“Orang-orang
yang memakan riba, mereka tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang-orang yang gila kesurupan setan. Demikian itu karena
mereka telah berkata, “Berdagang itu sesungguhnya sama de-ngan riba”.
Padahal Allah menghalalkan berdagang dan mengharamkan riba. Maka
barangsiapa mau berhenti setelah datangnya nasihat ini dari Tuhannya
kepadanya, maka baginyalah apa yang sudah lalu dan perkaranya terserah
kepada Allah. Tetapi barangsiapa yang mengulang kembali, maka merekalah
penghuni neraka. Mereka akan kekal di dalamnya,” (QS. Al Baqarah : 275).
islampos.com—BANGSA
Bangsa Yahudi menghalalkan riba, karena beranggapan bahwa keuntungan
dengan berjual-beli dan keuntungan membungakan uang sama saja. Mereka
beranggapan, kalau menjual barang dengan harga Rp. 10, kontan, kemudian
kalau dengan kredit Rp. 15, atau Rp. 20, dibolehkan, maka sebenarnya
meminjamkan uang dengan bungapun juga dibolehkan.
Menurut
mereka selisih bunga dalam kredit sesuatu barang adalah karena
pengunduran waktu. Jika pengunduran waktu semacam ini boleh dijadikan
alasan untuk menaikkan harga barang, maka mengapa meminjamkan uang
dengan bunga tidak boleh? Pendirian mereka semacam ini sebenarnya adalah
berdasarkan pikiran analogis yang salah.
Kesalahannya
ialah bahwa di dalam pembungaan uang secara otomatis merugikan satu
pihak. Sedangkan dalam jual-beli (berdagang) pembeli dan penjual
sama-sama menghadapi barangnya yang nyata, baik manfaat yang dapat
dirasakan seketika itu ataupun pemikiran untuk selama-lamanya. Misalnya
orang yang membeli gandum, maka ia membeli untuk dimakan atau
diperdagangkan lagi, dan bukan untuk dibuang ke tanah. Dan harga barang
yang dibeli hanyalah dilakukan antara pembeli dan penjual berdasarkan
kemauan bebas dan dengan kerelaan.
Adapun
riba berarti memberikan beberapa rupiah kepada peminjam, kemudian
mengambilnya kembali berlipat ganda pada waktu yang lain. Apa yang
diambilnya dari peminjam lebih dari pokok pinjaman bukanlah sebagai
penukaran atau imbalan dari nilai barang atau kerja, tidak diambil atas
dasar kerelaan dan kemauan bebas, tetapi dengan paksa dan kebencian.
Jual
beli sebagai sarana untuk mendapatkan sesuatu yang akan dimiliki
dilakukan oleh seseorang dengan pilihan dan kemauan bebas serta adanya
kemerdekaan tawar-menawar. Dengan demikian dalam jual beli tidak ada
sifat pemaksaan sepihak. Sebab jual beli yang dilakukan dengan cara
paksaan adalah tidak syah. Hal ini jauh berbeda dengan riba. Selain
tidak ada kemerdekaan dan kebebasan pilihan pada pihak yang harus
membayar bunga, pada pihak pemberi pinjaman tidak mengalami resiko bila
terjadi sesuatu yang merugikan.
Bahkan
pemberi pinjaman selalu bertambah keuntungannya sedangkan peminjam
bertambah berat menanggung bunga uang. Memperhatikan cara berpikir
bangsa Yahudi yang menganggap dagang dan riba sama saja menunjukkan
bahwa mereka mempunyai karakter lintah darat dan pemeras serta jauh dari
perasaan belas kasihan kepada orang yang lemah. Maka dunia perdagangan
bila dikuasai oleh bangsa Yahudi niscaya akan menimbulkan malapetaka
bagi urnmat manusia seluruh dunia.
Bukti
yang konkret pada zaman modern ini ialah bencana yang menimpa
negara-negara berkembang akibat yang dililit hutang akibat pinjaman yang
berbunga dari Bank-Bank milik Yahudi di Amerika dan di Eropa Barat.
[islampos/sumber: 76 Karakter Yahudi Dalam Al-Qur’an, Karya: Syaikh
Mustafa Al-Maraghi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar