Sabtu, November 06, 2010

Politik Para Demit (Makhluk Halus) - Djoko Suud (detik.com)



Jakarta - Gunung Merapi masih terus memuntahkan isi perutnya. Prahara itu mengobrak-abrik Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Di tengah itu tampil Mbah Ponimin bilang ketemu Sultan Agung, muncul awan Petruk, dan Dr Surono ahli gunung mendapat 'gelar' baru Mbah Rono. Inilah politik para demit yang tidak enak dinalar tapi asyik didengar.

Mumpung gunung mistis itu masih bergolak, rasanya menarik untuk memasuki batin orang Jawa. Insan berperadaban lama, pengamal euphemisme, dan pemberi makna tiap kejadian dan benda. Pengayaan itu membuat banyak orang tidak paham. Padahal jika ranah ini dibawa ke Islam, maka mirip garis besar 'Ihya Ulumuddin' gagasan Al Ghazali. Syariat itu wadag. Ma'rifat itu jiwa.
Manusia Jawa itu hakekatnya adalah spiritualis sejati. Dia tidak hanya bicara kebaikan, tetapi sekaligus pelaku kebaikan. Syariat dijalani dengan kata dan sikap. Ma'rifatnya diendapkan sekaligus dilakukan. Itu latar idiom ing ngarso sung tulodho, ing madyo bangun karso, tut wuri handayani. Di depan memberi contoh. Di tengah menyemangati. Di belakang mendorong menuju kebaikan.

Almarhum Kuntowijoyo menyebut manusia Jawa itu introvert. Itu karena kebaikan dalam budaya Jawa disimbolisasikan padi. Padi yang berisi itu menunduk. Padi yang tegak itu gabuk. Tidak ada isinya. Ini sebagai metafora, bahwa orang yang berilmu, orang cerdas, orang yang memimpin dan sadar sebagai pemimpin itu adalah yang tidak pongah. Dalam darahnya lebih banyak dialiri unsur malaikat ketimbang setan.

Manusia yang punya budi pekerti luhur itu dituakan. Dia dijadikan tempat mengadu. Diposisikan sebagai embat-embate pitutur (pertimbangan) dalam segala persoalan. Dan orang yang sudah sama dalam kata dan tindakan itu dipanggil mbah, eyang, dan romo. Adakah Mbah Rono dan Mbah Ponimin memang sudah pada tahapan itu?

Ini penghargaan bernilai spiritual yang bersifat metafisis. Orang yang dituakan itu adalah orang yang mengamalkan filosofi budi. Dia tidak kebendaan. Apalagi pamrih jabatan. Jangan kaget jika berpuluh-puluh tahun lalu orang kaya di desa selalu dicurigai. Dituding mengkaryakan Tuyul atau Nyai Blorong, makhluk antah-berantah yang dipercaya mampu membuat kaya.

Sifat mengutamakan keluhuran itu sekarang memang semakin langka. Banyak yang bilang manusia Jawa kini sudah hilang 'Jawanya'. Hilang etikanya. Hilang budi pekertinya. Hilang sifat spiritualitasnya, karena sudah menjadi pengamal filosofi materi. Jujur tapi miskin itu hina. Punya jabatan tinggi tidak korupsi itu naif. So, orang Jawa yang baik sekarang adalah perampok dan maling. Maling rakyat dan maling negara.

Budaya profan itu memang tuntutan. Tuntutan dari hedonisasi yang merambah seluruh sendi. Orang Jawa tak lagi menyisakan waktu nglalar lan nglulur (instrospeksi). Dan yang Islam menempatkan salat sekadar kewajiban. Wajib manembah mring Gusti Allah, tak peduli hanya dijalankan seperti check-lock absensi atau malah hanya tabik sambil berlari.

Profanisme itu yang merusak segalanya. Orang kaya hasil maling dipuja. Sogok dan suap demi lancarnya urusan dihalalkan. Cagar budaya, cagar alam, cagar-cagar yang lain dirusak untuk diduitkan. Dan ketika alam marah, maka reaksi logis adalah saling menyalahkan. Itu karena watak spiritualitasnya sudah hilang. Manusia tinggal punya mulut untuk berteriak dan punya akal untuk ngakali.

Manusia Jawa memang sinkretis. Tapi sinkretisme itu bukanlah penggabungan seluruh agama untuk dijadikan satu ugeman. Sinkretisme disini adalah suatu penghargaan terhadap kepercayaan orang lain yang berbeda. Asas harmonisasi tetap menjadi soko guru, karena perbedaan adalah radiks harmoni. Dengan begitu, maka pengakuan Mbah Ponimin bertemu Sultan Agung memang bukan berlatar 'Islami'. Ini sama dengan penipuan mata melihat awan Petruk.

Wadagisme itu adalah politik para demit agar semuanya bubar. Jika manusia Jawa masih memegang roh spiritualitas nenek moyangnya, tentu tidak melihat setan sebagai lawan yang harus dilawan. Memang benar makhluk itu dicipta untuk menggoda. Menggoda kita agar jauh dari-Nya dan salah langkah. Tapi secara spiritual, kita harus berterimakasih pada Allah karena didampingi setan agar makin beriman dan kian dekat dengan-Nya.
Baca 'Sajaratul Kaun' yang mengkisahkan setan bertamu pada Nabi Muhammad SAW saat junjungan kita itu dikelilingi para sahabat. Umar Bin Khattab yang marah dan hendak membunuhnya dicegah oleh Nabi. Panutan yang dikenal jujur itu menyuruh menanyai yang baik dan buruk baginya agar manusia menjauhi yang diinginkan setan dan menjalankan yang tidak disukai setan.

Dan di tengah keprihatinan saudara-saudara kita yang terkena musibah, coba sedikit kita renungkan kata-kata James Own dalam 'The Satanic Tragedy'. 'Setan itu kasihan. Tobat pun masih akan masuk neraka. Tapi kalau kita mengasihani setan, itu sama artinya kita telah digoda setan.' Subhanallah!

Politik setan memang halus dan menjebak. Adakah kita mengamalkan itu dengan saling menghujat perbedaan dan saling menyalahkan tragedi yang terjadi?

*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar