Bung Karno sering dianggap tidak faham ekonomi. Herbert Feith, dalam buku The Decline of Constitutional Democracy, mengkategorikan Bung Karno sebagai pemimpin solidarity maker (pemimpin massa). Feith menyebut tipe pemimpin solidarity maker hanya memiliki keahlian menghimpun dan membakar gelora massa, tapi tidak memiliki kecakapan untuk mewujudkannya.
Frans Seda, yang pernah menjadi menteri menjelang akhir kekuasaan Bung Karno, menganggap pengetahuan Bung Karno tentang ekonomi sangatlah berbobot. Tetapi, kata Frans Seda, pengetahuan ekonomi Bung Karno tidak bisa disamakan dengan Hatta.
“Bung Hatta menguasai ilmu dan analisa tentang sistem dan proses ekonomi, sedangkan Bung Karno punya feeling sebagai seniman cendekia tentang sistem ekonomi dengan segala implikasinya,” terang Frans Seda dalam buku “Frans Seda-Simfoni Tanpa Henti- Eknomi Politik Masyarakat Baru Indonesia”, yang diterbitkan Grasindo tahun 1992.
Bung Hatta memang pernah mengikuti pendidikan formal mengenai ekonomi secara mendalam di Rotterdam, Belanda. Boleh dikatakan bahwa Bung Hatta merupakan ahli ekonomi pertama dalam sejarah Indonesia. Bung Karno punya buku lengkap yang secara khusus membahas teori-teori ekonomi, yaitu “Beberapa Fasal Ekonomi”, yang ditulisnya dari tahun 1935 hingga 1941.
Sementara Bung Karno belajar ekonomi (dan politik sekaligus) dari guru-guru sosial-demokratnya dan karangan-karangan ekonom marxist yang terkenal jaman itu seperti Rudolf Hilferding, JA Hobson, Karl Kautsky, dan Rosa Lusemburg.
Dan, seperti dikatakan Frans Seda, Bung Karno-lah yang paling getol dan konsisten menggunakan analisa ekonomi marxisme dalam menganalisa struktur masyarakat, sistem kolonialisme, dan juga feodalisme. Bung Karno sendiri merumuskan gagasan-gagasannya dalam Pokok-Pokok Sistem Ekonomi Terpimpin.
Dalam sebuah kuliah tentang Pancasila di Istana Negara, 3 September 1958, Bung Karno menguraikan panjang lebar soal krisis kapitalisme. Katanya, Kapitalisme itu punya penyakit yang inherent, yaitu suatu pembawaan (sifat) dari kapitalisme itu sendiri. Penyakit inherent itu adalah kapitalisme akan selalu diganggu dengan krisis dan krisis itu terkadang berlangsung periodik.
Pandangan Bung Karno mengenai krisis kapitalisme yang bersifat inheren, tentunya sangat dekat dan akrab dengan analisa Marxisme. Dalam Manifesto Komunis yang digarap oleh Karl Marx dan Friedrich Engels dikatakan:
- “Sudah sejak berpuluh-puluh tahun sejarah industri dan perdagangan hanyalah sejarah pemberontakan tenaga-tenaga produktif modern melawan syarat-syarat produksi modern, melawan hubungan-hubungan milik yang merupakan syarat-syarat untuk hidup bagi borjuasi dan kekuasaannya. Cukuplah untuk menyebut krisis-krisis perdagangan yang dengan terulangnya secara periodik, setiap kali lebih berbahaya, mengancam kelangsungan hidup seluruh masyarakat borjuis. Di dalam krisis-krisis ini tidak saja sebagian besar dari baranghasil-baranghasil yang ada, tetapi juga dari tenaga-tenaga produktif yang telah diciptakan terdahulu, dihancurkan secara periodik.
Pernyataan Marx dan Engels itu juga diulangi Bung Karno. Menurut Bung Karno, saat kapitalisme banyak untung datanglah krisis. Pada saat kapitalisme hidup lagi, datang lagi krisis ekonomi. “Hidup lagi, banyak lagi untung, krisis lagi,” kata Bung Karno, seolah mengulang dalil-dalil Marxisme.
Bung Karno pun akrab dengan istilah “conjunctur” (kenaikan) dan “krisis” (kejatuhan). Ia mencatat bahwa terkadang periode krisis itu berlangsung “beberapa puluh tahun sekali”. Tetapi ada periode yang cukup lama, sering disebut “Im Aufstieg”, yaitu dari periode abad ke-18 hingga abad ke-20. Dalam periode itu ada conjunctur dan krisis.
Berikut cara Bung Karno menjelaskan conjucture itu:
- “Barang produksi banyak dan juga laku, sehingga meerwaarde (nilai tambah) yang masuk ke kantong sang pengusaha banyak sekali. Produksi tinggi dan selalu habis terjual. Ini namanya conjunctur. Memang, kapitalisme membuat barang untuk dijual. Kapitalisme tidak membuat barang untuk individuale consumptie. Sang kapitalis membuat barang itu tidak untuk dirinya. Kapitalis membuat kue mari misanya, membikin itu bukan untuk dimakan sendiri. Tetapi: untuk dijual dengan untung. Untung adalah sebagian daripada meerwaarde yang masuk ke dalam kantongnya. Ini adalah sifat dari kapitalisme: produksi untuk dijual dengan untung.”
Tetapi, kata Bung Karno lebih lanjut, produksi itu akan sampai pada suatu titik dimana tidak semua hasil produksi tidak habis terjual. Itulah yang disebut krisis overproductie (over-produksi). Situasi itu terjadi, katanya lagi, ketika suatu barang tidak bisa dijual lagi, produksi mandeg atau terpaksa diperkecil atau dikurangi.
Ketika itu terjadi, kata Bung Karno, biasanya si kapitalis akan merespon dengan perbaikan dalam sistem produksi; perbaikan mesin-mesin, propaganda daripada produksinya yang lebih menarik kepada rakyat; penekanan daripada tenaga kaum buruh yang georganiseerd (terorganisir) di dalam serikat-serikat pekerja, dan lain sebagainya.
Analisa Bung Karno itu lagi-lagi sangat kental dengan analisa Marxisme; bahwa kejatuhan tingkat keuntungan akan direspon si kapitalis dengan mekanisasi produksi, menyebarkan iklan, memperluas sistim kredit konsumsi, dan menekan upah pekerja dan menghancurkan gerakan buruh terorganisir.
Pada suatu titik, seperti diuraikan Bung Karno, mekanisasi alat-alat produksi dan efisiensi itu mencapai tingkat maksimum, yaitu suatu fase dimana kecakapan manusia sudah sampai pada puncaknya untuk memperbaiki alat-alat. Saat itu, sistim bedrijf (perusahaan) sudah tidak bisa lagi disempurnakan.
Sementara, bersamaan dengan situasi itu, gerakan buruh sudah tumbuh dengan kuat dan terorganisir. Gerakan buruh menuntut kenaikan terhadap upah dan kondisi kerja mereka. Pada saat itulah, kata Bung Karno menyimpulkan, keuntungan (meerwaarde) si kapitalis akan semakin mengecil atau berkurang.
Bung Karno pun mencontohkan krisis yang menimpa pabrik-pabrik mobil Amerika Serikat jaman itu: Chrysler dan Ford Continental. Keduanya harus ditutup untuk sementara karena krisis.
Pada saat itulah, kapitalisme yang semakin kelelahan semakin tidak terhindarkan dari krisis-krisis yang lebih besar. Terjadilah periode yang disebut Niedergang (penurunan).
Bahkan, lebih hebat lagi, Bung Karno bisa menguraikan bagaimana krisis kapitalisme bisa menciptakan fasisme. Menurut Bung Karno, ketika kapitalisme mengalami periode krisis yang mendalam, maka demokrasi parlementer juga akan mengalami krisis dan tidak mampu bekerja.
Penyebabnya: Demokrasi parlementer memberikan kesempatan kepada semua orang untuk ikut bermusyawarah, tetapi alat propaganda, surat kabar, sekolah dll tetap di tangan si kapitalis. Meskipun kaum buruh bisa berpartisipasi dalam parlemen ini, tetapi mereka sulit untuk menguasai parlemen ini. Sehingga kaum buruh tidak bisa menuntaskan persoalannya.
Pada titik itulah, ketika demokrasi parlementer tak lagi menjadi jawaban atas krisis, maka kapitalisme memberi jalan kepada fasisme untuk menyelamatkan sistem. Inilah yang terjadi ketika kapitalisme mengalami krisis berat pada tahun 1920-an hingga 1940-an: kebangkitan fasisme dan perang dunia.
Bung Karno memang tidak bisa menjelaskan ekonomi secara “jelimet” (jeli), tetapi ia mengerti dengan betul apa itu ekonomi secara filosofis dan operasional. Ia mengerti dengan baik bagaimana sebuah ekonomi dapat diorganisir untuk kesejahteraan rakyatnya. Hanya saja, memang, pembangunan ekonomi tidak serta-merta dapat dihitung dengan rekenlat (mistar).
*) Anggota Redaksi Berdikari Online.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar