Dunia, hanya satu terminal dari seluruh fase kehidupan. Hanya Allah yang tahu, rentang usia seorang manusia. Saya, khadijah, sebut saja demikian, menikah dengan Muhammad, 3 Oktober 1993. Muhammad, adalah kakak kelas saya di IPB. Pernikahan saya, melalui tahap yang biasa dilakukan oleh ikhwan dan akhwat. Saya tak pernah mengenal Muhammad sebelumnya. Dan, seperti layaknya pasangan baru, fase ta’aruf, konflik, dan kematangan pun saya alami.
“Barangsiapa yang mengharapkan mati syahid dengan sepenuh hati, maka Allah akan memberikan mati syahid kepadanya, meski ia mati di tempat tidur.”
Meski baru saling kenal, saya rasakan suami saya sangat sayang pada saya. Seolah, tidak seimbang dengan apa yang saya berikan. Dia banyak membantu. Apalagi ketika saya menyelesaikan tugas akhir kuliah. Bisa dikatakan, ia sekretaris pribadi saya.
Selama menikah, suami sering mengingatkan saya tentang kematian, tentang syurga, tentang syahid, dan sebagainya. Setiap kami bicara tentang sesuatu, ujung-ujungnya bicara tentang kematian dan indahnya syurga itu bagaimana. Kalau kita bicara soal nikmatnya materi, suami mengaitkannya dengan kenikmatan syurga yang lebih indah. Bahkan, berulang-ulang dia mengatakan, nanti kita ketemu lagi di syurga. Kalau saya ingat kata-kata itu, itu bukan kata-kata kosong. Bahkan itu mempunyai makna yang dalam bagi saya.
Hari itu, 16 Januari 1996, kami ke rumah orang tua di Jakarta. Seolah suami saya mengembalikan saya kepada orang tua saya. Malam itu juga suami saya mengatakan harus kembali ke Bogor, karena harus mengisi diklat besok paginya. Menurutnya, kalau berangkat pagi dari Jakarta khawatir terlambat.
Mendekati jam 12 malam, saya bangun dari tidur, perut saya sakit, keringat dingin mengucur, rasanya ingin muntah. Saya bilang pada ibu saya, untuk diobati. Saya kira maag saya kambuh. Saya sempat berpikir suami saya di sana sudah istirahat, sudah tenang, sudah sampai, karena berangkat sejak maghrib. Saya juga sempat berharap kalau ada suami saya, mungkin saya dipijitin atau bagaimana, Tapi rupanya pada saat itulah terjadi peristiwa tragis menimpa suami saya.
Jam tiga malam, saya terbangun. Kemudian saya shalat. Entah kenapa, meskipun badan kurang sehat, saya ingin ngaji. Lama sekali saya menghabiskan lembar demi lembar mushaf kecil saya. Waktu subuh rasanya lama sekali. Badan saya sangat lelah dan akhirnya tertidur hingga subuh.
Pagi harinya, saya mendapat berita, dari seorang akhwat di Jakarta, bahwa suami saya dalam kondisi kritis, Karena angkutan yang ditumpanginya hancur ditabrak truk Tronton di jalan raya Parung. Sebenarnya, waktu itu suami saya sudah meninggal. Mungkin sengaja beritanya dibuat begitu biar saya tidak kaget. Namun tak lama kemudian, ada seorang ikhwah Jakarta yang memberitahukan bahwa beliau sudah meninggal. “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”.
Entah kenapa, mendengar berita itu hati saya tetap tegar. Saya sendiri tak menyangka bisa setegar itu. Saya berusaha membangun keyakinan bahwa suami saya mati syahid. Saya bisa menasehati keluarga dan langsung ke Bogor. Di sana, suami saya sudah dikafani. Sambil menangis, saya menasehati ibu, bahwa dia bukan milik kita. Kita semua bukan milik kita sendiri, tapi milik ALLAH.
Alhamdulillah Allah memberi kekuatan, Kepada orang-orang yang berta’ziah waktu itu, saya mengatakan, “Do’a kan dia supaya syahid ….. do’akan dia supaya syahid.” Sekali lagi, ketabahan saya saat itu semata datang dari Allah. Kalau tidak, mungkin saya sudah pingsan.
Menjelang kematiannya yang amat mendadak, saya tidak merasakan firasat atau tanda-tanda khusus. Hanya, seminggu sebelum suami meninggal, anak saya sering menangis, meski dia tidak apa-apa. Mungkin, karena merasa akan ditinggal oleh bapaknya. Entahlah.
Seperti tuntunan Islam, segala hutang orang yang meninggal harus ditunaikan. Meski tidak ada catatannya, tapi tanpa disadari, saya ingat sekali hutang-hutang suami. Saya memang sering bercanda sama suami, “Mas kalau ada hutang, catat. Nanti kalau mas meninggal duluan saya tahu saya harus bayar berapa.” Canda itu memang sering muncul ketika kami bicara masalah kematian. Sampai saya pernah bilang pada suami saya, “Kalau mas meninggal duluan, saya yang mandiin. Kalau mas meninggal duluan, saya kembali lagi ke ummi, jadi anaknya lagi.” Semua itu akhirnya menjadi kenyataan.
Beberapa hari setelah musibah itu, saya harus kembali ke rumah kontrakan di Bogor untuk mengurus surat-surat. Saat saya buka pintunya, tercium bau harum sekali. Hampir seluruh ruangan rumah itu wangi, Saya sempat periksa barangkali sumber wangi itu ada pada buah-buahan, atau yang lainnya. Tapi, tidak ada. Ruangan yang tercium paling wangi, tempat tidur suami dan tempat yang biasa ia gunakan bekerja.
Beberapa waktu kemudian, dalam tidur, saya mimpi bersalaman dengan dia. Saya cium tangannya, Saat itu dia mendo’akan saya: “Zawadakillahu taqwa waghafara dzanbaki, wa yassara laki haitsu ma kunti”. (Semoga Allah menambah ketaqwaan padamu, mengampuni dosamu, dan mempermudah segala urusanmu di mana saja). Sambil menangis, saya balas do’a itu dengan do’a serupa.
Semasa suami masih hidup, do’a itu memang biasa kami ucapkan ketika kami berpisah. Saya biasa mencium tangan suami bila ia ingin keluar rumah. Ketika kami saling mengingat, kami juga saling mendo’akan.
Banyak do’a-do’a yang diajarkan suami saya. Ketika saya sakit, suami saya menulis do’a di white board. Sampai sekarang saya selalu baca do’a itu. Anak saya juga hafal. Saya banyak belajar darinya. Dia guru saya yang paling baik. Dia juga bisa menjelaskan bagaimana indahnya syurga. Bagaimana indahnya syahid.
Ketika suami meninggal, saya sedang hamil satu bulan, anak yang kedua. Namanya sudah dipersiapkan oleh suami saya, Ahmad Qassam Amrul Haq, kalau lahir laki-laki. Katanya Qassam itu diambil dari nama Izzuddin Al Qassam. Izzuddinnya sudah sering dipakai, dia ingin mengunakan nama Qassam-nya. Lalu, Amrul Haq itu memang nama yang paling dia sukai. Kalau dia menulis di beberapa media, nama samarannya Abu Amrul Haq.
Banyak kesan baik dan kenangan indah yang saya alami bersama suami. Menjelang kematiannya, saya pernah berta’ziyah ke rumah salah seorang teman yang meninggal. Sepulang suami saya dari kerja, saya pernah tanya pada suami, “Mas, kepikiran ngga’ tentang mati ?” Kami tidak saling menatap. Suami saya hanya bilang, “Memang ya, tidak ada yang tahu kapan kematian itu akan datang, persiapkan saja diri kita.”
Waktu saya wisuda, 13 Januari 1996, saya sempat bertanya pada suami, “Mas nanti saya kerja di mana ?” Suami diam saja sejenak. Akhirnya suami saya mengatakan, supaya wanita itu memelihara jati diri. Saya bertanya, “Maksudnya apa ?” “Beribadah, bekerja membantu suaminya, dan bermasyarakat. ” Saya berpikir bahwa saya harus mengurus rumah tangga dengan baik. Tidak usah memikirkan pekerjaan.
Alhamdulillah, setelah suami saya meninggal, Masya Allah, saya menerima rejeki banyak sekali, lebih dari tiga belas juta. Saya tidak mengira, sampai bingung, diapakan uang sebanyak ini.
Sekarang, setiap bulan saya hidup dari pensiun pegawai negeri suami. Meskipun sedikit, tapi saya merasa cukup. Dan rejeki dari Allah tetap saja mengalir. Allah memang memberikan rejeki kepada siapa saja yang dan tidak tergantung kepada siapa saja. Katakanlah, meski suami saya tidak ada, tapi rejeki Allah itu tidak akan pernah habis.
Insya Allah saya optimis dengan anak-anak saya. Saya ingat sabda Nabi, “Aku dan pengasuh anak yatim seperti ini,” sambil mengangkat dua jari tangannya. Saya bukan pengasuh anak yatim, tapi ibunya anak yatim. Meski masih kecil-kecil, saya sudah merasakan kedewasaan mereka lebih cepat mengerti tentang kematian, tentang neraka, tentang syurga, bahkan tentang syahid.
Rejeki yang saya terima, tak mustahil lantaran keberkahan mereka.
Dzikroyat, Tarbawi, Edisi 1 Th. 1 31 Mei 1999M / 15 Shafar 1420 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar