(Terobosan Inovatif Menangkal Penyakit)
Oleh : Muhammad Arifin bin Baderi
Oleh : Muhammad Arifin bin Baderi
Segala puji hanya milik Allah Ta’ala Yang telah menciptakan makhluq-Nya dengan hikmah, sehingga tiada satupun makhluq yang diciptakan dengan sia-sia,
“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada diantara keduanya dengan bermain-main“. (QS Al Anbiya’ 21:16).
Maha Suci Allah Yang telah menciptakan makhluq-Nya dengan berpasang-pasang.
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasang supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.”(QS Adz Dzariyat 51:49).
Ketentuan ini berlaku pada seluruh makhluq-Nya, tidak terkecuali berbagai penyakit yang menimpa manusia. Tidaklah Allah Ta’ala menciptakan suatu penyakit, melainkan telah menurunkan pula obatnya.
Meriwayatkan dari Rasulullah Sahabat Jabir, bahwa beliau bersabda:
“Setiap penyakit ada obatnya, dan bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh dengan izin Allah Azza wa Jalla.” (HR Muslim ).
Pada hadits lain riwayat Ibnu Mas’ud, beliau bersabda:
“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan telah menurunkan untuknya obat, hal itu diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya.” (HR Ahmad, At Thabrany dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Hakim).
Saudaraku! Hidup sehat dan kuat, jasmani dan ruhani adalah cita-cita setiap muslim.
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan dicintai Allah dibanding seorang mukmin yang lemah. Dan pada masing-masing mereka terdapat kebaikan. Gapailah setiap yang bermanfaat buat dirimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Bila engkau ditimpa sesuatu, jangan sekali-kali engkau berkata: andai aku berbuat demikian, niscaya demikian dan demikian. Akan tetapi hendaknya engkau berkata: Telah Allah tentukan, dan apa yang telah Ia kehendaki pasti terjadi. Karena sesungguhnya ucapan “andai” hanyalah membukakan pintu bagi setan untuk menggoda.” (HR Muslim).
Saudaraku! Bersyukurlah kepada Allah atas nikmat kesehatan dan selanjutnya jaga dan manfaatkan kesehatanmu untuk mengerjakan hal-hal yang berguna bagi agama dan duniamu. Janganlah engkau terperdaya dengan nikmat kesehatan, karena bisa saja suatu saat, Allah mencabut kenikmatan ini darimu.
“Dua kenikmatan yang kebanyakan orang terperdaya (lalai) tentangnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.”(HR Muslim).
Sekarang, anda berbadan sehat, kuat dan sedang menikmati masa muda. Akan tetapi bersama berjalannya waktu, kekuatan badan anda akan luntur, kesehatan anda menipis, dan masa muda andapun telah sirna. Atau mungkin saja, masa muda anda dihiasi oleh berbagai aral yang melintang, penyakit yang menghadang dan wabah penyakit yang mengancam. Sudahkan anda mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai hal tersebut?
Mungkin anda berkata: semasa kecil saya telah mendapatkan suntikan imunisasi yang lengkap, sehingga tidak perlu kawatir dengan berbagai wabah penyakit yang ada. Coba anda sejenak menengok ke masyarakat di sekitar anda, amatilah berbagai penyakit dan derita yang menimpa mereka. Atau barang kali anda berkesempatan untuk mengunjungi rumah sakit terdekat. Berapa banyak jenis penyakit dan derita yang menimpa mereka? Bisakah suntikan imunisasi yang telah anda dapatkan menanggulangi seluruh penyakit yang anda temukan?
Betapa banyak penyakit yang diderita saudara anda, hingga kini belum ditemukan pengobatannya, apalagi vaksin pencegahnya. Betapa banyak penyakit yang menimpa mereka terjadi karena hal-hal yang diluar dugaan, semacam bencana alam, kecelakaan, dan tindak kriminal orang yang tidak bertanggung jawab.
Sekali lagi, mungkinkah imunisasi yang telah anda dapatkan mampu melindungi diri anda dari berbagai penyakit tersebut?
Melalui tulisan sederhana ini, saya mengajak anda untuk menjalani imunisasi lain yang telah terbukti manjur dan efektif melindungi diri anda dari seluruh penyakit dan petaka yang telah anda saksikan dan ketahui.
Perkenankan saya untuk menjuluki imunisasi ini dengan imunisasi syari’at, karena berbagai “suntikan” imunisasi ini benar-benar bersumberkan dari Syari’at, dan bukan dari hasil eksperiman dan percobaan segelintir peniliti dan ilmuwan.
Selanjutnya, saran dan masukan dari anda sangat saya nantikan, semoga Allah Ta’ala menetapkan jiwa kita di atas agama-Nya, Wallahu a’alam bisshawab.
Madinah Munawwaroh, Saudi Arabia21 Rabi’ul Awal 1431M/6 Maret 2010 H
Biang Penyakit:
Sebelum kita berbicara lebih jauh tentang beberapa hal yang berkaitan dengan penanggulangan penyakit dan pengobatannya, alangkah indahnya bila kita sedikit menengok kepada dua biang penyakit dan wabah yang telah dilalaikan oleh umat manusia secara umum, dan kebanyakan kaum muslimin secara khusus. Hal ini penting kita lakukan, karena dengan mengetahui penyebab penyakit yang kita derita, maka pengobatannyapun menjadi mudah dan efektif.
Kedua biang penyakit tersebut ialah:
1- Kemaksiatan Adalah Sumber Berbagai Penyakit:
Telah banyak dalil, baik dari Al Qur’an dan As sunnah, serta dari berbagai fakta di alam semesta, yang menunjukkan bahwa kemaksiatan adalah salah satu penyebab terjadinya berbagai petaka dan penyakit. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan sungguh-sungguh Kami akan menimpakan kepada mereka sebagian azab dekat/kecil (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat) agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS As Sajdah 32:21).
Ibnu Abbas berkata: “Yang dimaksud dengan azab dekat/ kecil ialah berbagai musibah yang terjadi di dunia, penyakit dan petaka yang Allah timpakan kepada hamba-hamba-Nya, agar mereka bertaubat.”
Pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
“Barang siapa yang mengerjakan kejelekan, niscaya ia akan diberi balasan dengannya.” (QS An Nisa 4:123).
Qotadah berkata: “Telah sampai kepada kami bahwa tidaklah ada seseorang yang tergores oleh ranting, atau terkiliir kakinya atau terpelintir uratnya, melainkan akibat dari dosa yang ia perbuat.”
Pada suatu hari ada seseorang yang bertanya kepada sahabat Sa’ad bin Abi Waqqas dihadapan sahabat Usamah bin Zaid tentang penyakit/wabah dan tha’un, maka sahabat Usamah bin Zaid mengabarkan bahwa Rasulullah pernah menjelaskan tentang hal itu dengan sabdanya:
“Sesungguhnya penyakit ini adalah kotoran yang dengannya Allah mengazab sebagian umat sebelum kalian, kemudian tersisa di bumi, kadang kala ia hilang dan kadang kala ia datang kembali.” (Muttafaqun ‘alaih).
Menjelaskan bahwa salah satu hikmah dari setiap musibah yang menimpa seorang muslim ialah untuk menghapuskan kesalahan dan dosanya.
“Tidaklah seorang muslim ditimpa rasa letih, rasa sakit, gundah pikiran, rasa duka, gangguan dan kebingungan sampai-sampai duri yang menusuknya, melainkan akan Allah hapuskan sebagian dari kesalahannya.” (Muttafaqun ‘alaih).
Degan penjelasan singkat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa perbuatan maksiat adalah salah satu penyebab datangnya berbagai penyakit, baik sebagai balasan atau sebagai teguran kepada pelakunya agar ia kembali kepada jalan yang benar dan bertaubat dari kemaksiatan.
Diantara kemaksiatan yang sering menjadi biang munculnya berbagai penyakit baru ialah perbuatan zina, sebagaimana disabdakan oleh Nabi:
“Tidaklah perbuatan zina merajalela di suatu kaum, hingga mereka berterang-terangan ketika melakukannya, melainkan akan ada pada mereka berbagai wabah (tha’un) dan penyakit yang belum pernah ada pada generasi sebelum mereka.”
Dan pada sebagian jalur hadits ini dinyatakan: “Tidaklah perbuatan zina merajalela di suatu kaum, melainkan akan banyak kematian di tengah-tengah mereka.” (HR Al Hakim, At Thabrani dan Al Baihaqi, dan oleh Al Albani dinyatakan sebagai hadits shahih).
Ummul Mukminin Maimunah radhiallahu ‘anha mengisahkan bahwa ia pernah mendengar Nabi bersabda:
“Umatku senantiasa dalam keadaan baik, selama anak hasil perzinaan belum merajalela di tengah-tengah mereka. Bila anak hasil zina telah merajalela di tengah-tengah mereka, maka tidak lama lagi Allah akan menimpakan siksa-Nya kepada mereka semua.” (Riwayat Imam Ahmad, dan oleh Al Hafiz Ibnu Hajar dinyatakan sebagai hadits hasan, dan disetujui oleh Al Albani.)
Saudaraku, mungkin anda bertanya, bagaimana halnya dengan negri kita yang semua orang telah mengetahui bahwa prostitusi telah merajalela?
Ketahuilah saudaraku! Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPAN) memperkirakan jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia sampai Maret 2008 mencapai 200 ribu.
Deputi Sekretaris KPAN Bidang Pengembangan Program Dr Kemal Siregar di Bengkulu, berkata : “Kalau data yang dilansir Departemen Kesehatan (Depkes) pengindap HIV dan yang terjangkit AIDS di Indonesia per Maret 2008 sebanyak 12 ribu, tapi estimasi kita jauh lebih besar yakni mencapai 200 ribu.”
Menurutnya, penderita HIV/AIDS kondisinya bagaikan “gunung es” yakni yang terlihat di permukaan atau yang telah ditemukan jauh lebih kecil dibandingkan kondisi sebenarnya. Karena menurutnya, penderita yang telah ditemukan atau melaporkan dirinya mengidap penyakit itu hanya lima persen dari jumlah sebenarnya. Jumlah pengidap penyakit kotor ini yang belum terindektifikasi atau sengaja menutup diri, lebih banyak dari yang telah melapor atau berhasil didata oleh pihak terkait.
Tidak ada seorangpun yang meragukan bahwa diantara penyebaran penyakit kotor ini sebagian besar disebabkan oleh penggunaan jarum suntik narkoba dan hubungan seksual haram, baik perzinaan dengan Penjaja Seks Komersial (PSK) ataupun hubungan sejenis (homo seksual).
Saudaraku, anda adalah warga negara yang baik dan umat Islam yang bertakwa, apa perasaan anda ketika membaca data ini?
Ketahuilah saudaraku! Tidaklah dunia bersama isinya ini diciptakan melainkan demi kepentingan umat manusia. Betapa tersanjungnya diri anda, ternyata kerahmatan Allah kepada anda sebagai umat manusia begitu luas. Coba bayangkan, langit dan bumi yang begitu luas,dengan berbagai kenikmatan yang ada padanya diciptakan demi kemaslahatan anda beserta seluruh umat manusia.
“Dialah Allah Yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS Al Baqarah 2:29).
Pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah:”Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan” Maka mereka menjawab:”Allah“. Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya). Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)”. (QS Yunus 10:31-32)
Pendek kata, semua yang ada dibumi halal untuk anda makan dan gunakan, kecuali yang mengancam keselamatan hidup anda, baik di dunia ataupun di akhirat. Karenanya, diantara amal kemaksiatan yang banyak mendatangkan penyakit ialah mengkonsumsi makanan atau minuman haram.
Ibnul Qayyim berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan atas umat ini berbagai hal-hal yang diharamkan, dikarenakan hal-hal itu buruk (berbahaya). Dan tujuan pengharaman itu guna melindungi dan mencegah mereka agar tidak mengkonsumsi hal yang berbahaya tersebut.”
Ibnu Taimiyyah menjelaskan salah satu efek buruk dari memakan daging babi dengan berkata : “Daging babi biang dari berbagai perangai buruk, karena babi adalah hewan paling rakus, dan tidak pernah berpantangan terhadap makanan apapun.”
Ibnu Sirin lebih terperinci menjelaskan tentang salah satu perangai babi dengan berkata: “Tidaklah ada binatang yang melakukan perilaku kaum Nabi Luth selain babi dan keledai.”
Bila demikian adanya, maka tidak perlu heran bila orang yang biasa memakan daging babi atau keledai, lambat laun dijangkiti oleh perangai babi yang suka sesama jenis. Na’uzubillah min zalika.
Seakan tidak mau ketinggalan dari gurunya, Ibnul Qayyim juga menjelaskan salah satu efek samping dari mengkonsumsi makanan haram, diantaranya daging binatang buas yang bertaring dan burung yang bercakar kuat.
Beliau berkata: “Oleh karena itu Nabi mengharamkan setiap binatang buas yang betaring tajam dan burung yang berkuku kuat. Larangan beliau ini disebabkan karena karakter hewan jenis ini yang senantiasa mengganggu, menyerang, dan bengis. Padahal setiap orang akan terpengaruh oleh jenis makanan yang ia konsumsi. Dengan demikian, bila anda mengkonsumsi daging hewan jenis ini, niscaya karakter anda lamban laun akan terpengaruh sehingga anda akan terbiasa berperilaku bak hewan buas, hobi mengganggu, dan bengis. Tidak heran bila beliau mengharamkan atas umatnya memakan daging hewan jenis ini.”
Mungkin dari anda ada yang berkilah bahwa berbagai penyakit yang saya derita adalah penyakit bawaan sejak pertama kali saya terlahir ke dunia atau penyakit keturunan dari kedua orang tua saya.
Saudaraku! Apa yang anda utarakan benar adanya, sayapun tidak mengingkari hal itu, akan tetapi perkenankan saya balik bertanya: Mengapa kedua orang tua anda mengidap penyakit tersbeut? Dan kemudian kenapa penyakit itu menurun kepada anda?
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dalam kitab tafsirnya bahwa pada suatu hari Abul Bilaad juga berpikiran sama dengan apa yang anda utarakan. Terlebih-lebih setelah ia membaca firman Allah Ta’ala berikut:
“Dan musibah apapun yang menimpamu, maka itu adalah akibat dari ulah tanganmu sendiri.” (QS As Syura 42:30).
Ia bertanya-tanya, bagaimana penerapan ayat ini pada dirinya, yang telah menderita buta mata sejak ia masih berada dalam kandungan ibundanya. Karena tidak berhasil menemukan jawaban atas keherannya ini, ia bertanya kepada Al ‘Ala’ bin Bader: “Bagaimana penafsiran firman Allah Ta’ala:
“Dan musibah apapun yang menimpamu, maka itu adalah akibat dari ulah tanganmu sendiri,” padahal aku ditimpa kebutaan sejak aku masih bayi? Maka Al ‘Ala’ menjawab: “Itu adalah akibat dari dosa kedua orang tuamu.”
Demikianlah saudaraku, petaka dan dampak buruk perbuatan maksiat ternyata bukan hanya diderita oleh pelaku maksiat saja, akan tetapi juga oleh orang sekitarnya.
Pada suatu hari Zainab bintu Jahesy radhiallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah:
Pada suatu hari Zainab bintu Jahesy radhiallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah:
“Ya Rasulullah, mungkinkah kita akan dibinasakan, sedangkan ditengah-tengah kami masih didapatkan orang-orang shaleh? Mendengar pertanyaan istri beliau tercinta ini, Nabi bersabda: Ya, bila orang-orang yang buruk telah berjumlah banyak.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hadits berikut menjelaskan lebih gamblang, bagaimana petaka amal kemaksiatan bisa menimpa selain pelakunya.
Abu Qatadah bin Rib’i Al Anshari mengisahkan: Pada suatu hari ada seorang janazah yang dibawa melintasi Rasulullah, spontan beliau bersabda: “Apakah ia orang yang telah terbebas atau malah orang lain yang terbebas darinya?” Mendengar sabda Rasulullah sahabat bertanya: Apa maksud ucapan itu: ” Apakah ia orang yang telah terbebas atau malah orang lain yang terbebas darinya?” Beliau menjawab: “Bila orang mukmin mati, maka ia terbebas dari derita dan pedih hidup dunia menuju kepada kerahmatan Allah. Sedangkan orang yang jahat (fajir), maka seluruh manusia, negri, pepohonan dan binatang ternak terbebas dari ulahnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Imam An Nawawi menjelaskan hadits ini dengan berkata : “Adapun terbebasnya umat manusia dari ulah orang jahat yang mati, artinya mereka terbebas dari gangguan orang tersebut. Sedangkan gangguan orang jahat itu semasa hidupnya kepada mereka dapat terwujud dalam beberapa hal:
- Tindak kelalimannya.
- Ia berbuat kemungkaran, sehingga masyarakat menjadi repot, karena harus mengingkari perbuatannya. Tidak jarang mereka harus menanggung pembalasannya, karena tidak terima dengan pengingkaran mereka.
- Dan bila masyarakat memilih untuk diam, maka mereka menanggung dosa, karena telah membiarkan kemungkaran.
Demikian pula halnya dengan terbebasnya hewan ternak dari ulah orang jahat itu. Bisa saja semasa hidupnya ia biasa menyakiti, memukul, membebani hewan ternaknya dengan beban yang terlalu berat. Dan tidak menutup kemungkinan, ia tidak memberi hewan ternaknya makanan yang cukup. Sedangkan terbebasnya negeri dan pepohonan dengan kematian orang jahat, karena semasa hidupnya ia menjadi penghalang turunnya air hujan.”
Pendek kata, berbagai wabah dan penyakit yang menimpa umat manusia di zaman kita, tidak lepas dari ulah mereka sendiri yang menjauhi syari’at Allah.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan Allah).” (QS Ar Rum 30:41)
Gambaran singkat tentang apa yang menimpa umat manusia saat ini bagaikan sebuah perusahaan penerbangan, yang tentunya memiliki berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus pesawat terbang, ada yang buatan perusahaan Boeing dan ada pula yang buatan Air Bus. Tentunya ketika mengoperasikan dan merawat pesawat-pesawat terbang tersebut, perusahaan itu akan mematuhi berbagai aturan dan ketentuan yang diajarkan oleh perusahaan pembuat pesawat-pesawatnya.
Anda bisa bayangkan, bila perusahaan tersebut dalam mengoperasikan pesawatnya menggunakan metode kusir delman dalam mengendalikan dilmannya. Begitu juga halnya ketika pesawat-pesawat tersebut membutuhkan perawatan, para tekhnisi perusahaan itu merawatnya dengan cara-cara bengkel delman merawat delmannya.
Ketika anda bertanya kepada perusahaan penerbangan itu tentang alasan sikapnya, ternyata ia menjawab anda dengan berkata: Saya menganut paham kebebasan bersikap dan berpendapat.
Menurut anda, apa yang akan terjadi pada pesawat-pesawat terbang milik perusahaan itu? Menurut hemat anda, sikap perusahaan tersebut dapat ditoleransi atau tidak? Dan bernyalikah anda menggunakan jasa pesawat terbang perusahaan tersebut untuk bepergian?
Mungkin anda berkata: aah contoh ini terlalu ekstrim, tidakkah mungkin anda membuat permisalan yang lebih logis?
Baik saudaraku! Saya dapat memaklumi keberatan anda, karena itu sayapun setuju untuk merubah permisalan di atas. Andai para pilot pesawat terbang perusahaan tersebut ternyata adalah para pilot pesawat tempur F16 atau Sukhoi. Sehingga walaupun ia menerbangkan pesawat penumpang jenis Boeing atau Air Bus, mereka berbagai bermanuver seakan sedang menerbangkan pesawat tempur.
Andai anda adalah salah seorang penumpang pesawat tersebut, kira-kira apa yang akan anda rasakan dan bagaimana pula sikap dan perasaan anda?
Demikianlah saudaraku, apa yang anda alami sekarang ini. Anda adalah ciptaan Allah, akan tetapi pada kenyataanya, anda mengoperasikan tubuh anda dan merawat tubuh anda dengan cara-cara anda sendiri, dan tidak menggunakan cara-cara (baca: syari’at) Allah. Tidak heran, bila setiap hari anda dirundung duka, berbagai wabah mengancam keselamatan anda dan berbagai penyakit silih berganti mendera hidup anda.
Sampai kapankah anda bersikap semacam ini saudaraku? Tidakkah telah tiba saatnya bagi anda untuk kembali ke jalan Allah Ta’ala Penciptamu?
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Alkitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al Hadid 57:16)
Inilah tindakan pertama yang semestinya dilakukan oleh umat Islam dalam upaya mereka menanggulangi atau mengobati berbagai wabah dan penyakit yang menimpa mereka. Yaitu dengan mengenali penyebab datangnya penyakit dan wabah, kemudian menanggulanginya.
Dan demikianlah salah satu imusisasi syari’at yang semestinya senantiasa digalakkan oleh umat Islam, yaitu dengan memerangi kemaksiatan dan menggalakkan amal shaleh, agar generasi penerus kita tumbuh kembang dalam keadaan sehat wal afiat terhindar dari berbagai penyakit ruhani dan jasmani.
Apalah gunanya berbagai upaya penanggulangan dan penyembuhan yang kita lakukan, bila sumber utama wabah dan penyakit malah kita galakkan atau yang pernah minimal kita biarkan merajalela, simaklah janji Rasulullah yang beliau ajarkan kepada sepupunya Abdullah Ibnu Abbas:
“Senantiasa jagalah (syari’at Allah) niscaya Allah akan menjagamu.” (HR Ahmad dan lainnya).
Ibnu Katsir mengisahkan dalam kitabnya Al Bidayah wa An Nihayah: “Bahwa Imam Abu At Thoyyib At Thabari walau telah berumur lebih dari satu abad (100 thn), masih dalam keadaan sehat badan, tidak berubah sedikitpun dari ingatan dan akal pikirannya, serta tidak ada tanda-tanda kepikunan. Bahkan pada suatu hari beliau naik perahu, tatkala telah tiba di pantai, beliau keluar dari perahu dengan meloncat. Suatu hal yang tidak dapat dilakukan, sekalipun oleh para pemuda. Maka murid-muridnya yang bersama beliau bertanya: “Apa yang engkau lakukan ini wahai Abut Thoyyib?” Beliaupun menjawab: “Ini adalah anggota badanku yang senantiasa aku jaga dikala aku masih muda, sehingga sekarang berguna bagiku disaat aku telah tua”.
2- Lalai Berdzikir Kepada Allah Adalah Biang Berbagai Penyakit.
Saudaraku! Coba anda perhatikan diri anda. Diri anda terdiri dari jiwa dan raga, bukankah demikian?
Tiada hari yang berlalu melainkan anda telah mencurahkan banyak waktu, harta dan perhatian anda guna merawat dan menjaga kesehatan raga anda. Berapa lama anda makan dan minum, membersihkan diri, dan menghias penampilan raga anda. Dan bila raga anda menderita sakit, anda begitu perhatian guna mengembalikan kesehatannya. Semua itu anda lakukan guna mendapatkan rasa nyaman pada raga anda. Bukankah demikian saudaraku?
Akan tetapi, apa dan seberapa besar perhatian anda kepada bagian lain dari diri anda?
Jiwa anda, juga membutuhkan perhatian dan perawatan. Bila raga anda telah merasa nyaman, maka sudahkan jiwa anda merasakan perasaan yang sama?
Jiwa anda, juga membutuhkan perhatian dan perawatan. Bila raga anda telah merasa nyaman, maka sudahkan jiwa anda merasakan perasaan yang sama?
Ketahuilah saudaraku! Jiwa anda memiliki rasa cinta, harap, takut, pengagungan dan lainnya. Saya yakin anda merasakan itu semua pada jiwa anda, akan tetapi sudahkah anda memenuhi semua atau mungkin saja sebagian dari kebutuhan jiwa anda ini?
Ibnu Taimiyyah berkata : “Pada kalbu anak Adam tersimpan rasa cinta dan harapan kepada Tuhan Yang mereka ibadahi. Perasaan ini adalah pilar hati dan sumber kehidupan jiwa mereka. Sebagaimana pada sanubari mereka tersimpan rasa cinta dan harapan kepada makanan, dan pasangan hidup mereka. Perasaan ini, adalah pilar kehidupan raga dan dunia mereka. Ketahuilah bahwa kebutuhan mereka kepada Tuhan Yang mereka ibadahi lebih besar dibanding kebutuhan mereka kepada makanan. Karena bila mereka kekurangan makanan, maka hanya raga mereka yang menderita. Sedangkan bila mereka tidak menemukan Tuhan Sesembahan mereka, maka jiwa mereka yang merasakan penderitaan. Dan penderitaan ini tidak ada obatnya kecuali dengan beribadah kepada Allah semata, dan menjauhi segala bentuk penyekutuan kepadanya. Inilah fitrah setiap anak Adam yang menyertai kelahiran mereka ke alam dunia.”
Saudaraku! Dalam mengarungi kehidupan dunia ini, raga dan jiwa anda sering kali menghadapi berbagai tantangan dan rintangan yang tidak sedikit. Karenanya, sudah sepantasnya bila anda memberi keduanya bekal yang cukup kepada keduanya. Anda membekali raga anda dengan makanan dan minuman yang halal dan sehat dalam kadar yang cukup. Demikian juga halnya dengan jiwa anda, berilah jiwa anda bekal yang baik dan dalam kadar yang cukup.
Bila raga anda mendapatkan gizi yang cukup dan jiwa anda juga mendapatkan gizi yang cukup, maka berbagai tantangan dan beban hidup dunia menjadi ringan dan mudah. Semoga kisah nyata berikut cukup menjadi pelajaran dan sekaligus bukti apa yang saya paparkan di atas.
Anda pasti telah mengetahui bahwa Rasulullah menikahkan putri tercintanya Fatimah dengan sahabat Ali bin Abi Thalib . Karena sahabat Ali bin Abi Thalib berasal dari keluarga miskin, maka Fatimah pun harus bersusah payah membantu pekerjaan suami tercinta. Sampai-sampai telapak tangan beliau yang sebelumnya lembut menjadi kasar, karena setiap hari ia harus menumbuk gandum untuk dijadikan tepung, sehingga bisa diolah menjadi roti. Pada suatu hari, Fatimah mendengar berita bahwa kedatangan kiriman beberapa budak tawanan perang pada ayahandanya, yaitu Rasulullah. Maka Fatimah berinisiatif untuk menemui ayahandanya, guna mengadukan beratnya menumbuk gandum. Setiba Fatmah di rumah, ia tidak mendapatkan beliau, dan hanya mendapatkan istri beliau ‘Aisyah radiallahu ‘anha. Akhirnya Fatimah mengutarakan keinginannya kepada ‘Aisyah. Setiba Rasulullah, ‘Aisyah segera menyampaikan keluhan dan harapan putri beliau tercinta. Mendengar penuturan istrinya ini, Nabi bergegas menuju ke rumah putri tercinta. Setibanya di rumah putri tercinta, beliau mendapatinya dan juga menantunya Ali bin Abi Thalib telah bersiap diri untuk tidur malam. Mengetahui kedatangan Rasulullah, Fatimah dan Ali bin Abi Thalib segera bangkit, Akan tetapi Rasulullah bersabda kepada mereka berdua: “Hendaknya kalian berdua tidak beranjak dari tempat tidur kalian“. Selanjutnya Rasulullah duduk diantara Fatimah dan Ali bin Abi Thalib, dan bersabda:
“Sudikah kalian berdua aku ajari sesuatu yang lebih baik dari apa yang kallian pinta? Bila kalian hendak tidur, bertakbirlah sebanyak 33 kali, bertasbihlah sebanyak 33 kali, dan bertahmid (membaca Alhamdulillah) sebanyak 33 kali. Hal ini lebih baik bagi kalian berdua dibanding (memiliki) seorang pembantu (budak).”Muttafaqun ‘alaih
Ibnul Qayyim berkata: “Dan telah dikisahkan kepada kami bahwa orang yang senantiasa mengucapkan bacaan-bacaan itu, ia tidak pernah merasa lelah karena menyelesaikan pekerjaannya atau lainnya.”
Di lain kesempatan beliau berkata: “Sesungguhnya bacaan dzikir menyebabkan pelakunya memiliki kekuatan yang luar biasa. Sampai-sampai ia kuasa melakukan pekerjaan yang tidak mungkin bisa ia lakukan bila tanpa berdzikir. Sungguh aku telah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, betapa Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah begitu perkasa dalam perilaku, ucapan, keberanian, dan karya tulisnya. Dahulu, bila beliau menulis buku selama satu hari, maka juru tulis membutuhkan waktu seminggu dan bahkan lebih untuk bisa menulis ulang hasil tulisan beliau. Sebagaimana seluruh pasukan, juga telah membuktikan keberanian dan kegagahan beliau yang luar biasa ketika di medan laga.”
Sebaliknya, bila anda tidak memenuhi kebutuhan jiwa anda, niscaya jiwa andapun menderita.
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS Al An’am 6:105)
‘Atha’ Al Khurasaani menjelaskan keadaan orang yang disempitkan dadanya dengan berkata: “Segala kebaikan tidak dapat masuk ke dalam hatinya.”
Tidak heran, bila orang-orang yang hatinya kosong dari petunjuk dan lisannya tidak pernah dibasahi dengan bacaan dzikir, begitu mudah patah arang, stres, gila dan putus asa. Tidaklah ada hambatan atau permasalahan walau hanya kecil yang melintang di jalan hidupnya, melainkan ia menjadi gundah dan memupus semua kebahagiaannya. Bahkan tidak jarang dari mereka yang lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara-cara yang tragis.
Bila derita jiwa anda berkepanjangan dan telah parah, tak ayal lagi raga andapun turut menderita dan sakit.
Mungkin anda tidak percaya atau ragu akan hal apa yang saya ucapkan ini. Benarkah saudaraku!
Agar keraguan anda sirna, maka ada baiknya bila anda mencoba menemukan buktinya. Mungkin ada pernah menyaksikan orang yang dirundung rasa duka, depresi, dan rasa takut yang berlebihan. Bagaimanakah keadaan fisik orang tersebut saudaraku? Ia mudah sakit, dan bila sakit susah sembuh. Bukankah demikian saudaraku?
Karenanya, tidak berlebihan bila saya menyimpulkan bahwa diantara biang penyakit dan derita umat manusia ialah kelalaian mereka dari mengingat Allah Ta’ala. Pada suatu hari Rasulullah sedikit memberikan gambaran tentang kaitan antara penyakit fisik dengan kelalaian anda dari mengingat Allah:
“Setan senantiasa mengikatkan pada tengkuk salah seorang dari kalian bila ia tidur tiga ikatan, lalu ia memukul setiap ikatan (agar menjadi kuat) sambil berkata: “malam masih panjang, maka tidurlah”, bila ia terjaga, kemudian ia menyebut nama Allah, maka terurailah satu ikatan, bila ia berwudlu, maka terurailah satu ikatan, dan bila ia menunaikan shalat, maka terurailah satu ikatan, sehingga iapun pada pagi itu dalam keadaan bersemangat dan berjiwa baik, bila tidak, maka ia akan berjiwa buruk dan malas.”(Muttafaqun ‘alaih).
Dengan jelas Nabi menyatakan bahwa diantara akibat langsung dari perbuatan anda melalaikan salah satu dari ketiga hal di atas ialah jiwa anda menjadi buruk, dan semangat anda luntur, serta merasa malas.
Imam An Nawawi berkata: “Dari lahir hadits ini, dipahami bahwa orang yang ketika bangun pagi tidak melakukan ketiga hal berikut semuanya, yaitu:
1- Membaca dzikir (menyebut Allah)
2- Berwudhu.
3- Dan Shalat, maka ia termasuk orang yang berjiwa buruk dan pemalas.”
2- Berwudhu.
3- Dan Shalat, maka ia termasuk orang yang berjiwa buruk dan pemalas.”
Ibnu Hajar Al Asqlani juga menegaskan hal yang sama, hanya saja beliau menambahkan: “Hanya saja tingkat keburukan jiwa orang yang tidak melakukan tiga hal di atas berbeda-beda. Orang yang hanya berzikir ketika bangun dari tidur, tingkat keburukan dan rasa malasnya lebih ringan dibanding orang yang tidak melakukan ketiga hal itu sama sekali.”
Sebaliknya, orang yang menjalankan shalat subuh dengan baik dan dengan memperhatikan syarat, rukun, sunnah dan kekhusyuannya, maka ia senantiasa dilindungi dan dinaungi Allah dari berbagai kejelekan. Rasulullah bersabda:
“Barang siapa yang menunaikan shalat subuh, maka ia berada dalam jaminan Allah.” (HR Muslim)
Bila seorang hamba telah berada dalam jaminan Allah, akankah ada suatu kekuatan yang mampu mencelakakannya?! Mungkinkah ada suatu penyakit yang mampu mengganggu kesehatannya?
Pada hadits lain, Nabi juga menjelaskan bahwa orang yang meninggalkan shalat ashar bagaikan orang yang keluarga dan harta bendanya binasa hingga tidak tersisa sedikitpun:
“Orang yang ketinggalan shalat ashar, seakan-akan telah ditimpa musibah pada keluarga dan harta bendanya.” (Muttafaqun ‘alaih).
Ibnul Qayyim berkata: “Orang meninggalkan shalat Ashar, bagaikan seseorang yang berkeluarga dan memiliki harta benda. Karena suatu keperluan, ia meninggalkan keluarga dan hartanya di dalam rumah. Akan tetapi tatkala ia pulang, seluruh keluarga dan harta bendanya telah binasa, sehingga ia tinggal sebatang kara, kehilangan keluarga dan harta bendanya.”
Segala kenikmatan yang ada di dunia adalah karunia dari Allah semata, hanya Dia-lah yang paling berhak untuk disyukuri dan dipuji atas segalanya.
Ibnu Hajar Al ‘Asqalany berkata: “Kehidupan dunia tidaklah akan dapat dicapai dengan sempurna kecuali dengan perantaraan amal shaleh. Dan bahwasannya petaka perbuatan maksiat akan menyirnakan seluruh kebaikan dunia dan akhirat.”
Karenanya Islam mengajarkan kepada anda bila melihat suatu kenikmatan atau sesuatu yang anda kagumi, baik pada diri, keluarga, harta benda anda, atau orang lain, hendaknya anda segera mengingat Allah, dan memuji-Nya. Selanjutnya berdoalah kepada Allah agar memberkahi kenikmatan tersebut, misalnya dengan berkata:
“Semoga Allah memberkatimu“.
Tidak layak bagi seorang muslim untuk hanyut dalam kekaguman terhadap suatu kenikmatan yang ada padanya atau pada oleh lain, sampai-sampai lalai bahwa Dzat Yang telah menciptakan dan mengaruniakan kenikmatan tersebut lebih layak untuk dikagumi dan dipuji.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Seseorang kadang kala memandangi orang lain, karena kagum dengan keimanan dan ketakwaannya, maka kala itu yang menjadi pelajaran adalah kesucian jiwa dan amalannya, bukan penampilannya. Kadang kala ia memandangnya kerena penampilannya yang cakap. Suatu hal yang menjadi bukti akan kekuasaan Dzat yang telah melukisnya, maka pandangan ini adalah baik. Dan kadang kala ia memandangnya karena rasa kagum terhadap penampilannya belaka, layaknya ketika ia memandangi kuda, binatang ternak, dan ketika ia memandangi pepohonan, sungai dan bunga, maka pandangan yang demikian ini bila didasari oleh ambisi terhadap kehidupan dunia, kepemimpinan, harta benda, maka ini adalah pandangan yang dicela pada ayat berikut:
“Dan janganlah engkau tujukan pandangan kedua matamu kepada apa (kenikmatan dan kekayaan) yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehiduan dunia, guna Kami uji mereka dengannya. Dan Karunia Tuhanmu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS Thaha 20:131)
Syeikh Abdurrahman As Sa’di ketika menafsiri ayat 131 surat Thaha ini berkata: “Janganlah engkau - karena rasa kagum - menujukan pandangan kedua matamu, dan janganlah engkau – karena rasa suka - mengulang-ulang pandanganmu kepada keindahan dunia dan orang-orang yang dikaruniai dengannya, baik berupa makanan, dan minuman lezat, atau pakaian mewah atau rumah yang megah, atau istri cantik, karena itu semua hanyalah perhiasan kehidupan di dunia, yang hanya memukau jiwa orang-orang yang terpedaya, …. Dan rizki Tuhanmu, baik yang dekat, berupa ilmu, iman dan hakekat amal–amal shaleh, dan yang akan datang berupa kenikmatan yang kekal, dan kehidupan yang penuh dengan keselamatan di sisi Allah Yang Maha Penyayang, lebih baik dibanding dengan kenikmatan yang mereka dapatkan. Sebagaimana rizki Tuhanmu lebih kekal, karena tidak akan pernah putus…. Dan pada ayat ini ada suatu isyarat, bahwa: ‘Bila seorang hamba merasakan dirinya mulai dilanda ambisi untuk memperoleh berbagai perhiasan kehidupan dunia, dan mulai memusatkan perhatian kepadanya, hendaknya ia mengingat berbagai karunia Allah yang telah menantinya (di surga), kemudian ia membandingkan antara keduanya’. “
Pada suatu hari sahabat ‘Amir bin Rabi’ah melintasi sahabat Sahel bin Hanif yang sedang mandi di rawa atau sungai, sepontan sahabat ‘Amir berkata: “Aku tidak pernah melihat kulit seputih ini, sampaipun kulit seorang gadis pingitan“. Tak lama kemudian sahabat Sahel tersungkur dan tak berdaya. Maka kejadian itu segera disampaikan kepada Nabi dikatakan kepada beliau: “Segera selamatkan Sahel!” Maka beliaupun bersabda: “Siapakah yang kalian curigai (telah mengenainya)?” Para sahabat pun menjawab: “‘Amir bin Rabi’ah”. Rasulullahpun bersabda: “Dengan sebab apa salah seorang dari kalian hendak membunuh saudaranya?! Bila ia melihat suatu hal pada diri saudaranya atau pada dirinya sendiri atau harta bendanya, yang membuatnya terkagum, hendaknya ia memohonkan keberkahan.”
Lalu Beliau memerintahkan sahabat ‘Amir untuk berwudhu, dengan membasuh wajah, kedua tangan hingga kedua sikunya, kedua lututnya, dan bagian dalam sarungnya (atau bagian pinggang yang menjadi tempat menyimpulkan sarung-pen), kemudian beliau memerintahkan agar air bekas basuhan tersebut disiramkan kepada sahabat Sahel. Seusai disiram dengan air tersebut, sahabat Sahel meneruskan perjalanannya bersama rombongan, seakan-akan tidak pernah mengalami gangguan apapun. (Kisah ini diriwayat oleh Imam Ahmad, An Nasa’i, At Thobrany, Al Hakim dan lainnya, serta dishahihkan oleh Al Albani).
Perlu diketahui bahwa kedua sahabat di atas, yaitu ‘Amir bin Rabi’ah , dan dan Sahel bin Hanif , keduanya termasuk sahabat terkemuka Nabi; termasuk yang andil dalam peperangan Badar, sehingga tuduhan bahwa sahabat ‘Amir telah hasad atau menyimpan kedengkian terhadap Sahel bin Hanif tidak layak kita lakukan.
Yang layak untuk kita lakukan hanyalah berbaik sangka kepada mereka berdua dan mengatakan bahwa sahabat ‘Amir bin Rabi’ah telah lalai untuk mendoakan keberkahan bagi sahabat Sahel atas karunia Allah Ta’ala berupa kulit yang putih bersih.
Ibnu Qayyim menjelaskan hubungan antara ‘ain dan hasad adalah sebagai berikut: “Orang yang menimpakan ‘ain dan orang hasad memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya: mereka berdua jiwanya terkondisi dan tertuju kepada orang yang diganggu. Orang yang menimpakan ‘ain, jiwanya akan terkondisi disaat berjumpa dan menyaksikan korbannya, sedangkan orang hasad, kehasadannya dapat terwujud baik korban ada dihadapannya atau tidak. Perbedaan antara keduanya: Orang yang menimpakan ‘ain dapat saja mengenai sesuatu yang ia tidak hasad kepadanya, misalnya, benda atau binatang, atau tanaman, atau harta, walaupun biasanya senantiasa disertai dengan sifat hasad pelakunya. Dan mungkin juga pengaruh matanya menimpa dirinya sendiri, karena pandangan matanya yang penuh rasa ta’ajub/kagum dan tajam terhadap sesuatu, disertai jiwanya yang telah terkondisikan dengan keadaan kala itu, dapat mempengaruhi sesuatu yang ia pandang. “
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata: “Pengaruh ‘ain dapat terjadi ketika seseorang merasa ta’ajub/kagum walaupun tanpa disertai rasa hasad, walaupun dari orang yang menyayangi korbannya, walaupun dari orang shaleh. Dan orang yang merasa kagum terhadap sesuatu hendaknya bersegera mendoakan keberkahan untuk orang/sesuatu yang ia kagumi, dan doa keberkahan itu akan menjadi penawar pengaruh ‘ainnya.”
Demikianlah salah satu dampak negatif yang mungkin terjadi bila kita lalai akan dzikir kepada Allah disaat terkagum dengan suatu kenikmatan yang ada pada saudara kita atau bahkan pada diri kita sendiri.
Bila anda bertanya, bagaimanakah proses terjadinya pengaruh ‘aian dapat terjadi? Maka para ulama’ memiliki beberapa penafsiran dan jawaban atas pertanyaan ini, akan tetapi -menurut hemat saya - pendapat yang paling kuat ialah pendapat berikut: “Bila seseorang yang sedang ta’ajub memandang kepada hal yang ia kagumi, akan tetapi ia lalai untuk mengembalikan rasa kagumnya tersebut kepada Allah dan kekuasaan-Nya dalam menciptakan makhluq-Nya, maka kadang kala Allah menimpakan petaka pada sesuatu yang ia kagumi tersebut, akibat pengaruh dari pandangannya, sebagai ujian dari-Nya. Ini semua terjadi agar orang yang beriman meyakini bahwa ini semua (sesuatu yang menakjubkan dan petaka yang menimpanya) terjadi atau kuasa Allah, sedangkan orang selainnya menduga bahwa keduanya terjadi berkat pengaruh selain Allah.”
Agar kita semakin memahami betapa besar pengaruh kelalaian kita dari berzikir kepada Allah ketika merasa ta’ajub terhadap suatu kenikmatan, maka saya mengajak pembaca untuk bersama-sama merenungkan beberapa hadits Rasulullah berikut:
“(Pengaruh) mata adalah benar adanya, dan seandainya ada sesuatu yang dapat mendahului taqdir, niscaya akan di dahului oleh mata (al ‘ain). Dan bila engkau diminta untuk membasuh diri, maka basuhlah“. (HR Muslim).
Pada hadits lain, dengan lebih tegas Rasulullah menyebutkan pengaruh langsung dari pandangan orang yang lalai akan Allah:
“Kebanyakan orang yang meninggal dari umatku –setelah karena ketentuan dan taqdir Allah – adalah akibat pengaruh jiwa “. Maksudnya “pandangan mata”. (HR Al Bazzar, At Thoyalisy, Ibnu Abi Ashim dan dihasankan oleh Al Albany).
Pada hadits lain Nabi bersabda:
“(Pengaruh) Al ‘ain menyebabkan seseorang masuk ke dalam liang kuburannya dan onta ke dalam panci.” (HR Ibnu ‘Adi, Abu Nuaim dan dihasankan oleh Al Albani).
Pada suatu hari Rasulullah melihat anak-anak sahabat Ja’far bin Abi Tholib yaitu Asma’ bintu ‘Umaisradhiallahu ‘anha yang berbadan kurus, maka beliau bertanya kepada ibu mereka:
“’Mengapa aku lihat badan anak-anak saudaraku (keponakanku) kurus-kurus, apakah mereka ditimpa kekurangan/ kemiskinan?’ Maka Asma’ menjawab: ‘Tidak, akan tetapi (pengaruh mata) cepat sekali menimpa mereka?’ Maka beliau bersabda: ‘Jampi-jampilah (ruqyahlah) mereka.’Asma’ berkata: ‘Maka akupun memaparkan bacaan jampi-jampi kepadanya’, dan beliau bersabda: ‘Jampi-jampilah mereka(dengannya-pen)’. (HR Muslim)
Dari beberapa hadits di atas, jelaslah bagi kita bahwa pandangan mata orang yang lalai akan dzikir kepada Allah dan pujian orang yang lupa untuk mendoakan keberkahan memiliki akibat yang dahsyat, dan beraneka ragam dampaknya. Walau demikian besar pengaruh ‘ain, akan tetapi betapa banyak dari kita yang tidak menyadarinya.
Bila hal ini telah kita ketahui, maka imunisasi syari’at yang dapat kita lakukan untuk menanggulangi berbagai wabah dan petaka yang dapat ditimbulkan oleh ‘ain ialah :
1. Dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah dan memperbanyak dzikir kepada Allah, membaca doa-doa dan wirid-wirid yang diajarkan Rasulullah, terutama dzikir pagi dan sore, dzikir sebelum tidur, dan banyak membaca Al Qur’an di manapun kita berada.
“Dari Aban bin Utsman, ia menuturkan, saya mendengar dari ayahku (yaitu Utsman bin Affan-pen) berkata, Rasulullah bersabda: “Tidaklah ada seorang hamba yang berkata setiap pagi dan petang:
“Dengan menyebut Nama Allah Yang tiada sesuatu yang dapat mengganggu bersama Nama-Nya, baik di bumi ataupun di langit, sedangkan Dia adalah maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” sebanyak tiga kali, kemudian ia disakiti oleh sesuatu hal.
Tatkala Aban bin Utsman meriwayatkan hadits ini, beliau sedang menderita penyakit lumpuh separo. Maka salah seorang muridnya memandangi badan beliau. Maka beliaupun faham maksudnya, lalu berkata kepadanya: “Ketahuilah bahwa haditsnya seperti yang telah aku sampaikan kepadamu, akan tetapi kala itu aku lupa untuk mengucapkannya, sehingga takdir Allah-pun menimpaku.” (HR Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasa’i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albani.)
2. Mengingatkan dan menggalakkan dzikir di masyarakat, sehingga masyarakat lambat laun akan terbiasa untuk berdzikir, dan mengucapkan Masya Allah, Subhanallah, Barakallahu fik dan doa-doa yang serupa ketika melihat sesuatu yang menakjubkannya. Dengan demikian pengaruh ‘ain dapat ditanggulangi.
Berikut beberapa kisah nyata tentang orang-orang yang terkena pengaruh pandangan kagum orang lain yang lupa untuk mendoakan keberkahan.
Kisah pertama: Seorang wanita yang sepanjang waktunya merasakan sesak nafas, yang kadang kala memuncak dan kadang kala mereda, dan bila menghadiri pesta, atau perayaan ied senantiasa ia senantiasa jatuh pingsan. Tatkala ia dibacakan ruqyah (bacaan Al Qur’an dan doa-doa) ia teringat bahwa ada salah seorang kerabatnya pernah memujinya tanpa disertai dengan doa keberkahan untuknya. Akan tetapi ia dan keluarganya tidak bersegera mengambil bekas barang yang pernah dikenakan oleh orang yang mengenainya tersebut.
Dan ketika wanita itu menghadiri pesta pernikahan putrinya, ia pun kembali terjatuh pingsan dan langsung dilarikan ke salah satu rumah sakit. Di sana ia dimasukkan ke ruang ICU, dikarenakan ia telah mengalami koma, dan menurut dokter yang menanganinya, keadaannya sangat kritis.
Akibat kejadian ini, pernikahan putrinya pun di batalkan, lalu salah seorang putri ibu tersebut teringat akan saran syeikh yang pernah membacakan ruqyah terhadap ibunya, maka iapun bergegas mengambil barang yang pernah dikenakan oleh kerabatnya yang di curigai tersebut, lalu iapun membasuhnya dengan air. Air basuhan tersebut ia bawa ke rumah sakir, dan ia memasukkan sebagian air tersebut ke mulut ibunya yang tak sadarkan diri. Dengan sangat mengejutkan, ibu tersebut tiba-tiba terbangun dan langsung duduk di pinggir ranjang, lalu ia tersedak dengan keras. Melihat kejadian ini, tenaga medis yang menanganinya terheran-heran, dan dokter yang menanganinya berkata: “Kadang kala tubuh manusia dapat mengobati dirinya“,Subhanallah.
Kisah Kedua: Seorang ayah membawa anaknya yang mengalami lumpuh total dengan dengan dibungkus sehelai selimut, ke rumah salah seorang syeikh yang biasa meruqyah orang. Ayah tersebut telah menghabiskan jutaan real guna membiayai pengobatan anaknya di dalam ataupun luar negri. Setelah beberapa saat syeikh tersebut membacakan ruqyahnya, ia bertanya kepada anak tersebut: “Apakah engkau mencurigai seseorang yang telah mengenaimu dengan ‘ain?” Anak itupun menjawab: “Saat ini tidak ada yang dibenakku kecuali ayahku sendiri.” Mendengar jawaban itu, sang ayahpun keheranan dan berkata: “Mungkinkah aku sendiri yang mengenainya, padahal aku telah menghabiskan jutaan real untuk membiayi pengobatannya?!” Maka Syeikh tersebut menjelaskan bahwa pengaruh ‘ain bisa saja datang dari orang yang paling dekat dan mencintai kita, pengaruh ‘ain tidak mesti datang dari orang yang dengki dan hasad. Pengaruh ‘ain dapat mengenai seseorang bila ia memuji dan lupa untuk berdzikir dan mendoakan keberkahan.
Setelah mendapatkan penjelasan, maka sang ayahpun rela untuk digunakan sisa teh yang ia minum dalam pengobatan anaknya. Setelah anak tersebut minum sisa teh ayahnya, terjadilah suatu kejutan, yaitu ia bergemetar dan mulai menggeliat di lantai, kemudian ia mulai berusaha untuk bangkit dikit demi sedikit. Setelah ia berhasil bangkit ia mencoba melangkahkan kakinya beberapa langkah, kemudia ia kembali terjatuh, dan ia pun kembali bangkit dan akhirnya berhasil berjalan normal.
Menyaksikan pemandangan tersebut, sang ayah tak kuasa untuk menahan isak tangisnya, lalu ia berusaha mengingat-ngat kejadian sebelum anaknya ditimpa penyakit lumpuh. Ia menuturkan bahwa dua tahun silam, aku pernah memuji anakku dihadapan para tamu dengan berkata: “Sungguh tidak akan ada yang berbakti kepadaku selain anakku ini, dan kala itu aku tidak berdzikir kepada Allah. Setelah itulah anakku mulai merasakan sakit hingga akhirnya lumpuh total. Dan akupun tidak dikabari tentang seorang dokter yang bagus, melainkan aku datangi, baik di dalam ataupun luar negri.” Akhirnya sang ayah berterima kasih kepada syeikh tersebut sembil berkata: “Aku bak orang yang membawa penyakitnya sendiri dalam sarung“. Dan anak tersebut pulang dengan menenteng selimut yang sebelumnya digunakan untuk membungkus tubuhnya.
Kisah Ketiga : Kisah ini adalah pengalaman pribadi saya sendiri. Kala itu, saya sedang diperjalanan pulang dari kota Makkah usai menunaikan ibadah umrah bersama istri dan kedua putri saya dengan naik bis antar kota (SAPTCO). Dikarenakan rasa letih seusai menunaikan thawaf di siang bolong panas, maka saya, istri saya, dan putri saya yang kedua langsung terlelap tidur ketika bis telah mulai berjalan.
Di ditengah perjalanan, saya terbangun karena mendengar suara putri pertama saya yang sedang mengaji dan membaca beberapa surat pendek yang telah ia hafal. Sepontan saya menoleh ke belakang, ke arah putri saya tersebut, dan berkata: “Kok tidak tidur nak?!” Iapun menjawab: “Tidak mengantuk.”
Tanpa pikir panjang sayapun berusaha untuk tidur kembali. Belum sempat saya tidur dengan lelap, saya dikejutkan dengan teriakan putri pertama saya tersebut yang menyeringis dan memegangi perutnya: “Aduh sakit, mau muntah“.
Langsung saja saya olesi badannya dengan minyak kapak, karena saya berpikir, dia masuk angin. Akan tetapi upaya tersebut tidak membuahkan hasil apapun, putri saya tetap saja menangis dan perutnya mual-mual hendak muntah.
Al hamdulillah segera saya teringat, bahwa saya tadi memandanginya dengan tidak mendoakan keberkahan untuknya. Segera saya mengambil gelas, dan menuangkan air minum kedalamnya, lalu saya minum sebagian airnya. Sisa air yang saya minum tersebut segera saya minumkan ke putri saya. Sangat mengejutkan, seusai minum sisa air minum saya tersebut, putri saya kembali ceria, dan berkata: “Sudah tidak mau muntah lagi“, “perutnya tidak sakit lagi.”
Subhanallah, demikianlah pengalaman yang saya alami sendiri, semoga pengalaman ini menjadi pelajaran bagi kita semua.
Prefentif Sebelum Datangnya Penyakit.
Sebagaimana Islam telah mengajarkan berbagai metode pengobatan yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit yang menimpa umat manusia, Islam juga mengajarkan berbagai tindak prefentif guna mencegah penyakit sebelum datang. Ini adalah salah satu bukti bahwa Islam adalah syari’at yang sempurna, tidak ada kekurangan sedikitpun padanya.
Kekurangan yang adanya hanyalah pada diri kita sebagai umat Islam. Kita kurang atau bahkan tidak memahami berbagai syari’at Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Akibat dari kebodohan kita inilah akhirnya kita berserah diri dengan beranggapan bahwa Islam tidak mengajarkan kepada kita Ilmu kedokteran, atau ilmu sosial, atau perniagaan atau lainnya.
Berikut akan saya sebutkan beberapa syari’at Islam yang bertujuan untuk mencegah datangnya berbagai penyakit:
A. Membaca basmalah ketika berhubungan suami istri.
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa diantara biang berbagai penyakit ialah lalai akan dzikir kepada Allah, maka sebaliknya, dengan senantiasa berdzikir kepada Allah dalam segala keadaan memiliki peran yang sangat besar dalam menangkal berbagai penyakit yang menimpa kita.
Diantara dzikir yang sangat efektif menangkal berbagai penyakit terutama pada anak-anak kita ialah bacaan basmalah yang diucapkan oleh pasangan suami istri ketika hendak bergaul. Subhanallah, bacaan basmalah pada saat itu, bukan hanya mencegah ulah setan dari diri mereka berdua, akan tetapi juga berkelanjutan pada anak yang Allah karuniakan kepada mereka dari hasil pergaulan tersebut.
Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, Nabi bersabda: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya salah seorang dari kamu bila mendatangi istrinya, dan ia membaca
“Dengan menyebut Nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami“, kemudian mereka berdua dikaruniai anak, niscaya ia (anak) itu tidak akan diganggu (dikuasai) oleh setan, dan setan tidak akan dapat untuk menguasainya.” (Muttafaqun ‘alaih).
Tidak mengherankan bila setan memiliki andil besar dalam berbagai penyakit dan gangguan yang menimpa anak manusia. Yang demikian itu karena setan ingin mencelakakan mereka dengan segala cara yang dapat ia lakukan tatkala Nabi Ayyub ditimpa beraneka ragam penyakit. Saking besarnya peran setan, sampai-sampai, beliau berkata dalam doanya kepada Allah:
“Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.” (QS Shaad 38:41)
‘Ulama’ ahli tafsir menyebutkan bahwa dahulu Nabi Ayyub ditimpa berbagai penyakit, sampai-sampai tidak ada di tubuhnya walau hanya sebesar ujung jarum yang utuh.
Dan Rasulullah dengan tegas menyatakan bahwa salah satu penyebab kebinasaan umatnya ialah karena menjadi korban tusukan musuh-musuh mereka dari bangsa jin:
“Kebinasaan umatku ialah dengan sebab tusukan dan tha’un.” Para sahabat bertanya kepada beliau: “Ya Rasulullah! Kalau tusukan, kami telah mengetahui maksudnya, akan tetapi apakah tha’un itu?” Beliau menjawab: “Tusukan yang tidak menembus yang dilakukan oleh musuh-musuh kalian dari kalangan jin, dan pada keduanya terdapat para syahid.” (HR Ahmad, At Thobrani dan dishahihkan oleh Al Albani).
Pada riwayat lain beliau lebih detail menjelaskan maksud dari tha’un:
“Tha’un adalah tusukan yang tidak menembus yang dilakukan oleh musuh-musuh kalian dari bangsa jin, ia berupa daging tumbuh bagaikan daging tumbuh yang menimpa onta, ia keluar di ketiak, dan bagian bawah perut.” (HR At Thobrani dan dihasankan oleh Al Albani).
Bila anda renungkan dengan baik-baik pengertian tha’un di atas, niscaya anda berkesimpulan bahwa tha’un adalah penyakit yang menyerupai kanker kalaulah bukan kanker itu sendiri.
Bila demikian adanya, maka tidak ada imunisasi yang paling ampuh guna menanggulangi gangguan setan dari anak anda dibanding dzikir kepada Allah. Terutama sebelum mereka terlahir di dunia, tepatnya ketika anda hendak berhubungan dengan istri anda.
Walau demikian halnya, betapa banyak dari kita yang belum memahami akan keutamaan basmalah sebelum berjima’, atau menganggapnya sebagai hal yang merepotkan belaka. Bahkan betapa banyak orang yang telah memahaminya, akan tetapi ketika hendak berjima’, ia lupa untuk mengucapkannya. Tidak heran bila setan dengan leluasa mengganggu anak keturunan kita, dengan berbagai macam bentuk gangguannya.
Ibnu Hajar berkata: “Banyak dari orang yang telah memahami keutamaan bacaan dzikir ini, akan tetapi ia lalai darinya ketika hendak berjima’, dan sebagian dari yang ingat akan bacaan doa ini serta mengucapkannya tidak dikaruniai anak.”
Bila Ibnu Hajar mengangkat permasalahan lupa yang sering menimpa pasangan suami istri ketika hendak berjima’, maka dizaman kita ada fenomena lain yang lebih pahit, yaitu merajalelanya hubungan haram, sehingga tidak heran, bila setan dengan mudah menimpakan godaan dan gangguannya kepada generasi muda kita, yang banyak dari mereka adalah hasil dari hubungan yang dimurkai Allah, alias kumpul kebo. Laa haula walaa quwwata illa billah.
Ini adalah salah satu imunisasi syari’at yang hingga saat ini dan mungkin hingga hari qiyamat tidak dipahami dan tidak dapat dicapai oleh berbagai kemajuan ilmu medis barat. Dan imunisasi syari’at ini merupakan salah satu bukti bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan paling bermanfaat bagi umat manusia. Oleh karenanya, saya katakan: “Bangkitlah umatku! Mari kita pelajari ilmu agama kita dalam segala aspeknya, baik yang berkaitan dengan hukum halal haram atau lainnya. Dengan demikian, kita tidak mudah silau dengan keberhasilan sesat bangsa dan umat lain. Selamat berjuang menggapai kejayaan di dunia dan akhirat.”
B. Menutup bejana dan tempat menyimpan makanan dan minuman .
Bila orang-orang yang ilmu dan jiwanya telah mengkultuskan peradaban Barat biasanya beranggapan bahwa masyarakat Barat lah kiblat kebersihan dan kesehatan, maka hal itu tidaklah layak dilakukan oleh orang yang dihatinya masih tersisa setitik keimanan. Yang demikian itu, dikarenakan agama kita, jauh-jauh hari sebelum bangsa Barat mengenal kebersihan, telah mengajarkan berbagai syari’at yang hingga saat ini belum bisa ditandingi oleh teori atau peradaban apapun.
Diantara tindakan preventif yang diajarkan Islam guna menjaga kesehatan umat manusia ialah dengan menjaga makanan dan minuman mereka dari berbagai kotoran dan mikro organik yang dapat mengancam kesehatan. Agar makanan dan minuman tetap bersih dan higenis, Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa menutupinya, dan tidak membiarkannya terbuka, terkena udara bebas dan berbagai hal lainnya. Tindakan ini adalah langkah awal yang sangat penting dari upaya menjaga kesehatan dan menangkal penyakit.
Rasulullah bersabda:
“Tutuplah bejana, ikatlah geribah (tempat menyimpan air yang terbuat dari kulit-pen), tutuplah pintu, matikanlah lentera (lampu), karena sesungguhnya setan tidaklah mampu mengurai geribah yang terikat, tidak dapat membuka pintu, dan tidak juga dapat menyingkap bejanan (yang tertutup). Bila engkau tidak mendapatkan (tutup) kecuali hanya dengan melintangkan diatas bejananya sebatang ranting, dan menyebut nama Allah, hendaknya ia lakukan.” (HR Muslim).
Pada riwayat lain:
“Tutuplah bejana, dan ikatlah geribah, karena pada setiap tahun ada satu malam (hari) yang padanya turun wabah. Tidaklah wabah itu melalui bejana yang tidak bertutup, atau geribah yang tidak bertali, melainkan wabah itu akan masuk ke dalamnya.” (HR Muslim).
Dari mencermati hadits di atas, dapat dipahami bahwa menutup rapat makanan dan minuman, terlebih-lebih bila disertai dengan bacaan basmalah, dapat menanggulangi dua penyebab utama bagi segala penyakit:
- Ulah dan kejahatan setan.
- Wabah penyakit yang turun dan menyebar melalui media udara.
Imam An Nawawi berkata: “Para ulama’ menyebutkan beberapa faedah dari perintah menutup bejana dan geribah, diantaranya kedua faedah yang ditegaskan pada hadits-hadits ini, yaitu:
- Menjaganya (makanan dan minuman) dari setan, karena setan tidak dapat menyingkap tutup bejana, dan tidak dapat mengurai ikatan geribah.
- Menjaganya dari wabah yang turun pada satu malam di setiap tahun.
- Faedah ketiga: menjaganya dari terkena najis dan kotoran.
- Keempat: menjaganya dari berbagai serangga dan binatang melata, karena bisa saja serangga jatuh ke dalam bejana atau geribah, lalu ia meminumnya, sedangkan ia tidak menyadari keberadaan serangga tersebut, atau ia meminumnya pada malam hari, (sehingga ia tidak melihatnya-pen) akibatnya ia terganggu dengan binatang tersebut.”
Imam An Nawawi juga menjelaskan bahwa syari’at menutup bejana dan mengikat geribah ini bukan hanya berlaku pada malam hari, akan tetapi juga berlaku pada siang hari, berdasarkan keumuman teks hadits di atas.
Syari’at ini juga menguatkan paparan saya sebelumnya, bahwa lalai dari berdzikir kepada Allah adalah biang berbagai penyakit, karena dengan menyebut nama Allah ketika menutup makanan dan minuman, berarti makanan dan miuman kita terhindar dari ulah setan dan wabah yang turun.
Hikmah pertama dan kedua yang disebutkan pada hadits di atas, yaitu menjaga makanan dan minuman dari wabah yang turun pada satu hari/malam di setiap tahun, merupakan hikmah yang hingga saat ini tidak diketahui dan ditemukan oleh ilmu kedokteran Barat. Dan hikmah ini hanya dapat diketahui melalui wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi-Nya.
Sebagaimana hadits ini merupakah isyarat bahwa wabah penyakit, hanya terjadi pada masa-masa tertentu saja, dan tidak terjadi pada sepanjang tahun. Dan ini adalah salah satu fakta yang telah dibuktikan dalam dunia medis. Kita semua mengetahui bahwa berbagai wabah yang ada di masyarakat, kebanyakannya terjadi pasa masa-masa tertentu saja, dimana pada saat itu berbagai virus dan bakteri penyebab penyakit berkembang biak, lalu menyerang masyarakat.
Kedua hikmah ini merupakan secercah rahasia ilmu kedokteran Islam yang tidak atau belum kita kembangkan dan sosialisasikan ke masyarakat. Sebagaimana hal ini merupakan salah satu bentuk imunisasi syariat yang belum atau bahkan tidak kita kembangkan dan sosialisasikan kepada umat manusia.
C. Makan tujuh biji kurma Ajwah.
Diantara tindakan preventif yang diajarkan Islam untuk mencegah berbagai penyakit sebelum datang ialah dengan mengkonsumsi tujuh biji buah kurma ajwah yang dihasilkan di kota Madinah di waktu pagi. Mengkonsumsi tujuh biji kurma ajwah yang dihasilkan di kota Madinah di waktu pagi, dapat mencegah serangan pengaruh sihir dan racun. Yang demikian ini berdasarkan sabda Nabi:
“Barang siapa yang setiap pagi hari makan tujuh biji buah kurma ajwa, niscaya pada hari itu ia tidak akan terganggu oleh racun atau sihir.” (Muttafaqun ‘alaih).
Pada riwayat lain :
“Barang siapa pada pagi hari, makan tujuh biji kurma yang dihasilkan diantara kedua hamparan Madinah, niscaya ia tidak akan terganggu oleh racun hingga sore hari.” (HR Muslim).
Dengan jelas Nabi menyebutkan bahwa manfaat mengkonsumsi tujuh biji kurma ajwah yang dihasilkan di kota Madinah pada pagi hari adalah untuk menangkal pengaruh sihir dan racun. Sehingga manfaat kurma ajwah ini sama halnya dengan manfaat yang diperoleh dari imunisasi.
Berikut saya nukilkan fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah tentang hal ini:
Pertanyaan :
Apa hukumnya berobat dengan imunisasi sebelum datangnya penyakit?
Jawaban:
Tidak mengapa berobat dengan imunisasi bila khawatir terkena suatu penyakit, disebabkan adanya wabah, atau sebab lainnya yang dikhawatirkan menjadi penyebab datangnya penyakit. Sehingga tidak mengapa, anda minum obat guna menangkal penyakit yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi pada suatu hadits yang shahih:
“Barang siapa yang pada waktu pagi makan tujuh biji kurma madinah, niscaya ia tidak akan terganggu oleh sihir, tidak oleh racun.”
Hadits ini termasuk upaya penanggulangan penyakit sebelum terjadi.
Demikian juga halnya orang yang khawatir terhadap serangan suatu penyakit, dan ia diberi imunisasi anti wabah yang sedang menyerang di negri tersebut atau di negri manapun. Upaya itu tidak mengapa, sebagai upaya pertahanan. sebagaimana halnya penyakit yang telah menimpa diobati, demikian juga halnya penyakit yang dikawatirkan akan menyerang, boleh ditanggulangi dengan pengobatan.
Akan tetapi tidak dibenarkan untuk menggantungkan jimat, penangkal penyakit, atau jin, atau ‘ain, dikarenakan itu semua dilarang oleh Nabi. Dan beliau telah menjelaskan bahwa perbuatan itu termasuk syirik ashghar (kecil), karena itu, hendaknya kita waspada.”
D. Banyak beristighfar.
Bila pada pemaparan di atas telah jelas bahwa kemaksiatan kepada Allah adalah biang datangnya berbagai musibah dan wabah penyakit, maka dapat dipahami bahwa istighfar dan mohon ampunan kepada-Nya adalah penangkal dan penawar berbagai wabah dan penyakit. Bukan hanya menangkal penyakit, akan tetapi istighfar juga akan mendatangkan kedamaian, kebahagian, keberkahan dan kemudahan dalam hidup.
Allah Ta’ala berfirman kepada umat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
“Dan hendaknya kamu meminta ampun kepada Tuanmu dan bertaubat kepada-Nya (Jika kamu mengerjakan yang demikian) niscaya Allah akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai pada waktu yang telah ditentukan.” (QS Huud 11:3)
Syeikh Muhammad Amin As Syinqithy menafsirkan ayat ini dengan berkata: “Pendapat yang paling kuat tentang maksud kenikmatan yang baik ialah: rizqi yang melimpah, hidup yang lapang, dan keselamatan di dunia, dan yang dimaksud dengan (waktu yang telah ditentukan) adalah kematian.”
Allah Ta’ala mengisahkan perihal Nabi Hud ‘alaihissalaam bersama kaum ‘Aad. Dikisahkan, kaum ‘Aad adalah satu kaum yang terkenal memiliki kekuatan yang luar biasa.
“Kaum ‘Aad berkata:”Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami” “Dan apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya dari mereka Dan adalah mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) Kami.” (QS Fusshilat 41:15)
Walau demikian, andai mereka beriman kepada Allah dan mensucikan jiwa mereka suci dari berbagai noda kemaksiatan dengan beristighfar, niscaya kekuatan mereka menjadi berlipat ganda:
“Wahai kaumku, beristighfarlah kamu kepada Tuhanmu, lalu bertaubatlah (Kembalilah) kepada-Nya, niscaya Allah akan menurunkan hujan yang sangat lebat, dan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu.” (QS Huud 11:52)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dalam kitab tafsirnya bahwa Abul Bilaad merasa keheranan tatkala membaca firman Allah Ta’ala :
“Dan musibah apapun yang menimpamu, maka itu adalah akibat dari ulah tanganmu sendiri.” (QS As Syura 26:30).
Ia bertanya-tanya, bagaimana penerapan ayat ini pada dirinya, yang telah menderita buta mata sejak ia dilahirkan. Karena rasa herannya inilah ia bertanya kepada Al ‘Ala’ bin Bader: “Bagaimana penafsiran firman Allah Ta’ala:
“Dan musibah apapun yang menimpamu, maka itu adalah akibat dari ulah tanganmu sendiri,” padahal aku ditimpa kebutaan sejak aku masih bayi? Maka Al ‘Ala’ menjawab: “Itu adalah akibat dari dosa kedua orang tuamu.”
Inilah imunisasi syari’at sejati yang sepantasnya digalakkan sejak dini, agar kita menjadi bangsa yang perkasa dan berjaya. Dan selanjutnya, generasi penerus kita tidak turut merasakan sebagian dari kesialan berbagai amal kemaksiatan kita.
Renungkan dan pikirkan baik-baik saudaraku! Apakah anda sampai hati untuk mewariskan kesialan amal maksiat anda kepada putra-putri anda?
Saya yakin anda adalah orang tua yang penyayang, sehingga andapun pasti terpanggil untuk menjauhkan warisan sial ini dari putra-putri anda. Tidak heran bila andapun benyak beristighfar, dan berjuang sekuat tenaga untuk mensucikan diri anda dan keluarga anda dari kesialan amal maksiat. Selamat berjuang, semoga Allah Ta’ala memberkahi dan memudahkan perjuangan anda.
E. Memohonkan Perlindungan Untuk Anak-anak.
Diantara metode imunisasi Syari’at yang tidak diketahui oleh banyak umat Islam dan sering dilalaikan oleh orang yang telah mengetahuinya ialah dengan memohonkan perlindungan kepada Allah untuk anak-anak kita dari gangguan setan, binatang berbisa dan pengaruh ‘ain keji (mata keji). Padahal metode ini telah diajarkan semenjak zaman Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, dan diamalkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam..
Dari sahabat Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah memohonkan perlindungan untuk cucunya Hasan dan Husain dengan berdoa: “Aku memohonkan perlindungan untukmu berdua dengan Kalimat-kalimat Allah yang Maha Sempurna dari setiap setan, binatang berbisa yang mematikan, dan dari setiap (pengaruh) mata yang mendatang kerusakan.” (HR Ahmad, Abu Dawud, An Nasai dan dishahihkan oleh Al Albani.
Ini adalah salah satu imunisasi syari’at yang masih belum banyak diketahui oleh umat Islam, dan sering dilalaikan oleh orang yang telah mengetahuinya. Sungguh demi Allah, bila imunisasi syari’at ini kita amalkan dengan penuh keimanan dan penghayatan, niscaya anak-anak kita terlindung dari berbagai penyakit dan wabah.
Wahai saudaraku seiman dan seakidah! Cobalah anda bertanya kepada hati nurani sendiri: Percayakah anda dengan imunisasi syari;at ini?
Amalkanlah wahai saudaraku, niscaya Allah akan melindungi anak-anak anda dari berbagai petaka dan musibah.
F. Tidak berlebih-lebihan Dalam Hal Makanan dan Minuman.
Diantara syari’at Islam yang sejak dahulu kala terbukti manjur untuk menjaga kesehatan dan mencegah datangnya berbagai penyakit ialah menempuh hidup sederhana. Tidak berlebih-lebihan dalam hal makan dan minum.
“Sahabat Al Miqdan bin Ma’dykareb Al Kindi mengisahkan: “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: Tidaklah seorang anak Adam memenuhi suatu kantung yang lebih buruk dibanding perutnya. Bila tidak ada pilihan, maka cukuplah baginya sepertiga dari perutnya untuk makanan, sepertiga lainnya untuk minuman dan sepertiga lainnya untuk nafasnya.” (HR Ahmad, At Tirmizy, An Nasai dan oleh Al Albani dinyatakan sebagai hadits shahih).
Ibnul Qayyim berkata : “Ketahuilah bahwa makan itu ada tiga tingkatan:
A- Kebutuhan.
B- Kecukupan.
C- Kelebihan.
B- Kecukupan.
C- Kelebihan.
Pada hadits di atas, Nabi mengabarkan bahwa hendaknya anda mencukupkanr diri dengan beberapa suap makanan yang dapat menegakkan tulang punggung anda. Dengan demikian anda tidak menjadi loyo dan tidak pula lemas. Bila anda masih merasa perlu untuk makan lebih banyak, maka hendaknya anda makan sepertiga dari daya tampung perut anda. Dengan demikian anda menyisakan sepertiga dari ruang perut anda untuk air minum dan sepertiga lainnya untuk nafas anda. Pembagian ini sangat berguna bagi kesehatan badan dan jiwa anda. Karena bila perut anda dipenuhi oleh makanan, maka tidak tersisa lagi ruang untuk minuman. Sehingga bila anda minum, maka pernapasan andapun menjadi sesak. Bila demikian adanya, anda menjadi mudah lelah dan sesak napas, bagaikan orang yang memikul beban terlalu berat. Ditambah lagi perut kenyang memiliki pengaruh buruk terhadap kepribadian dan jiwa anda. Anda menjadi malas beribadah, dan dorongan birahi anda menguat. Pendek kata, perut yang senantiasa penuh itu berakibat buruk bagi kesehatan raga dan jiwa.”
Al Munawi juga menjelaskan hadits ini dengan berkata : “Nabi menganggap perut orang yang makan hingga penuh sebagai kantong yang paling buruk, karena ia telah menggunakan perutnya tidak pada tempatnya. Perut manusia diciptakan untuk menegakkan tulang punggung karena mendapatkan asupan gizi yang cukup dari makanan yang ia makan. Sedangkan bila ia memenuhi perutnya, maka hal ini berdampak merusak agama dan dunianya. Penjelasannya sebagai berikut: Tidaklah seseorang biasa memenuhi perutnya, kecuali bila ia telah dikuasai oleh sifat keserakahan dan ambisi dunia. Dan kedua perangai ini berakibat buruk bagi pelakunya. Rasa kenyang yang berkepanjangan, menjerumuskan palakunya ke dalam kesesatan dan menjadikannya merasa malas. Akibatnya ia selalu malas untuk beribadah, dan tubuhnya dipenuhi oleh timbunan zat-zat yang tidak ia butuhkan. Bila telah demikian, ia menjadi mudah marah, dikuasai syahwat birahi, dan ambisinya menjadi meluap, sehingga iapun terobsesi untuk menumpuk harta benda yang tidak ia perlukan.”
Saudaraku! Diantara ketentuan syari’at Islam dalam urusan makan dan minum adalah hendaknya anda tidak berlebih-lebihan dalam keduanya. Segala yang anda suka, anda makan atau minum, segala yang bisa anda beli maka anda konsumsi, dan segala yang ditawarkan oleh pedagang, maka anda incipi. Sudah barang tentu sikap seperti ini adalah cerminan nyata dari ambisi makan dan minum yang berlebihan atau disebut dengan isrof.
Sahabat Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash, menceritakan bahwa Rasulullah bersabda: “Makan, minum, bersedekah dan berpakaianlah asal tidak engkau tidak bersikap angkuh dan berlebih-lebihan.” (HR Ahmad, An Nasai dan oleh Al Albani dinyatakan sebagai hadits hasan).
Pada suatu hari, sahabat Umar bin Khatthab berkata: “Janganlah engkau makan hingga merasa kekenyangan, karena kekenyangan menjadikanmu malas mendirikan shalat, dan menyebabkan badanmu ditimpa penyakit. Hendaknya kalian bersikap sewajarnya dalam urusan makan, dengan demikian kalian terjauhkan dari kesombongan, badan kalian menjadi lebih sehat, dan engkau lebih giat beribadah. Tidaklah seseorang itu menjadi binasa, hingga ia lebih mendahulukan syahwat birahinya dibanding ajaran agamanya.”
Sebagian ulama’ berkata:
“Bila engkau memiliki perut yang gendut, maka anggaplah bahwa dirimu sedang menderita penyakit menahun, hingga perutmu kembali mengecil.”
Ibnul Qayyim berkata: “Zat makanan yang tertimbun dalam tubuh menyebabkan banyak petaka, diantaranya : mendorong anggota tubuh untuk berbuat maksiat, dan merasa malas dari beribadah. Kedua hal ini cukup sebagai dampak negatif yang besar bagi anda. Betapa banyak kemaksiatan yang disebabkan oleh rasa kenyang, dan betapa banyak amal ketaatan yang terhalangi oleh rasa kenyang? Karenanya, orang yang terlindung dari efek buruk perutnya, berarti ia telah terlindung dari petaka yang besar. Ditambah lagi, setan semakin leluasa menguasai diri anda, tatkala anda mengisi perut anda dengan makanan hingga penuh. Tidak heran, bila ulama’ terdahulu berpetuah:”Sempitkanlah jalur setan dengan berpuasa.”
Dan nabi juga bersabda:
“Tidaklah seorang anak Adam memenuhi suatu kantung yang lebih buruk dibanding perutnya“.
Andailah perut penuh dengan makanan itu tidak berdampak selain menjadikan anda lalai walau hanya sesat, niscaya setan akan bersemangat menyeru anda untuk melakukannya, agar berkesempatan menggiring anda kemanapun ia suka. Karena bila perut anda senantiasa kenyang, maka jiwa anda akan agresif, dan syahwat birahi andapun berkobar. Sedangkan bila perut anda terbiasa lapar, niscaya jiwa anda menjadi tenang, khusyu’ dan tunduk kepada anda.”
Pada kesempatan lain, beliau berkata : “Berbagai penyakit fisik terjadi akibat dari zat makanan yang tertimbun dalam badan anda. Akibatnya timbunan makanan itu mengganggu gerak berbagai organ badan anda. Inilah kebanyakan penyakit yang diderita oleh masyarakat. Semua itu terjadi karena mereka terbiasa mengkonsumsi makanan padahal makanan yang ia konsumsi sebelumnya belum sempenuhnya dicerna oleh organ pencernaannya. Keadaan ini diperparah oleh:
1- Mereka mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang melebihi kebutuhan badannya.
2- Mereka banyak mengkonsumsi makanan yang sulit dicerna.
3- Mereka mengkonsumsi beraneka ragam jenis makanan yang terbuat dari bahan-bahan yang beraneka ragam pula.
2- Mereka banyak mengkonsumsi makanan yang sulit dicerna.
3- Mereka mengkonsumsi beraneka ragam jenis makanan yang terbuat dari bahan-bahan yang beraneka ragam pula.
Bila anda memenuhi perut anda dengan berbagai jenis makanan ini, dan itu telah menjadi gaya hidup anda, niscaya kebiasaan buruk ini menyebabkan anda menderita beraneka ragam penyakit pula. Dari berbagai penyakit yang anda derita, ada yang dengan cepat disembuhkan dan ada pula yang sulit diobati. Akan tetapi bila anda menempuh hidup sederhana, mengkonsumsi makanan seperlunya, dan makanan yang anda konsumsipun seimbang dalam kadar dan jenisnya, maka badan anda lebih sehat dari pada mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak.”
Tidak mengherankan bila diantara metode yang dicontohkan Nabi adalah tidak makan sambil duduk bersila. Dengan demikian anda tidak terbiasa makan dalam jumlah banyak,. Karena ketika anda duduk bersila, maka lambung anda akan terbuka selebar-lebarnya, anda tidak segera merasa kenyang, dan akhirnya andapun akan makan dengan lahap serta dalam jumlah yang banyak.
Sahabat Abu Juhaifah mengisahkan, Rasulullah bersabda: “Aku tidak makan sambil duduk bersandar (bersila).” (HR Bukhari).
Imam Al Khattabi menjelaskan hadits ini dengan berkata: “Masyarakat awam mengira bahwa yang dimaksud duduk bersandar ialah makan sambil duduk bersandar ke sebelah bagian badan. Padahal tidak demikian halnya. Yang dimaksud adalah duduk mantap dengan bersila. Dengan demikian makna hadits ini, Nabi mengabarkan bahwa ia tidak makan dengan duduk bertumpu pada alas yang dibawahnya, layaknya orang yang hendak makan banyak. Karena sesungguhnya aku makan hanya sekedar untuk bekal hidup, sehingga aku duduk layaknya orang yang ingin segera bangkit.”
Ibnu Jarir At Thabari berkata: “Bila anda bertanya: Apakah ada batasan tertentu berkaitan dengan nafkah yang dibenarkan dalam Syari’at? Maka jawabannya: Ya, ada batasan nafkah yang sesaui dan dibenarkan dalam masing-masing hal berikut: makanan, minuman, pakaian, sedekah, amal kebajikan dan lainnya. Saya tidak suka memperpanjang kitab ini dengan menyebutkan batasan masing-masing. Hanya saja berdasarkan penjelasan di atas, yaitu: bila anda mengkonsumsi makanan melebihi batas kebutuhan anda, sehingga badan anda menjadi lemah, tenaga anda luluh, anda tersibukkan dari beribadah kepada Allah dan menunaikan kewajiban, maka itu berati anda telah berlebih-lebihan.”
Beberapa syari’at di atas, hanyalah setetes dari lautan syariat yang bila kita amalkan dengan penuh keimanan akan mendatangkan keberkahan dalam hidup kita. Bukan hanya dalam hal kesehatan badan kita, akan tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan kita, baik di dunia ataupun di akhirat.
Perbandingan Antara Manfaat Dan Efek Samping Obat.
Islam adalah agama yang Allah turunkan guna merealisasikan dan memperbanyak kemaslahatan bagi umat manusia dan menyingkap serta mengurai kemadharatan dari mereka.
Ibnu Taimiyyah berkata: “Syari’at Islam datang guna mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, serta meniadakan kerusakan dan menguranginya. Oleh karenanya seluruh hal yang diharamkan, berupa kesyirikan, khamer, judi, zina, dan perbuatan dzalim, kadang kala dapat mewujudkan manfaat dan tujuan bagi pelakunya, akan tetapi dikarenakan kerusakannya lebih banyak dibanding maslahatnya, maka Allah dan Rasul-Nya melarang kita darinya. Sebagaimana banyak hal, misalnya berbagai amalan ibadah, jihad, menafkahkan harta, padanya terdapat madhorot (kerugian), akan tetapi karena maslahatnya lebih banyak dibanding kerusakannya, maka Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita dengannya. Ini adalah suatu prinsip yang tidak boleh dilupakan. “
Bahkan Ibnu Abil ‘Iiz As Syafi’i menyimpulkan bahwa seluruh syari’at Islam tercakup oleh kaedah/prinsip ini, kesimpulan ini beliau ulas dengan panjang lebar dan dengan metode yang benar-benar ilmiyyah dalam kitab beliau yang berjudul:
“Kaedah-kaedah Hukum Pada Kemaslahatan Manusia“.
Kaedah ini bukan hanya berlaku pada hukum halal dan haram saja, akan tetapi juga berlaku pada setiap urusan manusia, tidak terkecuali urusan penyakit, penanggulangan dan pengobatannya, sampai-sampai Ibnul Qayyim memberikan kesimpulan dengan berkata:
“Pendek kata, seluruh unsur yang ada di alam dunia, kebaikannya bercampur dengan kejelekan, akan tetapi kebaikannya lebih banyak.”
Berangkat dari kaedah ini, maka tidak heran bila dalam dunia pengobatan, dan penanggulangan penyakit, dikenal suatu hal yang disebut efek samping pengobatan. Bahkan produsen obat, sering kali dengan terus terang memberitahukan efek samping dari obat yang mereka pasarkan.
Walau demikian, obat tersebut tetap saja laku di pasaran, dan bahkan laris, yang demikian ini dikarenakan masyarakat atau konsumen berharap mendapatkan kesembuhan dari penyakit yang ia derita dengan mengkonsumsi obat tersebut. Dan efek samping suatu obat atau pengobatan beraneka ragam wujudnya, ada yang ringan dan ada juga yang berat.
Sebagai contoh misalnya, seseorang rela untuk diamputasi salah satu anggota badannya, guna menghentikan pertumbuhan kanker, atau penyakit serupa yang telah menggerogoti anggota badan tersebut. Pasien merelakan salah satu anggota badannya dipotong, demi menyelamatkan badan, bahkan nyawanya dari kematian. Dikala ia sehat wal afiat -walau dibayar berapa pun- ia tidak akan pernah sudi melakukan itu.
Seorang ayah, akan rela bila anaknya disuntik ketika diimunisasi, karena ia mengharapkan manfaat imunisasi tersebut lebih besar dibanding rasa sakit yang harus diderita anaknya akibat suntikan tersebut.
Perilaku ini bukanlah hal yang mengherankan, atau terlarang baik menurut ilmu medis ataupun syari’at, karena diantara ilmu pengobatan ialah dengan hijamah, yaitu menyayat bagian tertentu dari badan kita, guna mengeluarkan darah kotor atau rusak yang menjadi penyebab sakit yang kita derita, yang diajarkan oleh Nabi .
Bahkan Nabi memerintahkan sahabatnya untuk memutuskan urat lengan Sa’ad bin Mu’adz, yang terluka akibat terkena tombak pada peperangan Al Khondak. Akan tetapi upaya pengobatan Nabi untuk menyelamatkan sahabat Sa’ad bin Mu’adz ini tidak berhasil, alias gagal, karena Allah telah menentukan bahwa beliau akan mati syahid akibat luka tersebut.
Kedua hal ini, nyata-nyata tidak akan kita lakukan bila kita dalam keadaan sehat, dan kita tidak akan pernah tega melakukannya terhadap anak-anak kita bila tidak ada perlunya.
Bila kita telah memahami fenomena ini, maka betapa besar kerugian yang telah kita derita; akibat melupakan pengobatan Nabawi yang mudah, murah, manjur, lagi tidak memiliki efek samping sedikit pun.
Bila kita telah memahami fenomena ini, maka betapa besar kerugian yang telah kita derita; akibat melupakan pengobatan Nabawi yang mudah, murah, manjur, lagi tidak memiliki efek samping sedikit pun.
Pengobatan tersebut ialah ruqyah, yaitu jampi-jampi dengan bacaan Al Qur’an atau doa’-doa yang dibenarkan. Tidak heran bila Allah Ta’ala menyatakan bahwa Al Qur’an adalah kesembuhan:
“Dan Kami turunkan Al Qur’an, sesuatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan Al Qur’an tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian.” (Al Isra’ 17:82).
Ibnul Qayyim berkata: “Al Qur’an adalah kesembuhan sempurna bagi segala penyakit hati dan badan/fisik, penyakit dunia dan akhirat. Dan tidaklah setiap orang memiliki keahlian, tidak juga dimudahkan untuk mendapat kesembuhan dengannya. Bila seorang yang menderita penyakit, pandai dalam menjalankan pengobatan dengan Al Qur’an, ia meletakkannya tepat pada penyakit yang ia derita dengan sebenarnya, ia beriman, menerima, dan yakin sepenuhnya serta ia memenuhi seluruh persyaratannya, niscaya tidak ada penyakit yang dapat melawannya. Bagaimana mungkin bagi penyakit dapat melawan kalamullah, Tuhan bumi dan langit, yang bila diturunkan kepada gunung, niscaya akan hancur, dan bila diturunkan kepada bumi niscaya akan terpotong-potong karenanya. Tidaklah ada suatu penyakitpun, baik penyakit batin, ataupun fisik, melainkan dalam Al Qur’an telah terdapat petunjuk tentang obat, penyebab dan metode pencegahannya. Hal ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang telah Allah karuniai pemahaman tentang kitab-Nya. …..Barang siapa yang tidak dapat disembuhkan dengan Al Qur’an, maka semoga Allah tidak menyembuhkannya. Dan barang siapa yang tidak merasa cukup dengan Al Qur’an, maka semoga Allah tidak pernah mengaruniainya kecukupan.”
Dan diantara ruqyah yang diajarkan oleh Rasulullah adalah:
“Ya Allah, Tuhan seluruh manusia, sirnakanlah keluhan, sembuhkanlah dia, sedangkan Engkaulah Dzat Penyembuh, tiada kesembuhan melainkan kesembuhan darimu, kesembuhan yang tiada menyisakan penyakit.” (Muttafaqun ‘alaih).
Ibnu Hajar dan lainnya, menjelaskan bahwa manfaat dari dikhususkannya kesembuhan dengan “kesembuhan yang tiada menyisakan penyakit“, adalah: guna menghindari berbagai efek samping yang mungkin terjadi dari proses pengobatan dan penyembuhan, karena kadang kala, suatu penyakit berhasil disembuhkan, akan tetapi muncul penyakit lain. Oleh karenanya Nabi mengajarkan agar kita memohon kepada Allah kesembuhan yang mutlak (sempurna) dan bukan asal kesembuhan.
Bangkitlah saudaraku! Marilah kita bersama-sama mengkaji, menggali dan kemudian menerapkan pengobatan dengan Al Qur’an. Hidupkan dan masyarakatkanlah pengobatan dengan Al Qur’an, baik untuk mengobati penyakit jiwa atau raga kita, atau untuk menanggulangi datangnya wabah dan penyakit.
Diantara salah satu imunisasi syri’at yang diajarkan oleh Nabi kepada umatnya ialah apa yang disebutkan pada hadits berikut:
“Barang siapa yang menyaksikan orang yang tertimpa bencana/penyakit, lalu ia berdoa:
“Segala puji hanya milik Allah Yang telah membebaskanku dari apa yang Ia uji engkau dengannya, dan Yang benar-benar telah mengaruniaiku keutamaan dibanding banyak dari makhluq-Nya.” Melainkan ia akan terbebas dari bencana/ penyakit tersebut, apapun wujudnya, sepanjang hayat.” (R At Tirmizy dan lainnya, dan hadits ini dihasankan oleh Al Albani).
Subhanallah, wal hHamdulillah. Imunisasi syari’at ini, mudah, murah, manjur, tanpa efek samping, dan berlaku untuk segala jenis penyakit dan bahkan juga bencana lainnya. Adakah imunisasi yang dihasilkan oleh penelitian ilmu medis barat yang dapat semanjur dan sehebat ini?? Saya yakin, sampai kapan pun dan dengan kemajuan dan teori apapun, manusia tidak akan mampu menemukan vaksin/imunisasi sehebat dan semanjur imunisasi Nabawi .
Imunisasi ini hanyalah dapat diperoleh melalui wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi-Nya. Oleh karenanya, hendaknya umat Islam mensyukuri, kemudian mengkaji dan mengamalkan imunisasi syari’at ini dalam kehidupan mereka. Hanya dengan cara itulah umat Islam akan berjaya dan mandari tidak menjadi obyek perniagaan musuh mereka.
Kendala dan Solusinya
Imunisasi syari’at ini walaupun benar-benar manjur dan telah terbukti akan keampuhannya, akan tetapi banyak dari umat islam yang enggan untuk menerapkannya, dan lebih memilih imunisasi dan pengobatan yang bersifat materi. Setiap kita lebih percaya diri bila telah disuntik dengan vaksin atau meminum obat yang diperoleh dari seorang dokter atau apoteker.
Fakta ini bukanlah bukti baru bahwa imunisasi dan pengobatan syari’at - yang sebagiannya dijabarkan di atas - tidak lagi manjur dan mujarab. Fenomena ini terjadi karena adanya fenomena baru lain yang tidak kita sadari, yang ternyata telah menjadi penghalang terwujudnya efek kesembuhan dan perlindungan dari imunisasi syariat ini.
Hal baru yang menjadi penghalang tersebut ternyata ada dalam diri kita sendiri, yaitu melemahnya iman, tawakkal, serta menumpuknya dosa-dosa kita, sehingga berbagai tindak imunisasi syari’at di atas, tidak mampu mewujudkan perannya yang kita harapkan.
Kendala ini jauh-jauh hari telah disadari oleh para ulama’, sehingga Ibnu At Tien Al Maliky merasa perlu untuk mengingatkan kita tentangnya. Beliau berkata: “Menjampi-jampi dengan menyebut Nama-nama Allah, adalah salah satu pengobatan non materi yang bila dibacakan oleh orang-orang yang shaleh, niscaya –dengan izin Allah- kesembuhan akan terwujud. Akan tetapi karena masyarakat semakin kesulitan untuk mendapatkan orang-orang shaleh, merekapun mulai mengandalkan pengobatan yang bersifat materi.“
Sebagai solusinya, saya mengajak diri saya sendiri kemudian saudara-saudaraku seiman untuk kembali menerapkan imunisasi dan pengobatan syari’at ini. Kita melatih diri, memupuk keimanan dan tawakkal serta mempelajari penerapan yang benar dari imunisasi serta pengobatan syari’at ini, sehingga suatu saat nati, kita benar-benar mampu membuktikan akan kemanjuran dan keampuhannya.
Dengan cara ini, kecintaan dan kebanggaan kita terhadap syari’ah Allah akan bertumbuh, dan pada akhirnya menjadi ringan bagi kita untuk menerapkan syari’at Islam secara utuh dalam kehidupan. Semboyan dan motto kita adalah sabda Nabi:
“Sesungguhnya ilmu itu diperoleh dengan cara belajar, dan perangai sabar lagi bijak dapat didapat dengan berlatih untuk berperilaku bijak nan sabar,dan barang siapa berusaha dengan sungsuh-sunguh untuk mendapatkan kebaikan, niscaya ia akan mendapatkannya dan barang siapa berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menhindari kejelekan, niscaya ia akan terhindar darinya.” (HR At Thobrani, dan Al Khatib Al Baghdady).
Tidaklah kita akan dapat membuktikan kemanjuran dan keampuhan imunisasi dan pengobatan syari’at ini melainkan setelah kita mencoba dan mencoba. Kegagalan demi kegagalan, janganlah melunturkan keimanan kita terhadap kebenaran imunisasi syari’at. Bila upaya dengan penuh iman dan tawakkal semacam ini, niscaya suatu saat kita akan berhasil membuktikan kemanjurannya.
Kita harus menghapus kata “siapa tahu“, dari kamus keimanan dan tawakkal kita, kemudian kita gantikan dengan “saya beriman dan yakin”. Bila kata “siapa tahu” tetap kita pertahankan, dan senantiasa menjadi ucapan awal dari setiap penerapan imunisasi dan pengobatan syari’at yang kita lakukan, maka hasilnyapun “tidak ada yang tahu“, alias tidak terbukti atau gagal.
Pengobatan Dengan Bacaan Al Qur’an dan Doa’-doa Yang Bagus.
Saudaraku, walaupun anda telah melakukan preventif guna mencegah datangnya penyakit, kadang kala masih juga penyakit menghampiri anda. Bukankah demikian? Tidak perlu kecewa atau putus asa, karena kejadian semacam itu adalah wajar terjadi. Apalagi anda, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam saja kadang kala sakit, padahal beliau adalah orang yang paling sempurna dalam menjalankan berbagai amalan prefentif yang disebutkan diatas.
Sahabat Abdullah bin Mas’ud mengisahkan: Pada suatu hari aku menjenguk Rasulullah yang sedang sakit. Kemudian aku berkata kepadanya: “Ya Rasulullah , sesungguhnya panas badanmu tinggi sekali.” Beliau menjawab: “Benar, aku merasakan panas badan yang dirasakan oleh dua orang dari kalian.”Aku pun menimpali pernyataan beliau dengan berkata: “Yang demikian itu dikarenakan engkau mendapatkan dua pahala?” Beliau kembali menjawab pertanyaanku dan berkata: “Benar, demikianlah adanya. Tidaklah ada seorang muslim yang ditimpa gangguan, tertusuk duri atau yang lebih besar, melainkan dengannya Allah menggugurkan dosa-dosanya, bagaikan pepohonan yang dedaunannya berguguran.” (Muttatafaqun ‘Alaih)
Yang demikian itu, dikarenakan berbagai penyakit yang menimpa diri anda tidaklah sia-sia. Berbagai penyakit dan juga musibah yang menimpa anda memiliki banyak manfaat yang besar.
Diantara manfaat penyakit yang menimpa anda ialah:
1- Tebusan dari dosa-dosa anda.
“Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, ia mengisahkan, Rasulullah bersabda: Bila Allah menakdirkan kebaikan untuk seorang hamba-Nya, maka ia menyegerakan hukuman amal kejelekannya di dunia. Sedangkan bila Allah menakdirkan kejelekan untuk seorang hamba-Nya, maka Ia menunda hukuman amal kejelekannya, hingga kelak di hari kiyamat hamba itu menanggung seluruh balasan amal kejelekannya.” (HR At Tirmizy, Al Baihaqi dan oleh Al Albani dinyatakan sebagai hadits hasan).
Saudaraku! Coba anda kembali pikirkan dan kalkulasi dosa-dosa yang pernah anda lakukan. Dimulai dari, mata, telinga, hidung, lisan, tangan, dan seterusnya. Mungkinkah anda kuasa menghitungnya? Akankah kelak di hari Qiyamat, diosa-dosa yang begitu banyak akan berlalu begitu saja tanpa dihisab oleh Allah Ta’ala ?
Pada suatu hari sahabat Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah perihal ayat berikut:
“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan dibalas atas kejahatan itu“. (QS An Nisa’ 4:123).
Pada pertanyaannya, beliau berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana mungkin kita dapat menjadi orang yang shaleh setelah turunnya ayat ini, bila setiap kejelekan yang kita kerjakan pasti dibalas? Menanggapi pertanyaan sahabatnya ini, Nabi bersabda:
“Semoga Allah mengampunimu wahai Abu Bakar. Bukankah engkau ditimpa rasa letih? Bukankah engkau ditimpa duka? Bukankah engkau ditimpa kesusahan dan kelaparan?” Abu Bakar pun menjawab: “Tentu”. Selanjutnya Nabi menimpali jawabannya dengan bersabda: “Itulah balasan yang ditimpakan kepadamu.” (HR Ahmad, Ibnu Hibban dan lainnya)
2- Menguji kadar keimanan anda.
Saudaraku! Apakah anda mengira bahwa keimanan anda akan luput dari ujian? Tidak saudaraku. Tidak sekali-kali anda mungkin dapat luput dari ujian Allah. Karenanya, persiapkan diri, mental dan iman anda, agar anda dapat menjalani ujian ini dengan baik, sehingga Allah-pun semakin mencintai anda.
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:”Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS Al Ankabut 29:2-3)
Sahabat Anas bin Malik mengisahkan Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya bila Allah mencintai suatu kaum, niscaya Ia akan menguji mereka. Maka orang yang menerima ujian itu dengan ridha, maka Allah-pun ridha kepadanya. Sedangkan orang yang tidak suka (berkeluh kesah), maka Allah-pun tidak menyukainya.” (HR At Tirmizy, Ibnu Majah, dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani).
Ketahuilah saudaraku! Kebahagian hidup di dunia yang sejati dan kekal hanya dapat anda capai bila anda ridha dengan segala takdir Allah. Dengan sifat inilah anda dapat merasakan indahnya kenikmatan dan terhindar dari rasa pedih musibah.
Sahabat Abdullah bin Mas’ud berkata: “Sesungguhnya Allah Yang Maha Adil, meletakkan kedamaian dan kebahagiaan pada iman dan ridha. Sebagaimana Allah juga meletakkan rasa gundah dan duka pada keraguan dan kebencian (keluh kesah).”
Ketahuilah saudaraku! Bila anda behasil menggapai kedudukan ini, niscaya segala urusan anda menyenangkan dan mendatangkan kebahagian bagi hidup anda. Derita, penyakit, kemiskinan, dan berbagai kesusahan lainnya yang mungkin menghampiri hidup anda tidak mengusik kebahagian anda. Bahkan sebaliknya, berbagai derita itu mendatangkan bahagia tersendiri bagi anda.
Allah Ta’ala berfirman:
“Barang siapa yang beramal shaleh, baik lelaki maupun perempuan sedangkan ia beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS An Nahl 16:97).
Ibnu Jarir At Thabari menafsirkan ayat ini dengan berkata: “Pendapat yang paling benar tentang ayat ini ialah pendapat orang yang mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah: Kami akan menjadikannya hidup bahagia berkat sifat qana’ahnya. Yang demikian itu, karena orang yang telah mendapatkan karunia sifat qana’ah (senantiasa puas) dengan rizqi yang dikaruniakan kepadanya niscaya bahagia. Ia tidak pernah merasakan derita karena urusan dunia. Ia tidak pernah hanyut oleh ambisi mengeruk dunia, sehingga ia tidak pernah kelelahan karenanya, tidak pula gundah karena memikirkan sesuatu yang tidak berhasil ia gapai dan tidak pula menyesal karena gagal mendapatkannya.”
Rasulullah bersabda:
“Sungguh mengherankan urusan seorang yang beriman, sesungguhnya seluruh urusannya baik, dan hal itu tidaklah dimiliki melainkan oleh orang yang beriman. Bila ia ditimpa kesenangan, ia bersyukur, maka kesenangan itu menjadi baik baginya. Dan bila ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka kesusahan itu baik baginya.” (HR Muslim).
Tidak heran bila orang yang berhasil mencapai kedudukan ini, ia tidak memiliki cita-cita selain yang telah Allah takdirkan untuknya. Ia percaya bahwa apa yang telah Allah takdirkan untuknya pastilah yang terbaik untuknya. Umar bin Abdul Aziz untuk berkata:
“Aku tidak lagi memiliki kebahagiaan selain dengan apa yang telah Allah tentukan dan takdirkan untukku.”
Mungkin ini salah satu hikmah yang dapat kita petik dari doa Nabi berikut:
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon agar senantiasa ridha setiap takdir-Mu usai menimpaku.”
Bila musibah adalah ujian bagi keimanan seseorang, maka dapat dipahami, bahwa seiring dengan bertambah tinggi iman seseorang, maka bertambah tinggi pula jenis cobaannya.
Sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash menuturkan dengan berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling keras cobaannya?” Menjawab pertanyaanku ini, beliau bersabda: “Para nabi, kemudian orang yang paling kuat imannya, dan demikian selanjutnya. Setiap orang diuji sesuai dengan kadar imannya. Bila iman seseorang kokoh, maka semakin keras cobaannya. Sebaliknya, bila imannya lemah, maka ujiannyapun selaras dengan imannya. Dan tidaklah ujian senantiasa menimpa seorang hamba, hingga pada akhirnya ia berjalan di muka bumi tanpa menanggung satu dosapun.” (Riwayat At Tirmizy, Al Hakim dan oleh Al Albani dinyatakan sebagai hadits shahih).
3- Mengikis keangkuhan dan kesombongan dari jiwa anda.
Mungkin anda pernah membayangkan andai selama hidup di dunia ini anda tidak pernah menderita sakit, merasakan pahitnya kegagalan dan tidak pula mengincipi getirnya kesusahan.
Bukankah demikian saudaraku!
Bukankah demikian saudaraku!
Terbayang betapa enak dan bahagianya bila angan-angan itu terwujud. Akan tetapi bila anda renungkan dan pikirkan lebih dalam, keadaan semacam ini bila terwujud pada diri anda, niscaya anda celaka. Betapa tidak, anda menjadi angkuh, sombong, dan terjerumus ke dalam kekufuran kepada Allah Ta’ala
“Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata:”Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku”. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui. Sungguh orang-orang yang sebelum mereka (juga) telah mengatakan itu pula, maka tiadalah berguna bagi mereka apa yang dahulu mereka usahakan. Maka mereka ditimpa oleh akibat buruk dari apa yang mereka usahakan” (QS Az Zumar 39:49-51)
Ayat ini dengan jelas memaparkan tabiat buruk yang dimiliki oleh anak manusia. Bila ia ditimpa kesusahan, dan kesengsaraan, ia tak henti-hentinya berdoa kepada Allah. Ia memohon kepada Allah agar menyingkap kesusahan dan penderitaan yang menghimpitnya. Akan tetapi tatkala Allah telah mengabulkan harapannya. Kesusahannya berangsur-angsur sirna dan demikian pula dengan deritanya, sedikit demi sedikit meninggalkannya. Dan kehidupannya pun mulai makmur, hartanya melimpah, badannya sehat wal afiat, ia menjadi lupa daratan. Ia menduga bahwa Allah memberinya kekayaan, kelapangan dan kesehatan dikarenakan ia memang pantas mendapatkan itu semua. Ia lalai bahwa berbagai kenikmatan yang ia dapat adalah ujian buatnya. Dengan kenikmatan itu Allah menguji dirinya, apakah ia tetap tunduk dan patuh dengan syari’at Allah atau menjadi lupa daratan. Demikian Ibnu Jarir At Thabari dan juga Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas.
Diriwayatkan dalam satu riwayat, bahwa Allah Ta’ala berfirman:
“Sesunggunya dari hamba-hambaku yang beriman, ada orang yang memohon kepadaku untuk dibukakan suatu pintu ibadah tertentu, akan tetapi Aku menghalanginya, agar ia tidak ditimpa ‘ujub (keangkuhan), sehingga menjadikannya binasa. Dari hamba-hambaku yang beriman, ada orang yang imannya tidak menjadi baik kecuali dengan kekayaan, andai Aku timpakan kemiskinan kepadanya, niscaya ia binasa. Sebaliknya, dari hamba-hambaku yang beriman, ada orang yang imannya tidak menjadi baik kecuali dengan kemiskinan, andai Aku timpakan kekayaan kepadanya, niscaya ia binasa. Dari hamba-hambaku yang beriman, ada orang yang imannya tidak menjadi baik kecuali dengan kesehatan, andai Aku timpakan penyakit kepadanya, niscaya ia binasa. Dan sebaliknya dari hamba-hambaku yang beriman, ada orang yang imannya tidak menjadi baik kecuali dengan penyakit, andai Aku timpakan kesehatan kepadanya, niscaya ia binasa. Sesungguhnya Aku mengatur urusan hamba-hamba-Ku berdasarkan pengetahuanku tentang jiwa mereka, karena sesungguhnya Aku adalah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (HR Ibnu Abi Ad Dunya dan Abu Nu’aim Al Ashbahani. Oleh Al Albani hadits ini dinyatakan sebagai hadits yang lemah (dha’if).)
Ibnul Qayyim berkata:
“Bisa jadi, kemiskinan bagi sebagian orang lebih berguna, akan tetapi bagi sebagian lainnya kekayaanlah yang lebih berguna. Sebagaimana kesehatan lebih berguna bagi sebagian orang, akan tetapi bagi sebagian lainnya, penyakit lebih berguna.”
Fenomena ini sudah sepantasnya kita jadikan sebagai penawar lara dan duka disaat ditimpa kesusahan dan penyakit. Yakinlah, bahwa apa yang sedang anda alami pasti baik buat anda, walau sekilas terasa pahit dan menyakitkan. Dengan memahami dan mengamalkan ini, anda kuasa untuk berbaik sangka dengan Allah Ta’ala.
Saudaraku! Betapa sering kita mengaitkan antara keberhasilan, dan kekayaan dengan kecintaan Allah. Kita berkata: Mengapa orang-orang kafir hidup mewah, kaya raya, jarang ditimpa wabah, dan maju sedangkan umat Islam, hidup diambang garis kemiskinan, senantiasa diserang wabah penyakit dan lain sebagainya. Keadaan ini menjadikan sebagian dari kita bertanya-tanya: Mungkinkah Allah lebih sayang kepada orang-orang kafir dibanding umat Islam? Bukankah demikian saudaraku!
Ketahuilah, bahwa kehidupan dunia tidak berbanding lurus dengan kecintaan Allah Ta’ala.
Sahabat Abdullah bin Mas’ud menuturkan, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah membagi akhlaq-akhlaq (perangai) kalian, sebagaimana Allah telah membagi pula rizqi-rizqi kalian. Dan sesungghnya Allah memberi kekayaan dunia kepada orang yang ia cintai sebagaimana Ia memberikannya kepada orang yang tidak Ia cintai. Akan tetapi agama (hidayah/petunjuk) tidaklah ia berikan kecuali kepada orang yang Ia cintai. Barang siapa telah Allah beri petunjuk (agama), berarti Allah mencintainya”.’(HR Ahmad).
Pada kesempatan lain, Nabi menjelaskan mengapa Allah Ta’ala tetap memberi orang-orang kafir kekayaan dan keberhasilan di dunia, padahal ia berbuat kekufuran dan kemaksiatan:
Sahabat Sahel bin Sa’ad berkata: Rasulullah bersabda: “Andailah dunia di sisi Allah sebanding dengan satu sayap lalat, niscaya Allah tidak pernah memberi minum orang kafir walau hanya seteguk.” (HR At Tirmizy, dan lainnya. Oleh Al Albani hadits ini dinyatakan sebagai hadits shahih)
Bersyukurlan saudaraku, Allah telah menurunkan hidayahnya ke dalam hati anda, sehingga anda istiqamah dalam beragama. Ini pertanda Allah mencintai anda, maka sudah sepantasnya anda menjaga agama anda dengan mengorbankan dunia anda, dan tidak sebaliknya, mengorbankan agama demi dunia anda.
Walau demikian, tidak berarti anda terlarang dari menjalankan upaya berupa pengobatan bila ditimpa penyakit. Sama sekali tidak saudaraku! Apa yang diaparkan di atas, hanyalah upaya untuk meluruskan persepsi dan keyakinan yang sering kali menambah derita terasa semakin pedih. Adapun untuk urusan lahir dan tindakan nyata, maka sudah sepantasnya bila anda menjalankan berbagai upaya penyembuhan bagi penyakit yang menimpa.
Rasulullah bersabda:
“Berobatlah; karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Tidaklah pernah menurunkan suatu penyakit, melainkan telah menurunkan pula obatnya, kecuali satu penyakit saja, yaitu: penyakit pikun.” (HR Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizi, Al Hakim, dan oleh Al Albani dinyatakan sebagai hadits shahih).
Bahkan pada tahap prakteknya, Rasulullah juga menjalani berbagai pengobatan yang dapat anda lakukan pula. Dan berikut beberapa pengobatan yang diajarkan dan dianjurkan oleh Nabi:
1. Pengobatan terbaik dan termanjur yang pernah beliau contohkan ialah pengobatan dengan bacaan Kalamullah.
Ketahuilah saudaraku sesungguhnya kalamullah bukan hanya berguna sebagai pedoman hidup anda semata. Akan tetapi Al Qur’an juga berfungsi sebagai penawar berbagai penyakit yang menimpa anda. Bukan hanya penyakit yang mengganggu jiwa, akan tetapi juga mencakup penyakit yang mengganggu kesehatan raga anda.
Terlebih-lebih bila anda membacanya dengan disertai iman dan tawakkal yang kokoh kepada Allah Ta’ala:
“Dan Kami turunkan Al Qur’an, suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan tidaklah Al Qur’an itu menambah orang-orang yang dzalim melainkan kerugian.” (QS Al Isra’ 17:82).
Ibnul Qayyim berkata: “Allah Yang Maha Suci tidak pernah menurunkan obat (penawar) yang lebih menyeluruh, berguna, agung dan lebih manjur dalam mengobati penyakit dibanding Al Qur’an.“
Saudaraku! tidak perlu heran bahwa Al Qur’an adalah obat bagi segala penyakit, baik penyakit batin atau badan, karena Al Qur’an adalah kalamullah. Dan anda pasti telah mengetahui andai kalamullah ini diturunkan kepada gunung niscaya akan runtuh berkeping-keping:
“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur’an ini kepada suatu gunung, niscaya kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah.” (QS Al Hasyr 59:21).
Gunung yang demikian kokoh akan hancur luluh bila diturunkan kepadanya Al Qur’an, maka mungkinkah ada penyakit yang mampu bertahan menerimanya?!.
Imam Al Qurthuby berkata: “Ketahuilah bahwa Al Qur’an adalah petunjuk dan penawar dari segala keraguan, kebimbangan dan penyakit, bagi orang yang beriman dengannya.”
Beberapa orang sahabat Nabi melakukan perjalanan untuk suatu keperluan. Ditengah jalan, mereka singgah di suatu perkampungan. Karena pada zaman dahulu tidak ada rumah makan atau perhotelan, maka merekapun meminta jamuan kepada penduduk setempat. Akan tetapi penduduk kampung yang mereka singgahi enggan untuk menjamu mereka. Sehingga merekapun terpaksa beristirahat di pinggir kampung.
Di saat mereka sedang beristirahat, tiba-tiba kepala suku kampung tersebut disengat hewan berbisa. Setelah berbagai pengobatan diupayakan untuk mengobatinya, tetap saja keadaannya tak kunjung membaik.
Dalam keadaan demikian, salah seorang dari penduduk kampung berkata: “Tidak ada salahnya bila kalian mendatangi kafilah yang sedang beristirahat itu, mungkin saja, mereka memiliki obat penawar”. Tanpa pikir panjang, salah seorang dari mereka segera menemuni para sahabat Nabi yang sedang beristirahat, lalu ia berkata: “Wahai anggota kafilah, sesungguhnya kepala suku kami disengat hewan berbisa. Kami telah mengupayakan untuk mengobatinya dengan segala cara, akan tetapi tidak juga kunjung membaik. Apakah kalian memiliki sesuatu untuk mengobatinya?” Menanggapi pertanyaan utusan penduduk kampung ini, sebagian sahabat menjawabnya dengan berkata: “Ya benar, sungguh demi Allah aku biasa menjampi. Akan tetapi sungguh demi Allah, karena kalian enggan menjamu kami ketika kami menghendakinya dari kalian, maka akupun tidak sudi untuk menjampinya hingga kalian memberiku upah.”
Pendek kata, dicapailah kesepakatan antara kedua pihak bahwa upahnya ialah sejumlah kambing. Selanjutnya sahabat tersebut meniup kepala suku tersebut sambil membacakan surat Al Fatihah kepadanya.
Seusai dijampi dengan bacaan Al Fatihah, kepala suku itu spontan sembuh, seakan terlepas dari ikatan, sehingga ia kembali sehat seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Tak ayal lagi penduduk kampung itupun memberinya upah yang telah disepakati.
Setelah upah berupa beberapa ekor kambing diterima oleh para sahabat, segera sebagian dari mereka mengusulkan agar upah itu dibagi rata sesama mereka. Akan tetapi sahabat yang telah menjampi dengan baca Al Fatihah itu berkata: “Jangan buru-buru kalian membaginya, sampai kita menanyakan perihal upah ini kepada Nabi.” Kita menceritakan kejadiannya kepada beliau dan selanjutnya terserah kepada beliau apa yang beliau perintahkan kepada kita.
Setiba mereka di hadapan Rasulullah, segera mereka menceritakan perihal mereka. Menanggapi cerita sahabat itu, Rasulullah bersabda:
“Dari mana engkau mengetahui bahwa surat Al Fatihah dapat dijadikan untuk menjampi-jampi?” Kemudian beliau melanjutkan sabdanya dengan berkata: “Kalian telah berbuat benar, bagilah upah itu, dan sertakan aku dalam pembagian upah yang kalian dapatkan.” (HR Al Bukhari).
Ibnul Qayyim menimpali kisah ini dengan berkata: “Al Qur’an adalah obat termudah dan terringan. Andailah seorang hamba pandai dalam pengobatan dengan bacaan surat Al fatihah, niscaya ia merasakan efek kesembuhan yang sangat menakjubkan. Aku sendiri pernah tinggal di kota Mekkah selama beberapa waktu. Saat itu aku ditimpa berbagai penyakit, sedangkan aku tidak menemukan tabib dan tidak pula obat. Yang aku lakukan, aku mengobati diriku dengan bacaan Al Fatihah, dan akupun merasakan efek kesembuhan yang menakjubkan. Selanjutnya aku menceritakan hal ini kepada setiap orang yang mengeluhkan rasa sakit. Dan kebanyakan mereka dalam waktu yang singkat mendapatkan kesembuhan dari rasa sakitnya.”
Hanya saja ada beberapa peringatan penting yang harus anda perhatikan, yaitu: Sesungguhnya bacaan dzikir, ayat-ayat dan doa-doa yang biasa digunakan untuk pengobatan dan menjampi-jampi benar-benar efektif dan manjur.
Akan tetapi efek kesembuhan itu hanya dapat dicapai dengan beberapa persyaratan berikut:
1- Jiwa pasien benar-benar siap.
2- Kebulatan tekad dan peran pembaca doa.
2- Kebulatan tekad dan peran pembaca doa.
Bila kesembuhan telat dicapai, maka itu terjadi karena peranan pembaca yang lemah, atau jiwa pasien belum bisa menerima, atau karena ada faktor penghalang yang kuat. Faktor penghalang ini menghalangi efek pengobatan sebagaimana yang terjadi pada pengobatan dan penyakit biasa.
Pengobatan yang tidak manjur bisa saja karena badan pasien tidak dapat menerima obat itu. Karena raga manusia bila sepenuhnya menerima suatu obat, niscaya efek kesembuhan akan terwujud sebesar kesiapan raga dalam menyambut obat tersbeut.
Demikian juga halnya dengan jiwa anda, bila sepenuhnya menerima bacaan al qur’an dan jampi-jampi, dan pembacanya memainkan peran yang bagus, dan memiliki tekad yang bulat, niscaya jampi-jampinya efektif dalam menghilangkan penyakit.
Demikian pula halnya dengan doa. Doa adalah salah satu serana yang sangat efektif guna menangkal petaka dan mendatangkan harapan. Akan tetapi bisa saja hal itu tertunda, karena doa yang ia panjatkan memiliki kelemahan. Bisa karena mengandung permusuhan yang tentu dibenci Allah, atau karena hati orang yang memanjatkannya lemah. Ketika berdoa, ia tidak sepenuhnya menghadap kepada Allah. Perumpamaan doa ini bagaikan busur yang sangat kendor, sehingga anak panah yang melesat darinyapun lemah. Atau bisa juga karena adanya penghalang tekabulnya doa, berupa memakan harta haram, perbuatan lalim, hatinya telah dipenuhi dengan dosa, dikuasai oleh kelalaian, atau tidak sepenuh hati ketika berdoa.
Sebagaimana yang ditegaskan pada hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan dalam kitab Shahih Imam Al Hakim, dari Nabi:
“Berdoalah kepada Allah, sedangkan engkau percaya akan dikabulkan. Dan ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa yang keluar dari hati yang benar-benar lalai.” Inilah pengobatan kita yang benar-benar manjur menyembuhkan penyakit, akan tetapi kelalaian jiwa dari mengingat Allah melunturkan pengaruhnya. Demikian pula memakan harta haram, dapat melunturkan pengaruh pengobatan kita.”
2. Pengobatan dengan doa.
Diantara metode pengobatan yang Rasulullah ajarkan kepada umatnya ialah dengan memanjatkan doa, memohon kesembuhan kepada Allah. Percayalah, sesungguhnya Allah Ta’ala dekat dengan anda dan kuasa mengabulkan permintaan anda, apapun wujudnya. Tidak sepantasnya bagi seorang mukmin untuk merasa bahwa dirinya jauh dari Allah. Simaklah firman Allah Ta’ala berikut saudaraku:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku berta nya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan do’a orang yang berdoa bila ia berdo’a kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka berada dalam kebenaran.”(QS Al Baqarah 2:186).
Sebagaimana sudah sewajarnya bila anda senantiasa memupuk subur keimanan anda bahwa segala penyakit adalah ciptaan Allah, dan hanya Allah pula yang kuasa menyembuhkannya.
“Dan apabila aku sakit, maka Dialah Yang menyembuhkan aku“. (QS As Syu’ara’ 26:80)
Karena itu, dahulu bila Nabi menjenguk atau dihadapkan kepadanya orang yang sedang menderita sakit, beliau mendoakannya dengan doa berikut:
“Sirnakanlah keluhan wahai Tuhan seluruh manusia, sembuhkanlah dia, karena Engkaulah Dzat Penyembuh, tiada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tiada menyisakan rasa sakit.” (Muttafaqun ‘alaih).
Pada suatu hari Utsman bin Abul ‘Ash As Tsaqafy mengeluhkan rasa sakit yang ia derita sejak ia masuk Islam. Mendengar keluhan sahabatnya ini, Nabi bersabda kepadanya: “Letakkan tanganmu di bagian tubuhnya yang terasa sakit, lalu bacalah : “Bismillah” sebanyak tiga kali, dan selanjutnya ucapkanlah sebanyak tuju kali:
“Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari apa yang aku rasakan dan kawatirkan.”
Pada riwayat lain Utsman bin Abul ‘Ash mengisahkan: “Akupun segera mengucapkan doa itu, maka Allah Azza wa Jalla-pun menyembuhkan rasa sakit yang selama ini aku derita. Dan selanjutnya akupun senantiasa mengajarkannya kepada keluargaku dan juga yang lainnya”. (HR Ahmad, Abu Dawud dan lainnya).
Masih banyak lagi bacaan-bacaan doa yang pernah diajarkan oleh Nabi kepada umatnya untuk mereka baca bila mereka ditimpa suatu penyakit.
3. Pengobatan Dengan Bekam.
Diantara pengobatan yang terbukti sepanjang sejarah efektif dan manjur mengobati berbagai penyakit ialah bekam.
Diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi; beliau bersabda: “Kesembuhan terdapat pada tiga hal: minum madu, sayatan bekam, dan sengatan api, sedangkan aku melarang umatku dari pengobatan dengan sengatan api.” (HR Bukhari)
Begitu efektifnya bekam dalam pengobatan, sampai-sampai Nabi mengisahkan:
“Pada malam aku melakukan Isra’, tidaklah aku melintasi sekelompok Malaikat, melainkan mereka berpesan kepadaku untuk memerintahkan umatku agar berbekam.” (HR At Tirmizy dan lainnya)
Hadits-hadits ini dengan tegas menjelaskan bahwa diantara pengobatan yang benar-benar efektif dan manjur ialah dengan berbekam. Sehingga tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk tidak membuktikan kemanjuran pengobatan yang diajarkan dan diwasiatkan oleh Nabi ini.Terlebih-lebih beliau telah menyatakan bahwa bekam adalah salah satu pengobatan terbaik:
“Sebaik-baik pengobatan yang engkau lakukan ialah berbekam.” (HR Ahmad dan lainnya)
4. Pengobatan dengan Minum Madu.
Minuman hasil produksi makhluq mungil nan menakjubkan ini, benar-benar bermanfaat bagi kehidupan umat manusia secara umum dan kesehatan raga mereka secara khusus.
“Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Rabbmu yanng telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-orang yang memikirkan.” (QS An Nahl 16:69)
Abu Sa’id Al Khudri mengisahkan:
Ada seorang sahabat yang datang kepada Rasulullah mengadukan saudaranya yang menderita sakit perut (diare). Mendengar keluhan sahabatnya ini, Nabi memerintahkannya agar ia mengobati saudaranya dengan madu. Sahabat itu pun mentaati petunjuk Nabi tersebut. Akan tetapi, terjadi hal yang diluar dugaan, seusai sahabat itu meminumkan madu kepada saudaranya, diarenya bertambah parah Karena itu, sahabat tadi kembali mengadukan keadaan ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan lagi-lagi Nabi memerintahkannya untuk meminumkan madu kepada saudaranya. Akan tetapi penyakitnya semakin menjadi-jadi, dan saudaranya pun semakin parah. Walau telah bolak-balik antara Nabi dan saudaranya sebanyak 3 kali, dan setiap kali Nabi memerintahkannya dengan perintah yang sama, sahabat itu tidak putus asa. Pada keempat kalinya Rasulullah bersabda: “Maha Benar Allah dan perut saudaramu telah salah“. Untuk keempat kalinya, sahabat itu kembali meminumkan madu kepada saudaranya, dan akhirnya diarenya pun sembuh”. (Muttafaqun ‘alaih)
Ibnu Hajar Al Asqalani mengomentari kisah ini dengan berkata: “Seluruh tabib telah sepakat bahwa pengobatan satu penyakit berbeda-beda, selaras dengan perbedaan umur, kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi, kedisiplinan, dan daya tahan fisik. ….. Sahabat yang menderita diare ini, belum sembuh seusai minum madu pertama kali, karena dosis madu yang ia minum belum seimbang dengan penyakit yang diderita. Dan obat apa pun, bila dosisnya kurang dari penyakit, maka tidak dapat menyembuhkannya dengan total, dan bila melebihi dosis, maka dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang lain. Seakan-akan pada pertama kali sahabat ini minum madu dengan dosis yang belum cukup untuk mengusir diarenya. Karenanya Nabi memerintahkannya agar meminumnya kembali. Dan tatkala ia telah berulang kali minum madu, dan mencapai dosis yang cukup untuk mengusir penyakit, maka iapun –dengan izin Allah- sembuh.“
Dan masih banyak lagi pengobatan yang diajarkan oleh Nabi dan terbukti efektif nan manjur mengobati berbagai penyakit. Karenanya, sudah tiba saatnya bagi umat Islam untuk mengkaji dan menggali pengobatan ala Nabi.
Ketahuilah saudaraku, bahwa pengobatan ala Nabi adalah pengobatan yang pasti manjur dan efektif mengobati berbagai penyakit yang mengganggu kesehatan anda. Pengobatan Nabi pasti mendatangkan efek kesembuhan bagi anda, dikarenakan pengobatan itu bersumberkan dari wahyu. Berbeda dengan pengobatan yang diajarkan oleh orang lain. Semuanya berdasarkan praduga dan eksperimen.
Syarat Pengobatan Yang Manjur:
Sebagaimana hal lainnya, agar pengobatan manjur dan mendatangkan hasilnya, kita harus mengindahkan beberapa persyaratannya. Dan berikut akan saya paparkan dua syarat utama bagi pengobatan yang manjur:
Syarat Pertama: Pengobatan yang tepat.
Agar obat yang anda gunakan benar-benar berguna dan manjur sehingga penyakit yang anda derita, sembuh, maka pengobataan anda harus tepat:
- Tepat ketika mendiagnosa penyakit yang anda derita.
- Tepat memilih obat.
- Tepat dalam dosis obat.
- Tepat waktu penggunaan.
- Tepat dengan menghindari berbagai pantangan dan hal lain yang menghambat kerja obat.
- Tepat memilih obat.
- Tepat dalam dosis obat.
- Tepat waktu penggunaan.
- Tepat dengan menghindari berbagai pantangan dan hal lain yang menghambat kerja obat.
Bila anda melakukan kesalahan pada satu dari hal-hal tersebut, maka sangat dimungkinkan pengobatan yang anda lakukan tidak akan mendatangkan hasil sebagaimana yang anda harapkan. Demikianlah sebagian dari pelajaran yang dapat kita petik dari hadits Nabi berikut:
Dari sahabat Jabir, dari Rasulullah beliau bersabda: “Setiap penyakit ada obatnya, dan bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh dengan izin Allah Azza wa Jalla.” (HR Muslim).
Ibnul Qayyim mengomentari hadits ini, dengan berkata: “Pada hadits ini mengaitkan kesembuhan dengan ketepatan/kecocokan obat dengan penyakit, karena tidaklah ada satu makhluq pun melainkan memiliki lawannya. Dan setiap penyakit pasti memiliki obat yang menjadi penawarnya, yang dengannya penyakit itu diobati. Nabi mengaitkan kesembuhan dengan ketepatan dalam pengobatan, dan ketepatan ini merupakan hal yang lebih dari sekedar ada atau tidaknya obat (bagi suatu penyakit-pen). Karena obat suatu penyakit bila melebihi kadar penyakit, baik pada metode penggunaan atau dosis yang semestinya, akan berubah menjadi penyakit baru. Bila metode penggunaan atau dosisnya kurang dari yang semestinya, maka tidak akan mampu melawan penyakit, sehingga proses penyembuhannya pun tidak sempurna. Bila seorang dokter salah dalam memilih obat, atau obat yang ia gunakan tidak tepat sasaran, maka kesembuhan tak kan kunjung tiba. Bila waktu pengobatan dilakukan tidak tepat dengan obat tersebut, niscaya obat tidak akan berguna. Bila badan pasien tidak cocok dengan obat tersebut, atau fisiknya tidak mampu menerima obat tersebut, atau ada penghalang yang menghalangi kerja obat tersebut, niscaya kesembuhan tak kan kunjung tiba. Semua ini dikarenakan ketidak tepatan dalam pengobatan. Bila pengobatan tepat dalam segala aspeknya, pasti - dengan izin Allah- kesembuhan akan diperoleh. Inilah penafsiran terbaik bagi hadits di atas.”
Ibnu Hajar Al Asqalaany juga berkata senada dengan ucapan Ibnul Qayyim: “Pada hadits riwayat sahabat Jabir terdapat isyarat bahwa kesembuhan tergantung kepada ketepatan dan izin Allah. Yang demikian itu dikarenakan suatu obat kadang kala melebihi batas, baik dalam metode penggunaan atau dosisnya, sehingga obat tersebut tidak manjur, bahkan dimungkinkan obat itu malah menimbulkan penyakit baru.“
Syarat Kedua : Izin Allah.
Sebagai seorang muslim, anda pasti beriman kepada taqdir Allah. Anda mempercayai bahwa segala sesuatu di dunia ini, terjadi atas kehendak dan ketentuan dari Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut takdir (ketentuan).” (QS Al Qamar 54:49).
Dan Rasulullah bersabda:
“Segala sesuatu (terjadi) atas takdir (ketentuan dan kehendak), sampai pun rasa malas dan semangat.” (HR Muslim).
Kehendak dan ketentuan Allah ini mencakup segala sesuatu, tanpa terkecuali penyakit dan kesembuhan yang menimpa manusia, oleh karenanya nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata –sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur’an-:
“Dan bila aku sakit, maka Dia-lah yang menyembuhkan.” [QS Asy-Syu’ara 26:80]
Dahulu Rasulullah, bila ada salah seorang dari anggota keluarganya yang menderita sakit, atau ketika menjenguk orang yang sedang sakit, beliau mengusapnya dengan tangan kanannya, sambil berdoa:
“Ya Allah, Tuhan seluruh manusia, sirnakanlah keluhan, sembuhkanlah dia, sedangkan Engkaulah Dzat Penyembuh, tiada kesembuhan melainkan kesembuhan darimu, kesembuhan yang tiada menyisakan penyakit.” (Muttafaqun ‘alaih).
Oleh karenanya pada hadits Jabir di atas, selain mengaitkan kesembuhan dengan ketepatan dalam pengobatan, Rasulullah juga mengaitkannya dengan kehendak Allah.
“Bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh dengan izin Allah Azza wa Jalla.”
“Bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh dengan izin Allah Azza wa Jalla.”
Dan Ibnu Abdil Bar berkata, sabda Nabi :
“Yang menurunkan obat adalah Yang menurunkan penyakit“.
Terdapat dalil bahwa kesembuhan tidak ada seorangpun yang mampu menyegerakan kedatangannya, dan tidak seorangpun yang mengetahui waktu kedatangannya. Sungguh aku telah menyaksikan sebagian dokter/tabib yang berusaha mengobati dua orang yang ia anggap menderita penyakit yang sama. Keduanya ditimpa penyakit pada waktu yang sama, umur yang sama, berasal dari negeri yang sama, bahkan kadangkala mereka adalah dua orang saudara kembar, dan makanan merekapun sama. Sehingga dokter tersebut mengobati keduanya dengan obat yang sama, akan tetapi satunya sembuh, sedangkan yang lain malah mati, atau penyakitnya berkepanjangan. Orang kedua itu baru sembuh setelah sekian lama, yaitu tiba waktu yang telah Allah tentukan untuk kesembuhannya.
Ibnu Hajar Al Asqalany berkata: “Dan diantara yang pelajaran yang terkandung dalam sabda Nabi :
“Obat itu diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya“
Apa yang dialami oleh sebagian pasien. Ia berobat dari suatu penyakit dengan suatu obat, lalu iapun sembuh. Kemudian pada lain waktu ia ditimpa oleh penyakit yang sama, lalu iapun berobat dengan obat yang sama, akan tetapi obat itu tidak manjur. Penyebab terjadinya hal semacam ini adalah kebodohannya (ketidak tahuannya) tentang sebagian karakter obat tersebut. Mungkin saja ada dua penyakit yang serupa, sedangkan salah satunya terdiri dari beberapa penyebab (penyakit/komplikasi), sehingga tidak dapat diobati dengan obat yang telah terbukti manjur untuk mengobati penyakit yang tidak komplikasi, disinilah letak kesalahannya. Dan kadang kala kedua penyakit tersebut sama, akan tetapi Allah menghendaki untuk tidak sembuh, maka obat itupun tidak manjur, dan saat itulah runtuh keangkuhan para tabib/dokter.”
Penjelasan diatas membantah praduga atau pemahaman sebagian orang bahwa: “Bila suatu hal telah dinyatakan sebagai obat bagi suatu penyakit, maka harus manjur dan penyakit pasti sirna. Atau bila imunisasi suatu penyakit telah diberikan, maka anak kita pasti kebal dan terhindar dari penyakit.”
Sadarlah wahai saudaraku! bahwa semua yang kita lakukan dan kita upayakan hanyalah sebatas usaha, sedangkan Allah-lah yang menentukan dan mentakdirkan.
Dahulu dinyatakan:
“Bila taqdir telah datang, maka sirnalah kehati-hatian.”
Maksudnya, bila Allah telah menentukan suatu penyakit menimpa seseorang, atau bila ajal telah datang, maka berbagai upaya yang ditempuh manusia untuk menghindarinya tidak lagi berguna, dan kehendak Allah lah yang pasti terjadi.
Akidah dan keyakinan ini tidak boleh kita lupakan kapan pun kita berada, serta apa pun profesi kita.
Kaitannya dengan proses pengobatan setiap penyakit yang kita derita, maka dapat dirangkumkan dalam beberapa hal berikut:
1. Hendaknya kita yakin, bahwa yang menciptakan penyakit adalah Allah, dan yang menentukan bahwa penyakit tersebut menimpa kita adalah Allah. Kita tidak perlu berkeluh kesah, kita menerima semuanya dengan lapang dada. Percayalah bahwa dibalik penyakit tersebut pasti tersimpan beribu-ribu hikmah. Dengan cara ini, apapun yang kita alami akan mendatangkan kebaikan bagi kita, baik di dunia ataupun di akhirat.
“Sungguh mengherankan urusan seorang yang beriman, sesungguhnya seluruh urusannya baik, dan hal itu tidaklah dimiliki melainkan oleh orang yang beriman. Bila ia ditimpa kesenangan, ia bersyukur, maka kesenangan itu menjadi baik baginya. Dan bila ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka kesusahan itu baik baginya.” (HR Muslim).
2. Hal selanjutnya yang hendaknya kita lakukan ialah memohon kesembuhan kepada Allah, menumbuhkan keimanan dan keyakinan bahwa hanya Allah lah yang dapat menyembuhkan penyakit kita. Oleh karenanya Rasulullah mengajarkan kepada umatnya doa :
“Ya Allah, Tuhan seluruh manusia, sirnakanlah keluhan, sembuhkanlah dia, sedangkan Engkaulah Penyembuh, tiada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tiada menyisakan penyakit.”
Kita sering melupakan hal ini, bahkan tidak jarang doa menjadi upaya terakhir yang kita lakukan dalam proses penyembuhan. Atau hanya kita lakukan bila tenaga medis telah kesulitan atau, kita telah mengeluarkan banyak biaya, rasa putus asa telah menyelimuti sanubari, dan – mungkin juga - dengan penuh keraguan kita berdoa memohon kesembuhan kepada Allah, sambil berkata: “siapa tahu doa kita dikabulkan“.
Subhanallah, dengan tenaga medis kita optimis, akan tetapi dengan kekuasaan Allah kita ragu, sehingga kita berkata: “siapa tahu doa kita dikabulkan”?!
3. Hendaknya anda senantiasa ingat bahwa pengobatan dan imunisasi yang anda lakukan hanyalah sebatas upaya. Sedangkan ketentuan dan kesembuhan hanyalah milik Allah, sehingga tidak ada lagi ucapan: “Sudah berobat ke dokter spesialis, atau minum obat ini, itu, atau sudah diimunisasi, kok masih juga terkena penyakit, atau penyakit tak kunjung sembuh“.
4. Bila anda adalah seorang tenaga medis, atau sedang menjenguk orang sakit, hendaknya dengan sepenuh hati anda mendoakannya. Mohonkanlah kesembuhan kepada Allah untuknya. Dengan demikian kedua syarat kesembuhan di atas dapat segera terpenuhi, dan kesembuhanpun segera terwujud Rasulullah bersabda:
“Barang siapa yang menjenguk orang sakit yang belum tiba ajalnya, lalu ia berdoa disisinya sebanyak tujuh kali (7x): “Aku memohon kepada Allah Yang Maha Agung Tuhan Arsy yang agung agar menyembuhkanmu“, melainkan akan Allah bebaskan dia dari penyakit tersebut.” (HR Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasa’i dan dishahihkan oleh Al Albany).
Sebagai bukti nyata bahwa anda benar-benar tenaga medis muslim yang baik, hendaknya anda percaya dan juga berusaha membangkitkan keimanan pasien anda bahwa tindakan medis yang anda lakukan hanya sebatas upaya. Sedangkan kesembuhan, hanya Allah yang kuasa mendatangkannya.
Sebaliknya sebagai pasien yang benar-benar beriman, hendaknya anda hanya menggantungkan harapan anda kepada Allah, tidak kepada dokter atau lainnya.
Dua Peringatan Penting :
Peringatan pertama: Ilmu Agama Lebih Mulia dari Ilmu Kedokteran.
Pada kesempatan ini, saya mengajak pembaca untuk sedikit membandingkan sikap dan persepsi kita tentang ilmu kedokteran dan ilmu syari’at.
Amatilah masyarakat di sekitar anda, adakah seseorang yang tidak lulus dari fakultas kedokteran atau tidak memiliki izin praktek dari instansi terkait, yang berani membuka praktek untuk umum. Saya yakin, kalaupun ada yang nekat membuka praktek pengobatan untuk umum, niscaya ia segera berurusan dengan pihak berwajib dan menghuni hotel prodeo. Bukankah demikian saudaraku?.
Bukan hanya sebatas itu, anda pun merasa malu atau takut untuk berkomentar tentang ilmu kedokteran, kalau benar-benar tidak pernah mempelajarinya. Dan tatkala anda merasa perlu untuk berobat, niscaya andapun bersikap selektif dan berusaha memilih seorang dokter yang benar-benar mahir dan berpengalaman.
Coba anda bayangkan, andai suatu hari anda berobat ke seorang yang membuka layanan kesehatan untuk umum, akan tetapi ternyata terbukti ia hanyalah seorang dokter hewan, atau bahkan bengkel sepeda. Kira-kira bagaimana perasaan dan sikap anda kala itu? Mungkinkah anda rela begitu saja dijadikan kelinci percobaan oleh dokter gadungan tersebut ?
Akan tetapi, untuk ilmu yang satunya, yaitu ilmu syari’at, maka kebalikannyalah yang terjadi. Di masyarakat kita, siapa saja bebas membuka praktek, menganalisa, berfatwa dan berijtihad. Bahkan betapa banyak umat Islam yang lebih suka menghadiri pengajian yang dibimbing oleh seorang muallaf, atau dokter, atau mantan napi daripada pengajian yang dibimbing oleh seorang ulama’ yang telah menghabiskan umur dan berbagai potensinya dalam mempelajari ilmu agama.
Kepekaan masyarakat dalam memilih Ustadz atau Kiyai tempat mereka mengobati derita batin tidak sebanding dengan kepekaan mereka dalam memilih dokter tempat mereka mengobati derita raga mereka.
Sungguh mengherankan bukan? Padahal ilmu agama lebih mulia dibanding ilmu lainnya, karena kemuliaan ilmu ditinjau dari tema dan sumber ilmu tersebut. Dan ilmu agama nyata-nyata mempelajari nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan syari’at-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu, dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”[QS al-Mujadilah 58:11]
Para ulama’ menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ilmu pada ayat ini ialah ilmu agama, bukan sembarang ilmu. Diantara yang mendasari penafsiran ini ialah kisah berikut:
“Nafi’ bin Abdul Harits berjumpa dengan Khalifah Umar (bin Khaththab) di daerah ‘Usfan, dan kala itu Umar telah menunjuknya sebagai gubernur kota Makkah. Maka Khalifah Umar bertanya kepadanya: “Siapakah yang engkau tunjuk untuk menjadi pegawaimu di daerah Wadi?” Maka Nafi’ pun menjawab: “Ibnu Abza”. Maka Khalifah Umar kembali bertanya: “Siapakah itu Ibnu Abza?” Nafi’ menjawab: “Dia adalah salah seorang bekas budak kami”. Khalifah Umar berkata keheranan: “Engkau menunjuk seorang bekas budak sebagai pemimpin mereka?” Nafi’ menjawab: “Sesungguhnya dia itu hafal kitab Allah Azza wa Jalla (Al Qur’an) dan menguasai ilmu faraidh (pembagian warisan).” Mendengar itu, Khalifah Umar berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Nabi kalian telah bersabda:
“Sesungguhnya Allah akan memuliakan dengan Kitab ini (Al Qur’an) sebagian orang dan akan merendahkan dengannya sebagian lainnya.” (HR Muslim).
Bila hal ini telah diketahui, maka ketahuilah saudaraku, untuk dapat menghukumi suatu permasalahan, - misalnya dalam hal yang ada kaitannya dengan ilmu medis - maka seorang ahli ijtihad atau ulama’ pastilah menguasai dua jenis ilmu/pemahaman:
1. Pemahaman terhadap kasus atau kejadian, dengan menggunakan berbagai indikator (qorinah), dan bukti-bukti hingga ia benar-benar menguasai kejadian itu. Pemahaman inilah yang sering disebut-sebut dengan istilah fiqih waqi’ (realita).
2. Penguasaan terhadap hukum-hukum Allah yang telah digariskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Bila kedua ilmu ini telah dimiliki, maka selanjutnya seorang ahli ijtihad ulama’ berkewajiban untuk mencocokkan keduanya. Barang siapa yang telah mengerahkan seluruh daya dan upayanya guna menguasai dua pemahan ini, maka dibenarkan baginya untuk berfatwa atau memutuskan suatu hukum halal atau haram.
Apakah cukup hanya sampai di sini saja? Tidak saudaraku, karena ternyata pemahaman jenis pertama masih terbagi menjadi dua, sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Shaleh bin Abdil Aziz Alu As Syeikh, dalam perkataannya berikut ini: ” Sesungguhnya memahami realita (fiqih waqi’) - menurut ‘ulama - terbagi menjadi dua bagian:
Bagian pertama :
Pemahaman terhadap fakta kejadian yang diatasnya dibangun hukum syari’at. Ini merupakan suatu keharusan untuk dipahami. Barangsiapa yang menghukumi suatu masalah, tanpa memahami faktanya, maka dia pasti berbuat kesalahan.
Dan jika fakta tersebut, benar-benar mempengaruhi dalam penentuan hukum, maka kita wajib memahaminya.
Bagian kedua :
Fakta yang tidak mempengaruhi penentuan hukum syari’at, misalnya: kejadiannya demikian dan demikian, dan kisah cerita yang panjang lebar…, akan tetapi fakta dan kisah tersebut, sama sekali tidak mempengaruhi dalam penentuan hukum syari’at.
Fakta ini, tidak diperlu diperdulikan oleh para ‘ulama, walaupun pada kenyataanya mereka memahami fakta tersebut. Dengan demikian tidak setiap fakta yang diketahui diatasnya dibangun suatu hukum syari’at”.
Adapun orang yang hanya menguasai satu dari dua pemahaman di atas, maka tidak dibenarkan baginya untuk berfatwa atau menghukumi halal atau haram. Bila tidak, maka ia pasti terjerumus ke dalam perbuatan dusta atas nama Allah.
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lisanmu secara dusta” ini halal dan ini haram”, untuk mengada-ngadakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-ngadakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS An Nahl 16:116)
Oleh karenanya, tidak dibenarkan bagi siapapun yang hanya memiliki satu jenis pemahaman, kemudian berfatwa, baik secara langsung, misalnya dengan berkata : ini halal, dan itu haram, atau dengan tidak langsung dan dengan bahasa diplomatis, misalnya dengan berkata: tidak layak, lebih baik, seyogyanya dll.
Peringatan Kedua: Waspada Dari Propaganda Komersial.
Ilmu medis yang ada pada zaman kita ini kebanyakannya adalah hasil penelitian dan experimen orang-orang yang tidak beriman atau minimal kurang memiliki rasa takut kepada Allah. Akibatnya, mereka tidak jarang lebih mementingkan sisi komersialnya dibanding sisi amanah. Terlebih-lebih tujuan beribadah kepada Allah dengan menolong saudaranya yang sedang menderita sakit.
Kebanyakan yang berkecimpung dalam dunia medis tidak memperhatikan masalah halal-haram, oleh karena itu terjadi berbagai kemungkaran.
Betapa banyak hal yang hanya bertujuan mengeruk keuntungan materi bahkan memasarkan barang haram telah melekat dalam ilmu medis zaman sekarang. Misalnya: penggunaan alkohol dalam berbagai produk obat, perang propaganda antara produsen obat yang tidak segan-segan untuk menggunakan kata-kata dusta, suap dan sikap-sikap kotor lainnya. Sebagai contohnya: setiap produsen obat mengklaim bahwa prodaknya adalah yang no 1, paling manjur, dan lain-lain. Sebagaimana mereka menghalalkan segala macam cara agar produknya laku, misalnya dengan menggunakan suap, mempertontonkan aurat wanita pada iklan produknya, dll.
Ini semua merupakan bukti dari kebenaran sabda Nabi :
“Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan kelak pada hari qiyamat sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertaqwa kepada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur.” (HR At Timizy, Ibnu Hibban, Al Hakim dan oleh Al Albany dinyatakan sebagai hadits shahih).
Al Qadhi ‘Iyadh menjelaskan hadits ini dengan berkata: “Karena kebiasaan para pedagang adalah menipu dalam perniagaan, dan amat berambisi untuk menjual barang dagangannya dengan segala cara yang dapat mereka lakukan diantaranya dengan sumpah palsu dan yang serupa. Nabi memvonis mereka sebagai orang-orang jahat (fajir), dan beliau mengecualikan dari vonis ini para pedagang yang senantiasa menghindari hal-hal yang diharamkan, senantiasa memenuhi sumpahnya dan senantiasa jujur dalam setiap ucapannya.“
Oleh karena itu, sebagai umat Islam hendaknya anda mewaspadai fakta ini, dan hendaknya mudah percaya dengan segala yang diucapkan dan dipropagandakan oleh pihak-pihak tertentu. Apalagi membangun suatu fatwa halal dan haram berdasarkan berbagai propaganda tersebut.
Ini semua mengingatkan kita kepada penyesalan Imam As Syafi’i atas sikap umat islam yang melalaikan ilmu medis. Mereka menyerahkan ilmu medis kepada umat Yahudi dan Nasrani, sampai-sampai beliau berkata:
“Umat Islam telah menyia-nyiakan sepertiga ilmu dan menyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani.”
Agar tidak salah langkah, ketika menghadapi berbagai propaganda orang-orang yang tidak bertanggung jawab, hendaknya kita mengembalikan setiap permasalahan atau isu publik kepada tokoh-tokoh kita yang amanah, kredibel, memiliki rasa takut kepada Allah, baik dari kalangan pakar ilmu medis atau ulama’. Dan alangkah indahnya bila antara kedua pakar muslim tersebut, pakar medis dan ulama’ menjalin kerja sama yang harmonis, dalam menghadapi berbagai hal yang muncul di masyarakat.
Pakar ilmu medis mempelajari dari tinjauan ilmu medis, kemudian hasil riset mereka ditindak lanjuti oleh ulama’ dengan fatwa yang selaras dengan kaedah-kaedah ilmu agama.
Sebagai contoh nyata bagi apa yang saya paparkan ialah : apa yang beberapa saat lalu hangat dibicarakan, yaitu isu bahwa sebagian vaksin imunisasi meningitis yang “katanya” pada proses produksinya menggunakanenzim tripsin yang berasal dari serum babi.
Semestinya, isu ini ditindak lanjuti oleh pakar ilmu medis dari umat Islam, terutama instansi pemerintah terkait. Selanjutnya hasil penelitian dan investigasi mereka dipaparkan dihadapan ulama’, sehingga kebenaran hukum syar’i akan dapat dicapai.
Dengan demikian masalah ini tidak hanya berhenti sebagai isu yang dilontarkan ke masyarakat, kemudian menimbulkan keresahan dan kebingungan, dan tidak ada kepastian.
Sebagaimana kita ketahui bersama; pernyataan berbagai pihak terkait, saling bertentangan. Satu pihak, misalnya Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT. Bio Farma, Drs. Iskandar, Apt., M.M menyatakan bahwa enzim tripsin babi hanya berfungsi sebagai katalisator dalam proses pembuatan vaksin. Tripsin babi hanya dipakai sebagai enzim proteolitik (enzim yang digunakan sebagai katalisator pemisah sel/protein). Dan pada hasil akhirnya (vaksin), enzim tripsin yang merupakan unsur turunan dari pankreas babi ini tidak terdeteksi lagi. Enzim ini akan mengalami proses pencucian, pemurnian, dan penyaring, sehingga hasil akhirnya tidak lagi ditemukan sedikitpun dari serum babi.
Bila yang diungkapkan oleh Drs Iskandar ini benar adanya, maka tidak ada alasan yang kuat untuk memfatwakan haram vaksin meningitis. Karena vaksin miningitis ini minimal serupa dengan hewan jallaalah, yaitu hewan ternak yang mayoritas pakannya adalah barang-barang najis.
Dari sahabat Ibnu Umar, ia menuturkan: “Rasulullah melarang umatnya dari memakan daging hewan jallalah dan meminum air susunya.” (HR At Tirmizy dan Ibnu Majah)
Berdasarkan hadits ini, para ulama’ terutama para penganut mazhab As Syafi’i dan Hambali melarang kita untuk memakan daging atau minum, bahkan mengendarai hewan yang demikian ini halnya. Dan sebagian dari mereka dengan tegas menyatakan bahwa larangan ini bermaknakan haram.
Para ulama’ telah menggariskan satu solusi agar hewan tersebut menjadi halal dikonsumsi, yaitu dengan mengkarantina hewan tersebut dan memberinya pakan yang suci, dalam waktu tertentu. Menurut sebagian ulama’ minimal tiga hari.
Imam Abdurrazzaq As Shan’ani meriwayatkan dari sahabat Ibnu Umar :
“Dahulu beliau mengkarantina ayam yang biasa makan barang najis selama tiga hari, bila beliau berminat untuk mengkonsumsi telurnya.”
Akan tetapi menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, pendapat yang paling kuat ialah pendapat yang mengaitkan hukum karantina dengan keadaan daging dan susunya. Bila aroma, warna dan rasa pakan najis telah sirna dari hewan ternak, maka hewan itu telah halal untuk dikonsumsi, baik proses karantina berlangsung tiga hari atau lebih atau kurang darinya.
Sebaliknya, walaupun telah dikarantina tiga hari, akan tetapi bila aroma, rasa atau warna najis masih melekat pada hewan itu, maka karantina harus diteruskan hingga tanda-tanda najis benar-benar telah sirna darinya.
Hukum ini berlaku pada hewan yang nyata-nyata bersinggungan dan makan najis, dan tentu vaksin meningitis yang pada proses produksinya hanya bersinggungan dengan enzim tripsin, lebih ringan hukumnya.
Walau demikian halnya, ulama’ kita yang tergabung dalam MUI tetap ngotot pada pendirian bahwa vaksin meningitis adalah haram, karena pada proses produksinya menggunakan enzim tripsin babi.
Fakta ini tentu membuat resah masyarakat, terutama yang hendak melakukan ibadah Haji. Karena pemerintah Saudi Arabia mengharuskan setiap calon jama’ah haji agar bisa mendapatkan visa terlebih dahulu mendapatkan suntikan dengan vaksin meningitis.
Andai berbagai pihak pemangku kepentingan ini bisa duduk bersama dan selanjutnya mereka secara bersama-sama membahas masalah ini hingga tuntas, niscaya masyarakat tidak resah.
Akan tetapi apa boleh dikata, kajian tuntas tentang masalah ini belum usai, akan tetapi berbagai pihak telah mengekspos masalah ini secara luas. Tak ayal lagi, korbannya adalah umat Islam secara luas. Mereka dibuat resah, bingung dan tidak menemukan jawaban tuntas yang dapat menyingkap kebingungan mereka.
Akan tetapi apa boleh dikata, kajian tuntas tentang masalah ini belum usai, akan tetapi berbagai pihak telah mengekspos masalah ini secara luas. Tak ayal lagi, korbannya adalah umat Islam secara luas. Mereka dibuat resah, bingung dan tidak menemukan jawaban tuntas yang dapat menyingkap kebingungan mereka.
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebagian kecil saja (diantaramu).” (QS An Nisa’ 4:83)
Ayat ini dengan tegas mendidik umat Islam agar tidak mudah termakan isu murahan, sehingga mereka menjadi resah. Allah Ta’ala mengajarkan agar setiap berita (isu) yang berhembus di masyarakat tidak sepantasnya untuk langsung diekspos secara luas.
Seyogyanya umat Islam menyerahkan isu itu kepada tokoh-tokoh mereka, guna ditindak lanjuti tingkat kebenaran dan efeknya terhadap kehidupan masyarakat luas. Setelah para pemuka mereka mengkaji dengan mendalam dan mempertimbangkan banyak hal, maka selanjutnya dengan mempertimbangkan berbagai aspek, merekalah yang layak untuk mengekspos atau menyembunyikannya.
Saudaraku! saya yakin, betapa banyak informasi yang tidak atau belum layak disampaikan ke masyarakat luas, akan tetapi dengan sengaja disajikan kepada mereka. Akibatnya, masyarakat menjadi resah akibat dari informasi yang belum tentu sepenuhnya benar. Karena itu, diantara bukti kemuliaan pribadi dan keluhuran budi pekerti seseorang ialah senantiasa memfilter berita dan informasi yang hendak ia sampaikan.
Sahabat Hafesh bin ‘Ashim menuturkan: Rasulullah bersabda: “Cukup sebagai bukti kedustaan seseorang bila ia menceritakan segala hal yang ia dengar.” (HR Muslim).
Betapa indahnya kehidupan kita bila isu semacam ini kita sikapi sebagaimana yang dicontohkan dalam kisah berikut:
“Sahabat Sa’ad mengisahkan, bahwa pada suatu hari ia menderita sakit, maka Rasulullah menjengukku, dan beliau meletakkan tangan beliau diantara kedua putingku, sampai-sampai jantungku dapat merasakan sejuknya tangan beliau. Selanjutnya beliau bersabda: “Sesungguhnya engkau menderita penyakit jantung, temuilah Al Harits bin Kalidah salah seorang dari bani Tsaqif, karena sesungguhnya dia adalah seorang tabib. Dan hendaknya ia (Al Harits bin Kalidah) mengambil tujuh buah biji kurma ajwah, lalu ditumbuk beserta biji-bijinya, kemudian meminumimu dengannya.” (HRAbu dawud dan oleh Al Albani hadits ini dinyatakan sebagai hadits dhoif).
Walaupun Nabi mengetahui ramuan obat yang semestinya diminum oleh sahabat Sa’ad, akan tetapi beliau tidak meracikkannya sendiri atau memerintah salah seorang sahabatnya untuk meraciknya sendiri. Beliau memerintahkan sahabat Sa’ad untuk membawa resep ini kepada Al Harits bin Kalidah yang telah berpengalaman sebagai seorang tabib.
Sebagian ulama’ menyatakan bahwa alasan Nabi memerintahkan agar sahabat Sa’ad membawa resep ini kepada tabib Al Harits adalah: karena beliau hanya mengetahui resep obat secara global, akan tetapi Al Harits bin Kalidah lebih menguasai tentang detail komposisi, cara peracikannya dan penggunaannya.
Penutup:
Saudaraku! apa yang saya paparkan pada tulisan sederhana ini hanyalah setetes upaya pembuktian bahwa syari’at Islam adalah sumber kebahagiaan kita. Bila kita benar-benar menjalankan agama Allah Ta’ala niscaya kehidupan yang bahagia, lapang, damai dan setausa dapat terwujud.
“Andaikata penduduk negri-negri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al A’raf 7:96).
Demikian, apa yang dapat saya paparkan pada kesempatan ini tentang imunisasi syari’at, semoga bermanfaat bagi saya dan pembaca. Semoga uraian singkat ini menjadi awal percikan api keimanan dan tawakkal kita.
Bila pada uraian di atas terdapat kebenaran maka itu atas taufiq dan karunia Allah, dan bila ada kekhilafan, maka itu datangnya dari setan dan kejahilan saya, wallahu a’alam bisshawab, semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, keluarga dan seluruh sahabatnya.
Daftar Pustaka:
1. Zaadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibaad, oleh Ibnul Qayyim. Mu’assasah Ar Risalah, Beirut 1407 H/1986 M.
2. Al Bidayah wa An Nihayah, oleh Imam Ismail bin Katsir Ad Dimasyqy. Maktabah Al Ma’arif, Beirut, Lebanon
3. Miftaah Darus Sa’adah, oleh Ibnul Qayyim, Darul Kutub Al Ilmiyyah, Beirut Lebanon
4. Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an (Tafsir Al Qurthubi) oleh Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, Dar Ihya AT Turats Al ‘Arabi, Beirut, Lebanon, 1405 H.
5. Al Minhaj Syarah Shahih Muslim bin Al Hajjaj, oleh Imam Yahya bin Syaraf An Nawawy. Dar Ihya’ At Turats Al ‘Arabi, Beirut, Lebanon. Cet. 2 1406 H.
6. Tafsir Ibnu Abi Hatim Ar Razi.
7. Al Mustadrak, oleh Imam Muhammad bin Abdillah Al Hakim An Naisabury. Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, cet. 1, 1411 H.
8. Qa’idah FiAl Mahabbah, oleh Ibnu Taimiyyah, Maktabah At Turats Al Islami, Kaero, Mesir.
9. Al Waabil As Shayyib, Oleh Ibnul Qayyim, Darul Kitab Al Arabi, Beirut, 1405 H/1985 M.
10. As Sholah Wa Hukmu Tarikiha, oleh Ibnul Qayyim, Dar Ibnu Hazem, Beirut, 1416 H/1996 M.
11. Al Ishabah Fi Ma’rifatis Shohabah, oleh Ibnu hajar Al Asqalani, Darul Jil, Beirut 1412 H.
12. Bada’iul Fawaid oleh Ibnul Qayyim Maktabah Nizar Baaz, Mekkah, Saudi Arabia, 1416 H/1996 M.
13. Mirqaatul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih, oleh Al Mulla Ali Al Qaari.
14. Kaiga Tu’aliju Maridhaka Bir Ruqyah As Syar’iyah, oleh Abdullah As Sadhaan.
15. Adhwa’ul Bayan Fi Idhaahil Qur’an bil Qur’an, oleh Muhammad Amin As Syinqithi, Daar ‘Aalamul Fawaid, Beirut, Lebanon.
16. Fathul Bari, oleh Imam Ahmad bin Ali bin Hajar Al ‘Asqalany. Darul Ma’rifah, Beriut, Lebanon, 1379 H.
17. Faidhul Qadir Syarah Al Jami’ As Shaghir, oleh Abdurrauf Al Munawi, Al Maktabah At Tijariyah Al Kubra, Mesir, 1356 H.
18. Jami’ Al Ulum Wa Al Hikam oleh Abul Faraj Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab Al Hambali. Darul Ma’rifah, beirut, Lebanon, cet. 1, 1408 H.
19. Syifaa’ul ‘Alil Fi masaail Al Qadha’ Wa Al Qadar wa Al Hikmah wa At Ta’lil, oleh Ibnul Qayyim, Darul Fiker, Beirut, 1398 H.
20. Jami’ul Bayan Fi Tafsir Al Qur’an (Tafsir Ibnu Jarir), oleh Imam Muhammad bin Jarir At Thabari, Muassasah Ar Risalah, Beirut, Lebanon, cet.1, 1420.
21. ‘Uddatus Shabirin Wa Zakhiratus Syakirin, oleh Ibnul Qayyim, Darul Kutub Al Ilmiyah, Beirut, Lebanon.
22. Ma’alim At Tanzil (Tafsir Baghawi) oleh Al Husain bin Mas’ud Al Baghawi, Dar Thaibah, cet. 4, 1417 H.
23. Majmu’ Fatawa, oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
24. AL Jawabul Kafi Liman Sa’ala ‘An Ad Dawa’ As Syafi, oleh Ibnul Qayyim, Darul Kutub Al Ilmiyyah, Beirut, Lebanon
25. At Tamhid Lima Fi Al Muwattha’ Min Al Ma’ani Wal Asaanid, Wizaratul Auqaaf, Maroco, 1387 H.
26. I’ilamul Muwaqi’in ‘An Rabbil ‘Alamin, Darul Jiil, Beirut, Lebanon. 1973 H.
27. Musnad Ahmad bin Hambal, oleh Imam Ahmad bin Hambal As Syaibany. Muassasah Qurthubah, Kaero.
28. Shahih Al Bukhary, oleh Imam Muhammad bin Ismail Al Bukhary. Dar Ibnu Katsir, Beirut, Lebanon cet.3, 1407 H.
29. Shahih Al Jami’ As Shaghir, oleh Muhammad bin Nashiruddin Al Albany.
30. Shahih Ibnu Hibban, oleh Imam Muhammad bin Hibban Al Busty. Muassasah Ar Risalah, Beirut, Lebanon, cet.2, 1414 H.
31. Shahih Muslim, oleh Imam Muslim bin Al Hajjaj An Naisabury. Dar Ihya’ At Turats Al ‘Arabi, Beirut, Lebanon.
32. Siyar A’alam An Nubala’, oleh Imam Muhammad bin Ahmad Az Zahaby. Muassasah Ar Risalah, Berut, Lebanon, cet. 2, 1404 H.
33. Sunan Abu Dawud, oleh Imam Sulaiman bin Asy’ats Abu Dawud As Sajistany. Darul Fiker, Beirut, Lebanon.
34. Tuhfatul Ahwazi Bisyarah Al Jami’ At Tirmizy, oleh Muhammad Abdurrahman Al Mubarakfuri, Darul Kutub Al Ilmiyah,
35. Sunan An Nasa’i, oleh Ahmad bin Syu’aib Abu Abdirrahman An Nasa’i, Maktab Al Matbu’at Al Islami, Halab, Suria, cet. 1, 1406 H.
36. Sunan At Tirmizy, oleh Imam Muhammad bin ‘Isa At Tirmizy. Dar Ihya’ At Turats Al ‘Arabi, Beirut, Lebanon.
37. Sunan Ibnu Majah, oleh Muhammad bin Yazid Al Quzwainy. Darul Fiker, Beirut, Lebanon.
38. Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab, Darul Fiker \, Beirut, Lebanon, 1997 H.
39. Tafsir Al Qur’an Al Karim, oleh Imam Ismail bin Umar bin Katsir Ad Dimasyqy. Dar Thaibah Linnasyer wa At tauzi’, cet. 1, 1420 H.
40. Al Mushannaf, oleh Abdurrazzaq bin Hammam As Shan’ani, Beirut, Lebanon, 1403 H.
41. Taisir Al Karim Ar Rahman, oleh Syeikh Abdurrahman As Sa’dy. Muassasah Ar Risalah, Beirut, Lebanon, cet. 1, 1420 .
2. Al Bidayah wa An Nihayah, oleh Imam Ismail bin Katsir Ad Dimasyqy. Maktabah Al Ma’arif, Beirut, Lebanon
3. Miftaah Darus Sa’adah, oleh Ibnul Qayyim, Darul Kutub Al Ilmiyyah, Beirut Lebanon
4. Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an (Tafsir Al Qurthubi) oleh Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, Dar Ihya AT Turats Al ‘Arabi, Beirut, Lebanon, 1405 H.
5. Al Minhaj Syarah Shahih Muslim bin Al Hajjaj, oleh Imam Yahya bin Syaraf An Nawawy. Dar Ihya’ At Turats Al ‘Arabi, Beirut, Lebanon. Cet. 2 1406 H.
6. Tafsir Ibnu Abi Hatim Ar Razi.
7. Al Mustadrak, oleh Imam Muhammad bin Abdillah Al Hakim An Naisabury. Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, cet. 1, 1411 H.
8. Qa’idah FiAl Mahabbah, oleh Ibnu Taimiyyah, Maktabah At Turats Al Islami, Kaero, Mesir.
9. Al Waabil As Shayyib, Oleh Ibnul Qayyim, Darul Kitab Al Arabi, Beirut, 1405 H/1985 M.
10. As Sholah Wa Hukmu Tarikiha, oleh Ibnul Qayyim, Dar Ibnu Hazem, Beirut, 1416 H/1996 M.
11. Al Ishabah Fi Ma’rifatis Shohabah, oleh Ibnu hajar Al Asqalani, Darul Jil, Beirut 1412 H.
12. Bada’iul Fawaid oleh Ibnul Qayyim Maktabah Nizar Baaz, Mekkah, Saudi Arabia, 1416 H/1996 M.
13. Mirqaatul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih, oleh Al Mulla Ali Al Qaari.
14. Kaiga Tu’aliju Maridhaka Bir Ruqyah As Syar’iyah, oleh Abdullah As Sadhaan.
15. Adhwa’ul Bayan Fi Idhaahil Qur’an bil Qur’an, oleh Muhammad Amin As Syinqithi, Daar ‘Aalamul Fawaid, Beirut, Lebanon.
16. Fathul Bari, oleh Imam Ahmad bin Ali bin Hajar Al ‘Asqalany. Darul Ma’rifah, Beriut, Lebanon, 1379 H.
17. Faidhul Qadir Syarah Al Jami’ As Shaghir, oleh Abdurrauf Al Munawi, Al Maktabah At Tijariyah Al Kubra, Mesir, 1356 H.
18. Jami’ Al Ulum Wa Al Hikam oleh Abul Faraj Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab Al Hambali. Darul Ma’rifah, beirut, Lebanon, cet. 1, 1408 H.
19. Syifaa’ul ‘Alil Fi masaail Al Qadha’ Wa Al Qadar wa Al Hikmah wa At Ta’lil, oleh Ibnul Qayyim, Darul Fiker, Beirut, 1398 H.
20. Jami’ul Bayan Fi Tafsir Al Qur’an (Tafsir Ibnu Jarir), oleh Imam Muhammad bin Jarir At Thabari, Muassasah Ar Risalah, Beirut, Lebanon, cet.1, 1420.
21. ‘Uddatus Shabirin Wa Zakhiratus Syakirin, oleh Ibnul Qayyim, Darul Kutub Al Ilmiyah, Beirut, Lebanon.
22. Ma’alim At Tanzil (Tafsir Baghawi) oleh Al Husain bin Mas’ud Al Baghawi, Dar Thaibah, cet. 4, 1417 H.
23. Majmu’ Fatawa, oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
24. AL Jawabul Kafi Liman Sa’ala ‘An Ad Dawa’ As Syafi, oleh Ibnul Qayyim, Darul Kutub Al Ilmiyyah, Beirut, Lebanon
25. At Tamhid Lima Fi Al Muwattha’ Min Al Ma’ani Wal Asaanid, Wizaratul Auqaaf, Maroco, 1387 H.
26. I’ilamul Muwaqi’in ‘An Rabbil ‘Alamin, Darul Jiil, Beirut, Lebanon. 1973 H.
27. Musnad Ahmad bin Hambal, oleh Imam Ahmad bin Hambal As Syaibany. Muassasah Qurthubah, Kaero.
28. Shahih Al Bukhary, oleh Imam Muhammad bin Ismail Al Bukhary. Dar Ibnu Katsir, Beirut, Lebanon cet.3, 1407 H.
29. Shahih Al Jami’ As Shaghir, oleh Muhammad bin Nashiruddin Al Albany.
30. Shahih Ibnu Hibban, oleh Imam Muhammad bin Hibban Al Busty. Muassasah Ar Risalah, Beirut, Lebanon, cet.2, 1414 H.
31. Shahih Muslim, oleh Imam Muslim bin Al Hajjaj An Naisabury. Dar Ihya’ At Turats Al ‘Arabi, Beirut, Lebanon.
32. Siyar A’alam An Nubala’, oleh Imam Muhammad bin Ahmad Az Zahaby. Muassasah Ar Risalah, Berut, Lebanon, cet. 2, 1404 H.
33. Sunan Abu Dawud, oleh Imam Sulaiman bin Asy’ats Abu Dawud As Sajistany. Darul Fiker, Beirut, Lebanon.
34. Tuhfatul Ahwazi Bisyarah Al Jami’ At Tirmizy, oleh Muhammad Abdurrahman Al Mubarakfuri, Darul Kutub Al Ilmiyah,
35. Sunan An Nasa’i, oleh Ahmad bin Syu’aib Abu Abdirrahman An Nasa’i, Maktab Al Matbu’at Al Islami, Halab, Suria, cet. 1, 1406 H.
36. Sunan At Tirmizy, oleh Imam Muhammad bin ‘Isa At Tirmizy. Dar Ihya’ At Turats Al ‘Arabi, Beirut, Lebanon.
37. Sunan Ibnu Majah, oleh Muhammad bin Yazid Al Quzwainy. Darul Fiker, Beirut, Lebanon.
38. Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab, Darul Fiker \, Beirut, Lebanon, 1997 H.
39. Tafsir Al Qur’an Al Karim, oleh Imam Ismail bin Umar bin Katsir Ad Dimasyqy. Dar Thaibah Linnasyer wa At tauzi’, cet. 1, 1420 H.
40. Al Mushannaf, oleh Abdurrazzaq bin Hammam As Shan’ani, Beirut, Lebanon, 1403 H.
41. Taisir Al Karim Ar Rahman, oleh Syeikh Abdurrahman As Sa’dy. Muassasah Ar Risalah, Beirut, Lebanon, cet. 1, 1420 .
Sumber:ustadzrofii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar