soal ny untuk biaya sendiri perekonomian kurang mampu, mohon bls ke email shinta27caseystoner@gmail.com terima kasih sebelum ny, maaf merepotkan :)
BalasHapus