Pada
zaman sekarang, di negeri ini, sulit sekali untuk mencari tempat yang
bebas dari korupsi. Korupsi memang tidak mengenal istilah apakah
kelasnya besar atau kecil. Korupsi ya korupsi, apakah itu uang, waktu,
tenaga, atau materi lainnya. Tidak ada istilah negosiasi dalam
mendefinisikannya!
“Aku di purchasing,
bagian import. Jadi nggak usah khawatir. Aku nggak kerja di tempat
basah kok! Justru yang aku sekarang lagi bingungi adalah perusahaan di
Indonesia ini banyak sekali manipulasinya. Dan itu hampir di semua
perusahaan dan semua departmen. Misalnya pajak. Aku saat ini lagi dalam
dilema antara terus bekerja atau berhenti. Karena aku tahu bahwa ada
manipulasi di perusahaan. Dan aku merupakan bagian itu. Aku pernah
bilang sama boss tentang hal ini. Tetapi jawabnya... kalau itu nggak
kita lakukan perusahaan ini nggak bisa jalan, karena perusahaan yang
lain semua melakukakannya.”
“Aku
bingung. Kalau aku mau bersih mestinya aku nggak boleh bekerja di
instansi ini. Aku berencana pingin keluar tapi aku masih tunggu sampai
hutang-hutang lunas. Bagaimana menurut anda? Apa langkah yang aku
lakukan ini benar?”
Begitu
kata Asri, seorang ibu, karyawan sebuah perusahaan di Jakarta kemarin,
yang sedang gundah menghadapi negeri yang dilanda korupsi bertahun-tahun
ini. Di tengah-tengah gejolak para politikus yang berkampanye dengan
salah satu visi dan misinya yang antara lain ingin memberantas korupsi
ini, saya memang agak 'pesimis' ini bisa terjadi. Habis! Jujur saja,
saya pernah melakukannya, demikian pula teman-teman saya lainnya,
meskipun tidak sekelas koruptor-koruptor ulung kita yang mengeruk
kekayaan negara dan membawanya ke luar negeri.
Bagaimana
tidak korupsi ya? Waktu itu honor saya cuma lima belas ribu rupiah.
Tinggal di asrama yang disediakan oleh rumah sakit tempat saya bekerja,
makan juga tersedia. Tapi cukupkah penghasilan yang sedemikian? Dua
puluh tahun lalu, saya nggak tahu bagaimana orang menilainya, tapi kalau
dibandingkan gaji pegawai negeri golongan IIA, honor tersebut hanyalah
25%-nya. Kecilkan? Relatif. Saya dibayar sebagai tenaga honorer di
sebuah rumah sakit pemerintah.
Sebagai
tenaga honorer yang baru kerja, saya akui serba takut. Takut karena
belum berpengalaman dalam banyak bidang, salah satunya adalah soal uang
ini. Lambat laun saya 'diajarin' rekan-rekan senior bagaimana bisa
mendapatkan uang 'tambahan'. Sebagai yunior, kadang saya nggak bisa
apa-apa kecuali 'membenarkan nasehatnya'. Satu, dua, tiga, dan entah
berapa kali, akhirnya saya terbiasa mendapatkan uang-uang yang tidak
sehat ini. Alhamdulillah saya akhirnya menyadari, bahwa lingkungan kerja
semacam ini tidak mendidik secara moral. Saya pun pindah kerja!
Di
tempat kerja yang baru pun, bukannya tambah baik. Kok teman-teman kerja
yang gajinya masih di bawah angka penghasilan bulanan saya ini bisa
gonta-ganti pakaian setiap saat, punya kendaraan bermotor, dan
kelihatannya selalu punya uang ya? Su'udzon sih tidak, tapi kita kan
menggunakan kalkulasi logis? Di kantor kami, memang ada yang disebut
daerah 'basah' dan ada pula daerah 'kering'. Yang disebut pertama, sudah
menjadi rahasia umum.
Saya
sendiri akhirnya 'terdidik', untuk melipat-gandakan jumlah honor kerja
lapangan di luar gaji rutin bulanan. Misalnya, aslinya kita bekerja
hanya 8 jam seminggu di lapangan, kemudian diminta oleh pimpinan untuk
melipat-gandakan di atas kertas menjadi 32 jam, atau 400%. Sang
pimpinan, meskipun dia tidak ikut kerja, tapi namanya tercantum didalam
daftar pekerja lapangan. Nah! Sebagai seorang staf saya tidak bisa
berbuat apa-apa. Sistemnya dari dulu seperti itu! Semua orang
melakukannya.
Kepala
Tata Usaha (KTU)? Jangan tanya! Hampir bisa dipastikan, setiap karyawan
di kantor kami, 'menyisipkan' sejumlah uang ke sakunya, sebelum
diterima di instansi kami. Alhamdulillah, dengan bantuan Allah SWT, yang
ini tidak saya lakukan! Sementara karyawan lain, ada yang harus
mengangsur sesudah diterima jadi pegawai. Malangnya, sekitar 10 tahun
kemudian, saat saya sudah tidak bekerja lagi di kantor tersebut karena
pindah, sempat ketemu beliau, mantan KTU tersebut. Saya terharu
dibuatnya. Beliau masih juga belum punya rumah! Padahal sudah pensiun,
dan anak-anaknya menginjak usia dewasa, bahkan bercucu. Adakah ini
dampak dari sebagian uang haram yang diperolehnya? Hanya Allah SWT Yang
Maha Tahu!
Empat
tahun kemudian saya pindah kerja lagi. Di institusi yang baru ini,
milik sebuah yayasan Katolik terkenal di kota kami, terlihat 'bersih'.
Kultur kerja karyawannya terkenal: dedikasi tinggi, bebas korupsi!
Sekilas slogannya memang begitu, bagi kami orang-orang 'sipil'. Artinya,
segala sesuatu yang menyangkut uang, dikendalikan oleh para biarawati.
Lama-kelamaan saya tahu, kok suster-suster yang ada di dalamnya yang
duduk sebagai pengelola atau manajer di hampir semua departemen ini
kelihatanya 'makmur' ya? Ujung-ujungnya saya tahu, 'pepatah' yang
beredar di antara rekan-rekan kerja benar, bahwa jika ingin kaya, jadi
saja suster! Astaghfirullah!
Sambil
kerja, saya sekolah lagi. Di bangku kuliah, sebuah universitas milik
yayasan Islam terkemuka, para dosen kami ini kok enak saja kalau absen.
Seandainya nggak ngajar, mereka begitu saja biarkan
jadwal-tinggal-jadwal, tanpa ada pemberitahuan kepada mahasiswa. Apalagi
mengganti jam-jam kosong. Padahal kalau kami, mahasiswa terlambat bayar
uang kuliah, didenda kan? Hanya mahasiswa bodoh dan malas yang 'senang'
apabila dosen nya tidak datang. Bukankah dosen-dosen macam ini adalah
contoh guru yang bermental korupsi?
Di
perjalanan ke kampus setiap hari, saya biasa naik mikrolet yang
berkapasitas delapan orang di belakang, serta dua orang di depan
termasuk sopir. Eh! Ternyata yang duduk bisa sampai duabelas orang di
belakang dan tiga orang di depan termasuk si sopir. Jika penumpang
mengeluh soal overloaded ini, sang sopir bilang: “Naik aja taksi kalau
ingin enak!” Itu belum lagi jika penumpangnya ada yang gemuk, betapa
tidak nyamannya naik transport ini. Padahal kita juga bayar kan?
Yang enak, hidup di desa barangkali! Bisa bebas dari berbagai bentuk korupsi. Begitu kiraku.
Kalau
punya ladang atau sawah sendiri, itu yang digarap. Nyatanya,
kemungkinan korupsi masih tetap ada. Di sawah kita juga bisa korupsi
misalnya: air sawah! Kita bisa manfaatkan air yang mengalir secara tidak
adil. Jatah orang lain yang letaknya di belakang sawah kita tidak
terlalu kita perhatikan, alias kita dominasi penggunaan airnya. Petani
lain akhirnya gagal panennya karena ulah kita. Wah! Jadi petani pun juga
tidak begitu saja terhindar dari korupsi.
Seorang
adik saya, lulusan IKIP, hingga sepuluh tahun terakhir ini statusnya
masih guru tidak tetap di sebuah sekolah swasta. Saya bilang: itu lebih
baik dibanding harus 'menyogok' penjabat Depdiknas yang kata dia sebesar
dua puluh lima juta rupiah. Beberapa orang tetangga saya sejak dua
puluh tahun lalu, hingga sekarang ini, masih juga memiliki satu ceritera
yang tidak pernah berubah: korupsi dalam pencarian kerja! Jadi satpam
pabrik, atau buruh di pabrik plastik, mustahil tanpa KKN!
Kalau
saya urut bentuk dan macam-macam korupsi yang terjadi di negeri ini,
terlalu panjang untuk ditulis. Sampai kapan hal ini berlangsung? Adakah
pemimpin bangsa negeri ini concerned terhadap fenomena yang berlangsung
layaknya flu allergica ini? Saya berharap muncul kepemimpinan
yang meneladani sosok Umar bin Khattab r.a. atau Abu Bakar Sidik r.a.
Mereka yang berani memberantas korupsi dan jujur dalam tindakannya.
Manusia,
apapun profesinya, apakah itu dokter, insinyur, perawat, guru, sopir,
pedagang, biarawati, kyai, buruh pabrik, satpam, hingga petani, kalau
tidak terkendali, semuanya rawan akan korupsi. Pelaku atau korban
korupsi, kedua-duanya sama saja!
Manusia
memang tidak akan pernah puas dengan apa yang dimiliknya. Guna
pemenuhan kepuasan ini, banyak cara digunakan tanpa memandang apakah
halal atau haram. Teman-teman kerja saya, hampir tidak pernah ada
selesainya kalau berbicara masalah kepuasan ini. Sudah punya HP Alcatel
ingin Ericsson, kemudian mencoba Nokia. Tidak lama, ingin memiliki HP
yang berkamera. Sekarang, mau mencoba pula yang bervideo-camera
dilengkapi radio. Biar rekan-rekan ada yang berpenghasilan sepuluh juta
per bulan, masih kurang. Seorang rekan kerja, berprofesi sebagai auditor
keuangan, mengaku gajinya lebih dari tiga puluh juta, juga belum cukup
katanya. Astagfirullah!
Lingkungan
kerja memang amat berpengaruh besar dalam pembinaan moral korupsi ini.
Itulah pengalaman yang saya temui. Dua puluh tahun bukankah waktu yang
relatif cukup untuk mengevaluasi apakah lingkungan kerja kita berpotensi
membuat kita menjadi seseorang korup atau tidak? Betapapun kita sholat
lima waktu, pengajian seminggu tiga kali, kalau teman-teman dalam
lingkungan kerja kita rata-rata terjerat dalam lingkaran korupsi ini,
lantas akan berdiri di mana kita?
Saya tidak merasa bersih, apalagi suci. Namun melihat environment
seperti ini, membuat saya akhirnya pindah-pindah kerja beberapa kali.
Kalau kita mau 'bersih'di sebuah instansi, kita akan dianggap makhluk
'aneh'. Tolong dirumuskan, bagaimana caranya menolak tanda tangan uang
yang disodorkan kepada kita bila kita dibayar tanpa melakukan sebuah
tugas? Jika kita menolaknya, kepala bagian keuangan akan dibuat repot.
Repot karena penyusunan anggarannya kompeks sekali, termasuk pembagian
'jatah' tadi melalui perhitungan yang 'njlimet'. Risiko lainnya, jika
kita tidak mau menerima duit tadi, kita disebut sok suci, atau akan
dikucilkan teman-teman kantor. Sementara kalau mau menerima, timbul
konflik batin. Kita memakan duit bukan dari hasil keringat kita
sendiri.
Ironisnya,
ibu-ibu rumah tangga di sekitar kita, banyak yang kurang peka masalah
ini. Mereka puas dengan apa yang telah dibawa pulang suaminya. Bukannya
menanyakan: “Dari mana Pak datangnya semua duit ini?”
“Kapan
ya kita bisa terapkan kultur budaya tanpa harus korupsi ini?” tanyaku
pada diri sendiri di tengah-tengah proses demokrasi akbar yang sedang
kita alami ini. Sosok yang bisa bebas korupsi ini barangkali seperti
profesi yang digeluti oleh seorang janda tua di pinggiran
Trenggalek-Jawa Timur sana. Mbok Giyem namanya, Dukun Beranak
profesinya.
Di
dalam rumahnya, di sebuah desa terpencil Dongko, di tengah gunung, saya
hanya melihat sebuah amben kecil, dua buah kursi kayu yang sudah
kehitaman termakan usia. Satu meja kecil di pojokan ruang tamu yang
diatasnya tergeletak sebuah Partus Kit, perlengkapan menolong persalinan hadiah dari Puskesmas setempat.
Dukun
beranak terampil ini puas dengan kehidupan sehari-harinya, tanpa
menuntut banyak kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada ibu bersalin yang
harus dia kunjungi, atau bayi yang harus dia rawat, atau ibu hamil yang
butuh pijat, dia bawa keranjang kecilnya ke ladang atau sawahnya. Dia
cari apa-apa yang bisa dikerjakan atau bekal masak secukupnya di dapur
rumah gedeknya.
Mbok
Giyem mengatakan tidak pernah mematok harga berapa pasiennya harus
membayar jasanya, meski nenek tua itu harus naik-turun gunung di tengah
malam. Entah sudah berapa jumlah bayi yang sudah lahir lewat
pertolongannya. Di tengah kesulitan medan yang jauh dari gemerlap hidup
kota, digelutinya profesi langka ini dengan ikhlas.
Saya
yakin, nenek tua ini akan terkejut sekiranya mengetahui betapa dalam
kehidupan kota, banyak ditemui orang-orang yang berpendidikan tinggi,
yang menyandang profesi yang tidak jauh dengan apa yang beliau lakukan,
tidak lagi tulus menjalankan tanggung jawabnya. Korupsi sudah lumrah dan
menjadi keseharian orang-orang di lingkungan kesehatan. Buktinya? Masuk
ruang gawat darurat saja di banyak rumah sakit sulit sekali. Bisa jadi
mimpi jika tidak ada uang, betapapun darah mengalir deras, pelayanan
kesehatan bisa didapat. Uang dulu, nyawa kemudian!
Sebagai
warga negara, rasanya tidak berlebihan jika kita berharap dalam
kepemimpinan mendatang nanti, seperti halnya kepemimpinan dua Khalifah
diatas, pemerintah kita mampu membawa bangsa ini kepada prospek
kehidupan yang lebih baik. Sesak rasanya nafas ini ketika korupsi hampir
menyelimuti seluruh aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat kita.
Ketika
saya kirim email pada Rini, seorang karyawati di Jakarta, menanyakan
sedang musim apa saat ini, dia jawab, “Kalau udara, sepertinya sedang
musim pancaroba. Jadi, sebentar panassss... kemudian gelap dan hujan.
Makanya orang Indonesia baik dan ramah, karena udara juga mendukung.
Tidak seperti di UAE... udara panas, jadi hati orang pun mungkin cepat
panas!”
Apa
yang disampaikan Rini mungkin ada benarnya, bahwa kondisi udara di
Indonesia membuat penduduknya tidak harus cepat-cepat, apalagi
tergesa-gesa dalam banyak hal. Tidak seperti di Inggris dan Canada yang
dingin sekali, atau negara-negara Arab sana yang panas menyengat. Namun
kenapa di negara-negara yang terlalu dingin ataupun terlalu panas
udaranya ini angka korupsinya minim sekali? Apakah karena sikap
ramah-tamah kita ini sehingga untuk memberantas korupsi pun kita masih
harus berlambat-ria? Wallahu a'lam!
Syaifoel Hardy
shardy at emirates dot net dot ae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar